Model Perilaku Dalam Muhammadiyah: Konsep Spiritualitas Ihsan (1)

Muhammadiyah Haedar Nashir Agama

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir Dok SM

 

Oleh: Dr H Haedar Nashir, MSi

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar dan kompleks jaringan organisasinya dalam rentang satu abad telah mengukir kisah sukses di berbagai bidang kehidupan. Pencapaian amal usahanya sangat menggembirakan, boleh jadi melampaui apa yang dipikirkan oleh pendiri dan para perintis Gerakan Islam ini. Meskipun dari cita-cita ideal masih jauh dari gapaian dan harus bekerja lebih keras lagi dalam ikhtiar mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, tetapi apa yang telah dicapai Muhammadiyah selama satu abad ini patut disyukuri. Kepercayaan masyarakat luas terhadap Muhammadiyah juga tidak kalah penting dan berharga.

Anggota Muhammadiyah dari segi jumlah maupun kualitasnya juga merupakan kekuatan tersendiri dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lain. Dalam hal berpikir dan bekerja atau beramal untuk kemajuan anggota terutama kader dan pimpinan Muhammadiyah baik di Persyarikataan maupun Amal Usaha pun tak perlu diragukan.  Segala pencapaian  prestasi dan kemajuan Muhammadiyah selama ini merupakan bukti dari keunggulan sumberdaya manusia yang dimiliki Gerakan Islam modernis terbesar ini. Semua itu merupakan modal sangat penting dan strategis bagi perjalanan Muhammadiyah di abad kedua.

Peluruhan Bermuhammadiyah

Kini seiring dengan berjalannya waktu kebesaran dan keberhasilan Muhammadiyah  menghadapi tantangan baru yang bersifat internal. Berbagai masalah muncul di tubuh organisasi ini. Lebih-lebih kalau menyangkut amal usaha. Peluruhan atau mungkin krisis bermuhammadiyah mulai menggejala atau malah menjadi kenyataan baru yang menghafang Persyarikatan. Sejumlah masalah seperti konflik internal sampai penyimpangan perilaku moral mulai dirasakan di tubuh gerakan Islam ini.

Patut dicermati dan diantisipasi adanya sejumlah masalah internal yang bila tidak memperoleh bingkai ruhaniah atau spiritual yang kokoh akan menjadi virus di tubuh Persyaikatan ini. Heterogenitas angota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah termasuk di amal usaha yang tinggi dan mekarnya amal usaha maupun kebesaran gerakan Islam ini yang tidak disertai penguatan nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahannya yang kokoh tinggal menunggu waktu menuju pada pemelamahan Muhammadiyah.

Di sejumlah lngkungan Persyarikatan dan amal usaha terjadi konflik yang cukup serius. Konflik antar Pimpinan Persyarikatan maupun Amal Usaha berlangsung sangat keras. Pemicu utamanya ialah perebutan kepemimpinan dan suksesi di amal usaha. Perebutan jabatan dalam sejumlah bentuk tampak menonjol, padahal dulu para elite atau jader Muhammadiyah saling menolak dan saling mendorong yang lain.

Jika konflik telah merasuk, geliat saling menjatuhkan pun mekar ke permukaan. Gejala yang  belakangan menonjol ialah kegemaran mengirim Short Message Service (SMS) dengan muatan isi yang kasar, penuh ancaman, dan menggunakan kata-kata yang tidak mencerminkan akhlak mulia. Kata-kata “binatang”, menghujat personal, bahkan ancaman akan keselamatan nyawa pun dengan gampang dikirim via SMS tanpa rasa sungkan dan seolah pelakunya menikmati pesan yang dikirimkan itu. SMS telah menjadi sarana kemunkaran baru yang sangat leluasa dan pelakunya seolah menjelma menjadi pemeran Die Hard.

Gejala lain ialah politisasi. Sikap pragmatis (menerabas) mulai masuk ke lingkungan Persyarikatan terutama ketika bersentuhan dengan dunia politik-praktis. Pengaruh politik uang mulai menular terutama kala memasuki kontestasi Pemilu dan Pemilukada, secara halus maupun terang-terangan. Uang telah menjadi alat tukar baru dalam  transaksi politik. Politik yang pada dasarnya baik dan penting berubah menjadi tangga hidup instan dan membolehkan apa saja. Dunia kekuasaan politik telah membangkitkan imaji-imaji dan mimpi-mimpi baru bagi kaum muda.

