Klithih Salah Siapa?

Klithih Salah Siapa?

Suara Muhammadiyah– Belum lupa ingatan kita akan tragedi tewasnya pelajar salah satu SMA swasta di Yogyakarta pada akhir tahun 2016 lalu, baru-baru ini kejadian serupa terjadi kembali. Kali ini korbanya adalah pelajar kelas 3 SMP, juga dari swasta kota Yogyakarta. Entah apa motif dibalik peristiwa itu, tapi yang jelas pelakunya adalah remaja, para siswa yang seharusnya belajar menjadi kegiatan utama mereka. Bukan Khithih, bergerombol, mondar-mandir dengan mengendarai sepeda motor dan berulah yang mengusik kenyamanan bersama. Apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain yang dengan sengaja menggunakan berbagai macam senjata tajam.

Peralatan yang seharusnya melekat pada diri mereka, di manapun mereka berada dan kapanpun, seharusnya alat-alat yang mendukung untuk menambah ilmu pengetahuan mereka. Buku, pena, kertas, laptop, yang disambung dengan diskusi dan dialog seputar dunia pelajar dan akademik antar mereka, sesama teman sebaya. Namun tampaknya pemandangan ideal seperti itu, hari ini, jarang sekali kita jumpai.

Atau minimal, jika kegiatan berdiskusi dan saling berdialog di atas dipandang terlampau akademis, terkesan pelajar banget, para pelajar bisa membicarakan hal lain dan berbuat sesuatu yang berbeda dengan teman sebayanya atau teman sekolahnya tentang hobi, olahraga, cita-cita, dunia usaha yang positif, inovatif, dan produktif. Bukan sebaliknya. Sudah tidak mau belajar, di sekolah berani sama guru, di rumah melawan orang tua, di lingkungan masayarakat dikenal nakal, suka nongkrong dan berbicara jorok dan kasar, dan merasa bangga akan semua hal negatif yang mereka inginkan. Pemandangan dunia pelajar macam apa ini? Mereka itu pelajar atau kumpulan preman?

Parahnya lagi, sarana prasarana yang mereka miliki, entah itu dari pemberian orang tua atau bukan, tapi kebanyakan hasil pemberian orang tua, justru lebih banyak mendukung para pelajar tersebut kepada hal-hal negatif tadi. Gadget, Hand Phone, Smart Phone, sepeda motor, dan sebagainya. Mungkin maksud orang tua tidak demikian dan mungkin pula para remajanya saja yang pandai memanfaatkanya untuk hal-hal negatif itu. Tapi kenapa sih sarana yang mereka miliki justru memudahkan mereka untuk berdekatan dengan dunia gelap itu? Apakah orang tua, guru, sekolah, dan masyarakat tidak pernah mengarahkan mereka kepada yang seharusnya? Atau bahkan cenderung membiarkanya?

Jika jawabanya memang benar cenderung membiarkan pelajar tersesat pada jalan gelap, maka wajar jika mereka kemudian menjadi nakal bahkan berbuat kejahatan seperti klithih yang sampai hari ini marak terjadi di kota gudeg ini. Memang lucu, Yogyakarta kondang dengan sebutan kota pelajar, tapi faktanya justru menjadi kota yang kurang ramah dengan pelajar.

Sejak kasus klithih yang menewaskan siswa SMA swasta akhir tahun lalu, banyak orang tua di Yogyakarta yang merasa waswas akan keberadaan anak-anaknya terutama yang orang tua yang anaknya sekolah di SMP dan SMA sederajat. Karena sering kali pelaku khithih dengan sesukanya melukai siapa saja yang melintas dihadapanya. Bahkan kasus kejahatan pelajar ini belum kunjung terang jalan keluarnya, Yogyakarta sudah dilanda dengan isu penculikan anak, yang sudah hampir dua pekan ini menghantua warganya.

Sayangnya, baik orang tua, guru, sekolah, pemerintah, bahkan seluruh elemen masayarakat Yogyakarta, baru merasa kecolongan, setelah jatuh korban. Sekali setelah kejadian pertama, dan kemudian kejadian tersebut dijadikan pelajaran yang sangat berharga, boleh kita menyebutnya sebagai bentuk kekhilafan karena disusul perubahan-perubahan dan langkah-langkah agar kejadian memalukan tersebut tidak terulang kembali. Tapi ternyata kasus serupa kembali muncul, terakhir korbanya siswa SMP kelas 3. Kok bisa? Salah siapa?

Menurut pandangan penulis, baik pelaku klithih maupun mereka yang diserang dan menjadi tumbal keganasan klithih, sama-sama korban. Yang tewas akibat dikeroyok para pelaku merupakan korban klitih, pelakunya juga merupakan korban dari dari keganasan publik yang kurang perhatian terhadap mereka. Orang tua, guru, sekolah, pemerintah, masyarakat, kurang perhatian terhadap kehidupan mereka. Bahkan terkesan semua elemen pendukung proses belajar tersebut acuh tak acuh kepada mereka. Artinya klithih bukan saja salah pelaku, tapi kita sebagai bagian dari masyarakat juga secara tidak langsung ikut andil dalam kejahatan mereka, turut memunculkan prilaku jahat mereka.

