YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Lembaga Studi Al-Quran dan Hadis (LSQH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan diskusi buku ‘Islam’ karya Fazlur Rahman, Kamis (23/3). Kegiatan yang berlangsung di gedung Convention Hall UIN itu menghadirkan Ahmad Syafii Maarif yang merupakan murid langsung Fazlur Rahman serta Abdul Mustaqim yang menulis disertasi tentang Fazlur Rahman dan sekaligus ketua prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga.
Dalam paparannya, Buya Syafii menyatakan bahwa Fazlur Rahman merupakan seorang penyelidik atau intelektual yang serius, tajam, dan berani mengenai Al-Quran dan disiplin-disiplin Islam lainnya, seperti filsafat, teologi, sufisme, pendidikan, baik yang klasik maupun yang modern.
Keprihatinan Rahman yang mendalam tentang masalah tersebut, kata Buya Syafii, didorong oleh kenyataan karena sebegitu jauh belum ada sarjana Muslim yang telah berupaya secara sungguh-sungguh untuk menyelam ke dalam prinsip-prinsip moral-etika Al-Quran sebagai bagian dari pandangan dunianya yang menyeluruh dan komprehensif, secara sistematis atau sebaliknya. “Betapa jauh jarak kita dengan Al-Quran,” kata Buya Syafii. Sebagai contoh, Buya menunjukkan pesan Quran yang menyatakan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Namun dalam prakteknya, Islam bahkan belum bisa menjadi rahmat bagi umatnya sendiri.
Klaim Al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia harus dipahami secara benar sebagai sesuatu yang fungsional dan memiliki nilai-nilai praktis dalam membimbing kehidupan kolektifnya karena Kitab Wahyu ini adalah sebuah dokumen yang secara jujur bertujuan buat manusia. “Al-Quran itu multi tafsir, sehingga shalih likulli zaman wa makan,” kata Buya Syafii. Menurutnya, Quran itu tidak memiliki tangan dan kaki, maka tugas manusialah yang memahaminya. Cara terbaik menafsirkannya adalah dengan membiarkan Quran berbicara tentang dirinya, tanpa dicampuri dengan pengaruh ideologi penafsir.
Dalam sebuah kuliah, Fazlur Rahman pernah berkata, “Apa pun yang kamu pelajari, timbang dia dengan Al-Quran.” Bahkan, kata Buya Syafii, hadis sekalipun harus tunduk kepada Al-Quran sebagai yang memiliki otoritas tertinggi, namun bukan berarti mengingkari hadis. “Memahami Quran harus dengan aqlun shalih dan qalbun salim,” tuturnya.
Ketika menghadapi realita Al-Quran itu multi tafsir dan banyak perbedaan pendapat, maka langkah yang paling tepat adalah saling berlapang dada. “Kalau kita takut berbeda pendapat, takut disembelih orang karena memiliki pendapat berbeda, maka jadi fosil saja,” tegas Buya. Bagi Buya, seorang muslim harus percaya diri dan tidak mudah menyalahkan atau kagetan dengan pendapat yang berbeda.
Terpenting, kata Buya Syafii, siapapun yang berbeda pendapat harus memiliki dalil dan adillah atau argumentasi yang kokoh. “Tidak boleh ikut-ikutan. Karena di akhirat nanti, pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban sendiri-sendiri,” ulasnya. Bagi Buya, siapapun boleh tidak setuju dengan pilihan dan pendapat orang lain, namun ia tidak berhak untuk menghukum dan menghakimi orang yang berbeda.
“Kita boleh tidak setuju dengan Syiah, Ahmadiyah, tapi apa hak duniawi kita untuk menghukum mereka,” katanya. Konflik antara Sunni, Syiah, Khawarij, kata Buya, merupakan konflik elit Arab masa awal. Konflik itu bahkan melibatkan kader terbaik Nabi, melibatkan Aisyiyah, Ali, Muawiyah dan lainnya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya, konflik itu diperpanjang dan diwarisi hingga sekarang ke seluruh dunia muslim.
Dalam hal itu, Buya Syafii mengajak semua untuk terus mencari kebenaran. “Para pencari kebenaran itu dadanya lapang,” kata Buya. Menurutnya, kebenaran, kebijaksanaan atau hikmah itu ada di semua tempat, maka tugas manusia adalah memungutnya dari mana pun datangnya. “Timur dan Barat itu milik Allah, maka carilah kebenaran di mana saja, di Timur, di Barat,” katanya.
Sementara itu, Abdul Mustaqim dalam paparannya menyatakan bahwa Fazlur Rahman termasuk pembaharu Islam yang sangat berpengaruh di dunia, termasuk Indonesia. Menurut Abdul Mustaqim, Fazlur Rahman memandang Al-Quran sebagai sebuah dokumen moral dan etika dalam rangka mewujudkan masyarakat yang bermartabat dan berkemajuan. “Quran bukan dokumen hukum,” katanya.
Abdul Mustaqim juga memaparkan bahwa Rahman merupakan pemikir Islam yang kritis terhadap orientalis. Sebagai contoh, Rahman menjawab dan menolak tuduhan orientalis yang menyatakan Islam sebagai agama perang dan pandangan yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad seorang yang hipersex. Rahman menjawab tuduhan itu dengan argumentasi yang kokoh (Ribas).