Sementara itu pandangan keagamaan yang cenderung literal-dangkal plus pembawaan setiap personal telah membentuk suasana kehidupan di Muhammadiyah berwajah keras. Pandangan “TBC” dan paham ajaran minus keluasan tafsir dan pemahaman kebudayaan yang mencukupi telah membentuk sikap keagamaan yang cenderung serbaabsolut, true-believing (fanatik buta), dan gampang memvonis. Akibatnya relasi sosial yang terjadi menjadi cenderung rigid, angker, dingin, jumawa, dan serbaverbal. Sebagian mubaligh Muhammadiyah menjadi garang.

Sejumlah permasalahan tersebut mengindikasikan adanya peluruhan nilai-nilai spiritualitas di sebagian tubuh Muhammadiyah. Bahwa dari sudut nilai dasar memang benar Muhammadiyah telah memiliki Kepribadian dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah maupun pemikiran-pemikiran yang fundamental lainnya.  Ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunah Al-Maqbulah, khususnya ajaran tentang ihsan dan akhlaq mulia, bahkan menjadi rujukan nilai utama. Namun sejumlah kasus yang terjadi menunjukkan dengan terbuka betapa nilai-nilai dasar Al-Islam  dan Kemuhammadiyahan itu belum atau tidak menjadi pedoman bagi tingkahlaku (mode for actioan) secara konsisten. Dalam sejumlah hal terdapat perilaku-perilaku antinomi (konflik nilai), anomali (menyimpang perilaku), dan anomi (nihil nilai)  yang bertentangan dengan ajaran ihsan dan akhlaq mulia.

Ihsan Basis Perilaku

Dalam bermuhammadiyah sebagai bagian dari beribadah dan menjalankan kekhalifahan di muka bumi ini diperlukan rujukan nilai spiritual pada ajaran tentang ihsan, di samping nilai-nilai ajaran Islam lainnya. Penulis pernah bertanya kepada Ustadz Ahmad Azhar Basyir, kalau memang Muhammadiyah berkeberatan dengan tasawuf, lantas apa yang dapat dijadikan rujukan nilai yang bersifat spiritual yang benar dan tidak salah jalan? Almarhum yang juga Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1990-1994) itu menjawab, bahwa ajaran spiritual itu ialah ihsan.

Bahwa memang berbeda dengan tasawuf yang memiliki jalan atau metode tertentu terutama dalam institusi tarekat, ajaran tentang ihsan maupun akhlak oleh sementara kalangan ahli dipandang masih bersifat nilai-nilai subsantif dan umum, tidak masuk ke wilayah epistemologis dan metodologis. Namun persoalan metode atau ath-thariqah sebagai jalan dapat didikembangkan secara lebih terbuka. Boleh jadi tasawuf sekalipun masih merupakan ranah pemikiran keislaman yang terbuka untuk dikaji ulang secara cerdas dan kritis dengan mengeliminasi elemen-elemennya yang dipandang bermasalah dari sudut aqidah Islam yang benar dan lurus. Buya Hamka bahkan mempekenalkan istilah “Tasawuf Modern”.

Konsep ihsan (al-ihsan) merujuk pada hadis Nabi ketika menjawab salah satu pertanyaan Malaikat Jibril. Ihsan, jawab Nabi, ialah an tabudallaha kaannaka tarahu fain lam takun tarahu fainnahu yaraka, bahwa kamu menyembah Allah seakan-akan kamu milhat-Nya, jika kamu tak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu (Hadis Riwayat Muslim dari Umar bin Khattab). Substansi ihsan ialah kebaikan tertinggi yang lahir dari ruh beribadah kepada Allah dan tercermin dalam perilaku utama setiap muslim yang mengamalkannya. Dalam tradisi Islam klasik, ihsan sebenarnya dijadikan rujukan tasawuf, kendati tasawuf sendiri lebih-lebih mengenai ajaran tarekat sering menjadi bahan perdebatan pro-kontra dalam wacana keislaman hingga saat ini.

Dalam Al-Quran terdapat banyak kandungan ajaran tentang ihsan. Allah memerintahkan para hamba untuk berbuat ihsan, selain keharusan berbuat adil (QS Al-Nahl: 90).  Para ahli tafsir dengan merujuk pada pendapat Ibnu Mas’ud menyebutkan ayat Al-Quran dari Surat Al-Nahl ke-90 tersebut merupakan  ayat yang paling sempurna dalam penjelasan segala aspek tentang kebaikan dan keburukan. Adil dan ihsan yang diperintahkan dalam ayat ini merupakan ajaran yang luhur, utama, dan berdampak luas dalam kehidupan.