Orang tua yang seharusnya memberikan porsi waktu lebih kepada anak, justru sibuk dengan kegiatan mencari nafkah. Bahkan bagi sebagian besar orang tua yang penting memberi makan anak tanpa diimbangi dengan komunikasi inten yang dalam dengan si anak. Begitupun dengan guru di sekolah. Hari-hari mereka lebih banyak dipusingkan dengan dunia administrasi pengajar dan mengejar sertifikasi, sehingga orientasinya bukan lagi anak, tapi lebih kepada kesejahteraan. Apalagi pemerintah yang mayoritas adalah politisi, kesibukanya hanya mengejar kepentingan politik praktis, dan lebih mengutamakan kegiatan partai politiknya. Sekali lagi, siapa yang salah?

Berdasarkan hasil rapat evaluasi komisi A DPRD DIY tetang fenomena kejahatan remaja ini, mereka mengakui bahwa payung hukum yang sudah lengkap (ada) belum dapat mengatasi persoalan klithih. Bahkan mereka menyimpulkan lebih luas lagi, fenomena sosial yang buruk ini terjadi karena dipengaruhi tiga aspek, yaitu regulasi, anggaran, dan sosialisasi pendidikan, serta kegiatan sosial. Karenanya komisi A DPRD DIY mendorong beberapa hal untuk mengurangi dan mencegah klithih. Di antaranya melarang anak yang belum cukup umur untuk mengendarai kendaraan bermotor walau untuk pergi ke sekolah dan meminta pemerintah DIY untuk mendorong menyediakan kendaraan bagi anak sekolah, serta mendorong peran dan kontribusi masyarakat dan keluarga demi mencegah terjadinya kasus klithih. Jika minimal ketiga hal ini berjalan dan dilaksanakan betul, cita-cita Jogja Istimewa tanpa klithih sangat mungkin untuk di wujudkan.

Peran AUM Pendidikan Muhammadiyah

Setidaknya, dari kasus-kasus klithih yang ada, beberapa siswa sekolah Muhammadiyah terlibat dalam kejahatan remaja itu. Baik yang menjadi korban maupun yang terduga menjadi pelaku. Karenanya peran Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) pendidikan juga turut membantu mewujudkan cita-cita Jogja bersih klithih. Tidak hanya itu, keharusan Muhammadiyah turut serta memerangi klithih juga bagian dari komitmen Muhammadiyah terhadap kota kelahiranya tersebut. Peran dan fungsi sekolah Muhammadiyah bukan tidak ada, sudah dirasakan betul oleh masyarakat bahkan negara pun mengakui hal itu. Tetapi peran lebih dari AUM untuk secara khusus mengurangi terjadinya klithih sekaligus upaya-upaya untuk mencegahnya.

Sejauh ini, sekolah-sekolah Muhammadiyah memang masif melakukan pembubaran genk klithih di sekolah masing-masing. Termasuk bekerjasama dengan pihak yang berwajib dan penegak hukum, serta berdialog langsung dengan pihak pemerintah. Upaya lain, yang sifatnya ke dalam juga sudah ditempuh dengan memaksimalkan dan menambah jam pelajaran agama, al-Islam dan kemuhammadiyahan. Termasuk mendorong sekolah untuk memfasilitasi segala bentuk bakat dan minat anak dengan upaya-upaya yang maksimal, sebagaimana yang dilakukan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY. Langkah-langkah yang ditempuh itu, menggambarkan bahwa Muhammadiyah sadar betul bahwa pokok permasalahan tersebut berawal dari gagalnya penanaman karakter di sekolah.

Kaitanya dengan penanaman karakter, dewasa ini Muhammadiyah sedang kompak untuk mengembangkan dan memajukan sekolah berkarakter dalam bentuk Full Day School maupun Boarding School. Mulai dari tingkat Ranting, Cabang, hingga Daerah, Muhammadiyah tengah berbondong-bondong mendirikan dan mengembangkan sekolah berkarakter tersebut. Bisa jadi Full Day School dan Boarding School menjadi solusi atas kasus ini. Karena secara aplikatif, sekolah model tersebut membantu peran orang tua dalam mengawasi anak, khusunya orang tua yang sibuk kerja. Hal ini pula yang diucapkan Mendikbud Muhadjir Effendi saat meluncurkan wacana program Full Day School. Walaupun tetap peran orang tua lah yang pokok dalam hal ini.

Bagaimanapun juga pola asuh orang tua adalah faktor penentu utama baik buruknya prilaku anak. Kullu mauludin yuladu ala al-fitrah…, yang menjadikan anak berprilaku baik atau sebaliknya adalah peran dan pola asuh orang tuanya. Tinggal bagamana orang tua menjaga lingkungan anak dan memastikan anak tumbuh, berkembang, dan bergaul di lingkungan yang baik. Mari jaga anak kita agar tidak menjadi pelaku atau menjadi korban klithih.

————————–

Penulis: Ganjar

Exit mobile version