Oleh Dr. Muhbib Abdul Wahab
Ketika ajal kematian Abu Thalib sudah sangat dekat, Nabi Muhammad SAW., meminta pamannya itu untuk mengucapkan dua kalimah syahadat. Abu Jahal dan Abdullah ibn Umayyah yang pada saat itu berada di dekatnya juga bertanya kepada Abu Thalib, apakah engkau membenci agama Abdul Muthallib? Kepada keduanya Abu Thalib menyatakan tetap mengikuti agama Abdul Muthallib. Nabi SAW sangat sedih, dan menjanjikan untuk memintakan ampunan kepada Allah SWT bagi pamannya yang selama ini membela dakwah beliau.
Pada saat itu turunlah ayat: “Seungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang engkau cintai, tetapi Allahlah yang dapat memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Qashash/28:52). Hidayah berarti petunjuk yang dapat “menjinakkan hati” yang tidak beriman kepada Allah lalu menjadi Mukmin melalui proses berislam memang merupakan hak prerogatif Allah. Hidayah yang satu ini memang tidak bisa “dijemput” oleh siapapun.
Oleh karena hidayah itu tidak selamanya berkaitan dengan “perubahan keyakinan” dalam beragama, maka setiap muslim perlu “menjemput” hidayah-hidayah yang terkait dengan ajaran dan nilai utama bagi kehidupan masa kini dan mendatang. Salah satu hidayah itu adalah petunjuk untuk menjadi semakin taat dan bertaqwa kepada Allah SWT. Setiap Muslim wajib menjemput berbagai hidayah dari Al-Quran dan As-Sunnah agar tetap berada di jalan yang benar dan lurus.
Setiap Muslim bahkan wajib berdoa untuk meminta hidayah “jalan yang benar dan lurus” setiap kali melaksanakan shalat. “Tunjukkan kami jalan yang benar dan lurus” (QS al-Fatihah/1:6), adalah ayat yang wajib dibaca oleh orang yang shalat. Menurut Sayyid Qutb, penulis tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, doa meminta hidayah “jalan yang benar dan lurus” itu lebih komprehensif daripada doa: Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azaban nar. Karena baik tidaknya seseorang dalam hidup di dunia maupun di akhirat sangat ditentukan oleh hidayah jalan yang benar dan lurus tersebut. Sedangkan Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, memaknai “hidayah berada di jalan lurus” itu adalah ajaran Islam. Artinya, menjemput hidayah berarti berusaha memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara istiqamah (penuh komitmen dan konsistensi, tidak setengah-setengah, dan tidak asal-asalan).
Menjemput hidayah pada dasarnya merupakan proses “imanisasi dan islamisasi diri”. Proses ini menghendaki reformasi iman, ilmu, dan amal. Hidayah tidak akan mengakar kuat dalam diri seseorang jika kadar imannya lemah. Karena iman itu fluktuatif (naik turun) –seperti dikatakan al-Ghazali (w. 1111 M)—maka iman perlu direfresh (disegarkan dan dicerahkan) secara terus-menerus.
Iman dapat dicerahkan dan diaktualisasikan dengan ilmu. Ilmu harus terus dicari dan dikembangkan agar membuahkan amal yang baik dan bermakna, berupa kesalehan personal, sosial, moral, dan kultural. Iman yang dilandasi ilmu (iman ilmiah) dan ilmu yang berakar pada iman yang kokoh (ilmu imani) dapat melahirkan amal yang berdayaguna dan bernilai bagi kemanusiaan.
Karena itu, ketika murid-muridnya “protes” kepada sang guru lantaran sudah jenuh dan tidak dipindah-pindah ke pelajaran (surat al-Qur’an) baru, yang berarti secara kognitif mereka sudah berilmu, KH. Ahmad Dahlan bertanya singkat kepada mereka: “Sudahkah ilmu dan pesan moral yang terkandung dalam surat al-Ma’un itu sudah kalian amalkan dalam bentuk gerakan sosial yang bermanfaat bagi kemanusiaan?” Dengan pendekatan teologi transformatif, model pembelajaran dan aktulisasi hidayah ala KH. Ahmad Dahlan ini kemudian membuahkan dua pelajaran terpetik (lessons learned) sekaligus. Pertama, hidayah (baca: ilmu dan nilai) dari al-Qur’an tidak bermakna jika tidak ditindaklanjuti dan dikembangkan dalam bentuk amal usaha (jihad sosial) yang bermanfaat bagi umat. Kedua, metodologi tafsir transformatif yang sangat efektif dalam memahami dan menerjemahkan pesan-pesan kitab suci menjadi gerakan sosial kultural yang berorientasi kepada perubahan dan perbaikan kualitas umat.
Proses islamisasi diri (internaslisasi hidayah) memerlukan kesadaran dan motivasi personal yang kuat. Dalam hal ini, Nabi SAW pernah memberikan rambu-rambu kehidupan penuh hidayah dengan menyatakan: “Kebersihan itu pangkal iman, mengucapkan alhamdulilah itu dapat memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah itu dapat memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi, shalat itu cahaya (hati), shadaqah itu bukti (kepedulian sosial), sabar itu pelita, al-Qur’an itu hujjah (dasar penalaran)…” (HR Muslim).
Jika hadis tersebut diaktulisasikan untuk menjemput hidayah, maka setiap Muslim harus berpola hidup bersih lahir dan batin, bergaya hidup penuh zikir, tekun dan istiqamah dalam melaksanakan shalat dan shadaqah, bernalar dengan logika al-Qur’an, dan berhias diri dengan kesabaran. Semua itu mudah diucapkan, tetapi tidak selalu mudah dilaksanakan. Kata kunci untuk dapat menjemput hidayah itu adalah mau memulai dari diri sendiri dan mau mengevaluasi diri dengan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan iman, ilmu, dan amal; teladan iman, islam, dan ihsan; dan teladan zikir, pikir, dan taghyir (perubahan diri menuju kehidupan yang lebih baik).
Selain itu, proaktif menjemput hidayah juga perlu kesungguhan dalam berinteraksi dengan sumber ajaran dan nilai Islam. Muhammad Iqbal, tokoh pembaharu pemikiran Islam asal Pakistan, pernah ditanya: “Mengapa dewasa ini umat Islam mengalami kemunduran, padahal al-Qur’an yang dipedomaninya saat ini sama dengan al-Qur’an yang dipedomani ketika umat Islam maju?”Iqbal menjawab singkat: “Dewasa ini, umat Islam mundur karena al-Qur’an lebih sering dibacakan kepada orang-orang yang sudah mati, daripada dibacakan kepada orang-orang yang masih hidup dan berpikir.”
Jawaban Iqbal tersebut menginspirasi kita semua untuk menyatakan bahwa al-Qur’an harus terus dijadikan sebagai hidayah, bukan dibacakan kepada yang sudah mati sebagai hadiah. Sebagai hadiah, yang mendapat manfaat –kalau memang benar memberi manfaat— hanyalah mereka yang sudah di alam kubur. Sebaliknya, dibaca sebagai hidayah, manfaatnya akan menjadi sumber nilai, inspirasi, motivasi, dan transformasi bagi umat manusia yang masih hidup. Jadi, selagi masih hidup, amalkanlah selalu perintah pertama Allah dalam kitab suci-Nya: Iqra’ bismi Rabbik (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Dengan falsafah Iqra’ ini, kita bisa proaktif menjemput hidayah dan menghadirkannya di tengah-tengah kehidupan kita. Bukankah banyak orang yang mengaku beragama Islam tetapi masih jarang membaca al-Qur’an, apalagi memahami dan mengamalkan pesan-pesan moralnya?