SURABAYA, Suara Muhammadiyah-Kiai Haji Mas Mansyur merupakan salah seorang tokoh besar bangsa yang mulai dilupakan oleh generasi muda. Seperti berada di jalan sunyi, tidak banyak yang mengkaji dan menyebarluaskan pemikiran KH Mas Mansyur. Padahal, berbagai pemikirannya masih kontekstual dengan kondisi Indonesia masa kini. Atas beragam dedikasi, pemerintah telah menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sosok yang gemar menulis ini pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937.
Kecintaannya pada bangsa sedemikan besar. Dalam kondisi sakit sekalipun, ia tetap berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan tentara Belanda (NICA). Sampai akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok. Di tengah kecamuk perang itulah, Mas Mansyur meninggal di tahanan pada 25 April 1946 dalam usia 49 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya. Meskipun telah wafat, pemikiran dan karya-karya Mas Mansyur tidak boleh hilang begitu saja.
Dalam rangka merawat pemikiran-pemikirannya, Universitas Muhammadiyah Surabaya mendirikan Pusat Studi KH Mas Mansyur (PuSMAS) atau Center for KH Mas Mansyur Studies. Lembaga yang mencanangkan visi “Membumikan Pemikiran dan Karya Peradaban KH Mas Mansyur untuk Kemajuan Kemanusiaan dan Kebudayaan Islam di Indonesia” ini diluncurkan pada Selasa (21/3).
“Meskipun telah wafat, kami kenal beliau melalui pemikiran-pemikiran yang sangat bagus. PuSMAS ini juga untuk menggali dan memperluas ide inspiratif yang telah ada,” kata Ketua Pengurus Harian PuSMAS Sholihul Huda disela-sela launching. Lembaga ini akan menyebarluaskan pemikiran Mas Mansyur. “Kami ingin menghidupkan kembali pemikiran KH Mas Mansyur seperti sikap saling menghargai, berperikemanusiaan, dan juga dari sisi keilmuan. Banyak aspek yang kita gali, mulai dari sisi pengembangan pemikiran keagamaan KH Mas Mansyur, sosial, politik, dan kebudayaan,” tuturnya.
Pendirian pusat studi ini diharapkan mampu merealisasikan dan menyebarluaskan pemikiran dan karya peradaban KH Mas Mansyur terkait kemajuan kemanusiaan dan kebudayaan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, kata Sholihul, PuSMAS akan melakukan beberapa langkah. Pertama, mengkaji pemikiran dan karya peradaban KH Mas Mansyur. Kedua, menggali (meneliti) pemikiran dan karya peradaban KH Mas Mansyur. Ketiga, menyebarkan pemikiran dan karya peradaban KH Mas Mansyur. Dan keempat, mendokumentasikan pemikiran dan karya peradaban KH Mas Mansyur.
“Selain itu, pendirian pusat studi ini tak terlepas dari konflik yang ada di masyarakat saat ini. Konflik-konflik horisontal itulah yang coba ditangkal dengan pemikiran-pemikiran KH Mas Mansyur terutama tentang konsep nasionalisme Islam,” paparnya.
Selama hidupnya, KH Mas Mansyur memiliki kedekatan dengan semua golongan, salah satunya dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama (NU). “Artinya dalam pemikiran itu ditekankan bagaimana saling menghargai, saling menghormati, saling toleran, yang saat ini mulai hilang di masyarakat,” ujarnya.
“Kami ingin gali dan tonjolkan persahabatan mereka. Salah satu contohnya, mereka berdua dalam suatu masa bersama-sama mendirikan Tashwirul Afkar (mencerahkan pemikiran),” terangnya. Selama ini, yang berkembang di masyarakat hanya seputar konflik antara KH Mas Mansyur dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Padahal sebenarnya mereka memiliki kedekatan dan visi yang sama untuk memajukan Islam.
Guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sekaligus sebagai dewan pakar PuSMAS, Prof Abdul Munir Mulkhan mengatakan, peristiwa sejarah KH Mas Mansyur dan Kiai Wahab Hasbullah dapat dirujuk pada kondisi sosio-historis ketika itu. “Dapat melihat setting sosial masa itu, melihat latar belakangnya, lalu target yang ingin dicapai. Ini bisa jadi kajian yang menarik,” ujarnya. Berdirinya PuSMAS bisa mentransfer untuk dijadikan pelajaran di masa sekarang dan yang akan datang. “Konteks aktualnya dapat terasa, bisa mentransfer ke masa sekarang,” katanya.
Semua pihak, kata Munir Mulkhan, harus mau membuka diri, bersikap saling memberi dan jangan ada klaim yang paling benar sendiri. Semua pihak harus saling berlapang dada dan saling menghargai. “Mungkin cara mengidentifikasi diri itu jangan memakai simbol-simbol, sehingga satu pihak terpaksa bertahan. Pola-pola seperti itu yang saya kira perlu dikembangkan,” tutur peneliti senior Muhammadiyah itu. (Ribas)