Generasi Digital Native dan Pola Asuh Baru
Oleh: Ihsan Gumilar
Suara Muhammadiyah-Generasi Digital Native mengalami beberapa tantangan. Pertama, tantangan utama daripada generasi ini adalah hilangnya kemampuan kontrol diri (self-control) yang jauh lebih hebat dibandingkan generasi sebelumnya. Dimana semua informasi bisa diakses baik yang bersifat positif maupun negatif. Terlebih informasi yang negatif memang dibuat sangat menggoda biasanya agar para internet user atau digital native ini untuk meng klik nya. Oleh sebab itu, kehilangan kemampuan self-control yang luar biasa ditandai ingin selalu mengakses informasi ataupun melihat apa respons atau komen dari orang lain dapat dijadikan sebuah indikasi bahwa generasi ini akan rentan untuk kehilangan self-control.
Mengontrol diri merupakan salah satu elemen psikologi yang sangat esensial di dalam tubuh manusia. Jika hal ini hilang maka seseorang akan lebih mudah untuk terperosok dalam hal-hal yang bersifat negatif, seperti prostitusi online, agresifitas, seks online, dan lain-lain.
Kedua, berkurangnya awareness of surrounding. Dimana generasi ini hanya fokus terhadap diri mereka dan gadget nya sehingga kesadaran akan lingkungan sekitar menjadi berkurang. Sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya tidak begitu diperhatikan seperti lingkungan tempat tinggal, mereka hanya memfokuskan diri pada apa yang terjadi secara virtual. Alhasil banyak dari mereka secara kognitif hanya hidup di dalam dunia virtual tapi tidak begitu cekatan dan baik dalam mengakomodir apa yang terjadi di sekitar lingkungannya.
Ketiga, Pornografi. Tentunya angka statistik ini meningkat seiring perkembangan internet. Oleh sebab itu, generasi digital akan lebih mudah untuk terjangkit adiksi pornografi. Kecanduan pornografi akan semakin melemahkan aspek individu. Jika seseorang telah kehilangan self-control mereka akan selalu mengakses pornografi dimanapun dan kapanpun karena semua informasi ada pada ujung jari mereka. Yang ditakutkan adalah jika semuanya sudah merasuk, maka generasi ini tidak lagi peduli dimana dan kapan, mereka akan langsung mengakses pornografi ketika sudah pada tahan adiksi pornografi.
Pola asuh yang Tepat
Tidak ada pola asuh yang dapat dipukul rata yang pasti “pas“ untuk semua anak menurut hemat saya sekalipun mereka semua masuk dalam generasi digital native karena setiap anak mempunyai kepribadian (personaliti) alamiah yang berbeda-beda. Dalam bahasa lain tidak ada ”all size“ parenting style atau pola asuh yang fit untuk semua anak. Akan tetapi setidaknya ada beberapa guideline yang bisa dijadikan acuan untuk mendidik anak di generasi digital.
Kurangi rasa “tega” terhadap anak dalam mendisiplinkan mereka berkenaan dengan mengakses gadget. Banyak orang tua terkadang tidak tega jika membatasi anaknya dalam menggunakan gadget (smartphone, tablet, dll). Akan tetapi yang tidak disadari oleh para orang tua rasa tidak tega inilah yang sebenarnya menjerumuskan anak mereka jauh lebih dahsyat ke dalam neraka digital yang tak berujung.
Jangan biasakan memberikan gadget jika anak menangis. Sebuah fenomena yang hanya baru muncul dan tidak pernah ada sebelumnya bahwa orang tua selalu memberikan gadget atau handphone kepada anak untuk memberhentikan suara “bising” di dalam rumah. Ini merupakan kebiasaan dan pembelajaran yang tidak baik untuk anak. Karena anak akan mengenali untuk jangka panjang bahwa segala permasalahan yang saya miliki dapat diselesaikan melalui internet dan handphone. Inilah yang dapat membuat anak ketagihan dengan yang namanya gadget.
Tingkatkan intensitas berinteraksi secara riil dengan anak. Ada sebuah kebiasaan baik yang semakin tergerus di era digital seperti ini antara orang tua dan anak semakin sedikit ruang untuk bertatap muka secara langsung. Bahkan antara orang tua dan anak yang tinggal satu rumahpun ada yang berkomunikasi lewat whatsapp dan media sosial lainnya. Karena attachment antara manusia itu merupakan sebuah kebutuhan psikologis dasar dan tidak dapat digantikan oleh yang lainnya. Attachment merupakan ikatan psikologis yang bersifat fisik maupun psikologis dimana hal tersebut berfungsi sebagai sebuah lem yang merekat satu dan lainnya. Jika orang tua dan anak dikurangi komunikasi tatap mukanya, maka lambat laun attachment antara mereka pun juga akan semakin berkurang.
