Suara Muhammadiyah- Setiap anak lahir dalam kondisi fitrah. Dalam teori Ilmu Jiwa Agama, fitrah dikategorikan ke dalam fitrah ilahiyah (Qs Ar-Rum: 30) dan fitrah kemanusiaan (HR. Bukhari). Fitrah kemanusiaan inilah yang lebih tepat disebut “potensi” atau “inborn”—meminjam teori pendidikan Progresivisme. Proses perkembangan potensi anak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Pembentukan karakter dan kepribadian anak ditentukan oleh pola interaksi dengan keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Sedangkan faktor” bakat bawaan” (hereditas) hanya bagian kecil dari penentu proses pembentukan karakter dan kepribadiannya.
Kini, lingkungan pengasuhan anak telah berubah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat modern. Saat ini, nyaris di semua lini kehidupan telah hadir teknologi yang memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola pikir dan gaya hidup masyarakat di era teknologi digital telah mempengaruhi pola pengasuhan terhadap anak.
Terlepas dari pro dan kontra dalam menyikapi perkembangan teknologi, saat ini generasi muda dinilai memiliki kecerdasan lebih tinggi dibanding generasi masa lalu, memiliki kecakapan menguasai teknologi, mampu mencari topik-topik permasalahan secara mendalam, cepat mengakses informasi, dan memiliki akses pertemanan lewat jejaring sosial. Di sisi lain, generasi muda saat ini sangat terbuka untuk mengakses informasi tanpa filter, tetapi mengalami ketidaksiapan otak dan kepribadian anak untuk menganalisis permasalahan yang mendalam. Generasi muda saat ini juga cenderung antisosial dan menutup diri. Sebagai dampak dari perubahan pola pikir dan gaya hidup, saat ini intensitas komunikasi dan perhatian orang tua terhadap anak semakin berkurang.
Intensitas pertemuan, komunikasi, dan perhatian orang tua terhadap anak semakin berkurang disebabkan karena kesibukan bekerja, meniti karir profesional, atau disibukkan dengan gaya hidup modern. Akibatnya, banyak persoalan yang menjadi beban mental bagi si anak. Pertemuan yang sangat terbatas, jarang berkomunikasi secara langsung karena telah digeser oleh teknologi informasi, dan perhatian yang berkurang mengakibatkan problem serius dalam pengasuhan anak.
Bagi orang tua, anak lebih dari sekedar buah hati. Anak adalah penerus masa depan. Akan tetapi, terkadang ambisi orang tua kepada sang anak justru menjadi bumerang. Orang tua yang menghendaki anaknya sukses, berprestasi di kala masih muda, atau menjadi idola bagi masyarakat, sering tidak sejalan dengan minat dan potensi anak itu sendiri. Akibatnya, betapa banyak kasus salah asuh terhadap anak yang berbuah tragedi traumatik. Sang anak di kala muda dibebani dengan tugas belajar dan penguasaan skill yang luar biasa sampai menjadi figur idola anak (anak emas), tetapi ketika memasuki usia dewasa justru menjadi manusia yang ‘kehilangan romatisme masa kecil.’ Ibarat buah yang diperam sebelum waktunya, kelihatan matang tetapi lekas busuk. Inilah jenis “kekerasan baru” yang menimbulkan dampak traumatik sang anak di masa depan hanya karena memenuhi ambisi orang tua tanpa memahami minat dan potensinya.
Pola asuh generasi baru saat ini pun perlu diubah. Perubahan pola pikir dan gaya hidup manusia modern saat ini memang mewajibkan pola pengasuhan terhadap anak harus diselaraskan dengan perubahan dalam masyarakat. Tetapi yang paling penting adalah pemahaman dan perhatian orang tua terhadap alam pikiran dan situasi batin sang anak. Jangan sampai ambisi orang tua menjadi boomerang bagi sang anak hanya karena tidak memahami minat dan potensinya.
Dapatkan ulasan lengkap tentang Pola Asuh Generasi Baru di Majalah Suara Muhammadiyah edisi cetak, No. 07, 1-15 April tahun 2017.