CONNECTICUT, Suara Muhammadiyah-Beberapa waktu lalu Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) bersama yayasan Henry Luce dan Pusat Studi Asia Tenggara Mac Millan Universitas Yale mengadakan Simposium yang mengusung tema “Religion and Public Policy in Southeast Asia.”
Simposium yang berfokus kepada peran agama dalam kebijakan publik dan pengaruhnya terhadap perempuan dan kelompok agama minoritas di Asia Tenggara turut menghadirkan Siti Syamsiyatun, Direktur ICRS yang juga anggota LPPA PP Aisyiyah. Digelar pada 10 Maret lalu di Aula Henry R Luce, Simposium tersebut diikuti oleh panelis yang berasal dari anggota ICRS, partisipan dari Universitas Yale, dan 20 peserta lainnya.
Dalam simposium tersebut Syamsiatun pun menggarisbawahi bahwa berbagai pengalaman yang dihimpun dari 9 negara di Asia Tenggara akan praktik kebijakan dalam penelitian yang dilakukan oleh ICRS dinilai mampu menjadi dasar empirik dalam pembuatan kebijakan di masa yang akan datang.
Selama 3 tahun terakhir, ICRS sebagai tim riset internasional yang berbasis di Asia Tenggara telah melakukan penelitian komparatif untuk menelusuri bagaimana isu gender, keberagaman, dan relasi yang ada mampu dikelola melalui kebijakan publik yang ada di 9 negara dengan masing-masing tradisi keagamaan yang dianutnya.
Michael Dove Ketua Dewan Pusat Studi Asia Tenggara memposisikan Simposium tersebut dalam konteks globalisasi yang mana telah menghasilkan gesekan yang terjadi antara praktik-praktik lokal dan wacana global akan agama tertentu.
Sejumlah agama di Indonesia di antaranya Islam, Budha dan Kristen dianggap Jeanny Dhewayani dan Leonard Epafras masih menghadapi permasalahan di ranah gender. Di ruang publik, perempuan kelas menengah di Indonesia pun masih dipandang lebih sebagai represetasi dari konservatisme agama daripada agen pembawa perubahan.
Namun, Syamsiatun sendiri melihat adanya peluang perubahan akan kondisi tersebut menuju heterarki atau kesetaraan yang diusung oleh agama. Pandangan tersebut secara spesifik disampaikannya melalui studi kasus di Aisyiyah sebagai gerakan perempuan berkemajuan di Indonesia.
Dalam panel kedua yang membahas tentang mengelola keberagaman agama dan etnis melalui kebijakan publik, Dicky Sofjan membahas tentang munculnya konservatisme di ranah global. Dalam paparannya, ia menyadari bahwa model yang secara teoritik didasarkan kepada apa yang terjadi di Eropa tidak perlu diaplikasikan dalam konteks Asia Tenggara. Secara singkat, konsep pemisahan antara agama dengan negara tidak mencerminkan apa yang ada di Asia Tenggara di mana agama tidak dibentuk sedemikian rupa.
Bernard Adeney-Risakotta perwakilan Internasional ICRS, menyelami lebih jauh mengenai kemunculan konservatisme. Ia pun menggarisbawahi keberadaan intoleransi yang belakangan terjadi di Indonesia. Ia mengkarakteristikkan fenomena ini sebagai fenoemena yang menular dan secara bersamaan meningkatkan konflik sebagaimana hal-hal eksternal yang datang dari ancaman eksistensial masuk dalam perputaran publik Indonesia.
Heidi Hadsell dari Hartford Seminary menanggapi dengan menawarkan sebuah diskusi dengan model dinamika keagamaan di ranah global. Ia pun mempertanyakan apakah nilai-nilai yang datang dari luar sifatnya lebih berpengaruh kepada kerukunan Indonesia dari pada perkembangan yang ada di dalam negeri.
Akhirnya, Sofjan menekankan bahwa kolaborasi riset ini penting bagi proses pembelajaran mutual sebagaimana strategi yang digunakan setiap negara mampu dibagikan untuk kepentingan bersama. Salah satu sektor yang harus dibenahi menurutnya adalah ‘literasi’ agama, yang harus didefinisikan kembali agar pembelajaran agama mampu diperluas di luar pengetahuan seseorang akan tradisinya saja. Sebuah bentuk penyadaran yang dimaksudkan sebagai penghalau adanya monopoli kebenaran yang dibuat oleh agama tertentu. Simposium tersebut berakhir dengan janji akan perumusan teori yang didasarkan kepada hasil empiris penelitian tersebut (F/Th).