Antara Ambisi Orang Tua dan Bakat Anak
Tentunya isu seperti ini menjadi selalu muncul dalam setiap detiknya karena akan ada selalu anak yang tumbuh menjadi manusia dewasa yang mempunyai keluwesan dalam berpikir dan menentukan keputusan dalam hidupnya secara independen. Disatu sisi jika kita melihat dari kacamata orang tua, orang tua mengarahkan anaknya ke sebuah minat tertentu dikarenakan karena semua orang tua pasti mempunyai harapan (apapun bentuknya) kepada buah hati. Hal ini sah-sah saja menurut hemat saya. Akan tetapi sebagai orang tua yang sepatutnya harus senantiasa belajar dalam melakukan pola asuh harus memahami psikologi perkembangan anak. Anak hari ini adalah orang dewasa esok hari. Oleh karena itu yang perlu dipahami oleh orang tua adalah seiring dengan perkembangan umur dan kedewasaan anak, maka bertambah pula kemampuan psikologis dan kognitif anak dalam menentukan keputusan-keputusan dalam hidup termasuk minat dan bakat.
Yang perlu disadari sepenuhnya adalah bahwa yang akan menjalani hidup itu adalah anak. Bukan berarti egois, akan tetapi dilain sisi hal ini akan mengajarkan anak bahwa mereka mampu untuk membuat keputusan sendiri dalam hidup mereka. Karena banyak juga orang dewasa yang tidak Percaya diri dalam membuat keputusan dalam hidup mereka hal ini dapat dirunut dari pola asuh yang mereka terima.
Tentunya yang perlu diketahui juga orang tua bukan berarti lepas dan membiarkan apa yang anak akan ambil. Orang tua tentunya perlu melakukan supervisi terhadap keputusan anak. Jika memang keputusan anak yang dinilai akan sangat merugikan masa depan mereka maupun lingkungan sekitar disinilah peran orang tua agar mampu melakukan intervensi secara bijak agar anak tidak menyesal dikemudian hari.
Kekerasan psikologis atau tidaknya tentunya tidak diputuskan seperti hitam dan putih. Yang terpenting adalah jika antara memilih orang tua mengambil keputusan atau membiarkan anak membuat keputusan sesuai minat dan bakatnya harus ditentukan, maka yang perlu dipertimbangkan mana yang lebih kecil mudharatnya. Ambil lah keputusan yang mempunyai mudharat lebih kecil.
Masa kanak-kanak merupakan masa pembelajaran. Jika kita merujuk kepada John B Watson seorang tokoh psikologis behaviorism ia mengatakan bahwa anak bisa dibentuk menjadi apapun tergantung dari orang tuanya seperti apa ia mau mendidik sang anak. Jika sedari kecil anak dibiasakan untuk bangun sebegitu awalnya sekitar pukul 3 pagi dan ini akan menjadi sebuah kebiasaan dan memberikan ketenangan baginya untuk menghafal alquran tentunya hal ini akan menjadi sesuatu yang mendarah daging bagi seorang Musa (hafiz Indonesia). Yang kita tidak tahu, mungkin musa tidur lebih awal dari kita semua dan oleh karena itu musa bangun juga lebih awal dari kita. Membiasakan anak bangun pagi lalu beraktifitas merupakan pola asuh yang cukup baik dan tidak bertentangan secara alamiah.
Jika kita melihat dari kacamata psikologi syaraf (neuropsikologi) bahwa di dalam otak kita itu ada jam biologis (biological clock) yang mana sudah menjadi “stelan” pabrik dari Allah bahwa manusia manapun dan dimanapun mereka tinggal bahwa malam itu dikenali oleh jam biologis merupakan waktu untuk beristirahat dan pagi merupakan waktu untuk beraktifitas. Jadi jika anak bangun dekat waktu pagi hal ini tidak berlawanan dengan jam alamiah mereka dan tentunya tidak bertentangan secara psikologis juga. Sebagai tambahan jika kita melihat gelombang otak, hal itu berkorelasi dengan waktunya (eg. pagi, siang, dan malam). Gelombang otak yang paling tenang (jika kita ukur dengan electroencephalogram (EEG) – silahkan di google saja seperti apa itu EEG) adalah pada waktu menjelang subuh.
Baca: Pola Asuh Generasi Baru