Ihsan menurut ar-Raghib al-Asfahani sebagaimana dinukil Quraish Shihab,  kata ini digunakan untuk dua hal. Pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua ialah perbuatan baik.  Kata “ihsan” jauh lebih luas dari sekadar “memberi nikmat atau nafkah”. Makna ihsan lebih tinggi dan mendalam dari kedudukan makna “adil” dalam Surat Al-Nahl ayat ke-90 tersebut. Karena “adil”  ialah “memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap Anda”. Sedangkan “ihsan”  adalah “memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda”. Adil adalah mengambil semua hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain. Sedang ihsan adalah memberi lebih banyak dari pada yang harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya Anda ambil.

Ihsan, menurut Falih  bin Muhammad, ialah tingkatan tertinggi dalam berhubungan kepada Allah dan relasi dengan makhluk ciptaan-Nya. Ibn Abbas menunjuk ishsan sebagai ikhlas dalam bertauhid. Tauhid yang benar tentu lurus dalam beriman kepada keesaan Allah dan terpantul dalam seluruh kehidupan yang mencerahkan dan tercerahkan. Muslim yang bertauhid dan beribadah lurus kepada Allah selain tidak melakukan segala bentuk kemusyrikan, pada saat yang sama melakukan serba kebaikan, dan tidak melakukan segala perbuatan tercela dalam hidup. Muslim yang merasa disaksikan Allah dalam segala gerak hidupnya akan selalu ikhlas, waspada, dan kemudian berbuat hal-hal mulia. Hidup dengan ihsan akan selalu bermanfaat dan maslahat untuk kehidupan sesama, termasuk alam semesta. Sebaliknya mereka yang mempraktikkan ihsan akan selalu menjauhkan diri dari segala perbuatan tercela, hina, dan munkar dalam kehidupan dengan penuh kesadaran ruhaniah yang tinggi.

Sumbu utama ihsan ialah tauhid, yakni segala yang dilakukan demi cinta kepada Allah, sehingga dirinya rela melakukan apapun yang terbaik. Orang yang melakukan ihsan atau kebaikan yang utama mengharapkan pertemuannya dengan Allah di Hari Akhir dalam rengkuhan ridha-Nya (QS Al-Kahfi: 110; Al-Nahl: 128). Muslim yang berjiwa dan bertindak ihsan meletakkan dunia dengan harmoni atau keseimbangan, tidak melampaui batas (QS Al-Qashash: 77).  Dunia bagi orang yang berihsan diletakkannya sebagai sajadah panjang menuju akhirat. Sementara bagi mereka yang jauh dari ihsan menjadikan dunia segala-galanya hingga dirinya dikendalikan dunia.

Muslim yang mengamalkan ihsan tidak akan terpenjara oleh hal-hal duniawi seperti materi dan jabatan. Dunia diusahakan dan dijadikan ladang untuk memakmurkan kehidupan, tetapi tidak melampaui batas.  Dalam berbuat baik terhadap sesama tidak menghitung-hitung karena pergantungan hidupnya diserahkan hanya kepada Allah. Perbuatan baik berbasis ihsan bukan hanya dilakukan dalam keadaan normal, tetapi ketika susah dan situasi kritis sebagaimana kisah mulia di atas.  Dalam ihsan, orang bahkan diajari berbuat baik terhadap mereka yang berbuat buruk kepada dirinya.  Membalas kebaikan terhadap orang yang berbuat baik merupakan hal wajar atau lumrah, tetapi berbuat baik terhadap orang yang berbuat buruk sungguh merupakan pantulan dari ihsan yang utama yang derajatnya melampaui kelaziman. Kebaikan perilaku ihsan merupakan kebaikan hakikat dan ma’rifat dalam beragama melebihi rukun syari’at.

Ajaran ihsan dapat melahirkan jiwa muraqqabah, merasa diri selalu berada dalam pengawasan Allah. Sebagaimana kisah seorang penggembala kambing yang tidak mau dirayu Umar bin Khattab untuk menjualkan seekor gembalaannya karena takut kepada Allah. Fa-ainallah, maka di mana Allah?, begitulah jawaban si penggembala yang berstatus hamba sahaya itu. Seorang budak begitu mulia perilakunya, yang tidak menyimpang dari kebaikan dan terjerumus pada keburukan hanya karena angapan lahiriah bahwa tidak akan ada orang yang mengetahui perbuatan salah itu. Manusia dapat dikelabui, tetapi Allah Maha Mengawasi setiap gerak maknluk-Nya, meski sekecil zarah. Jiwa muraqabah yang bertumpu pada ihsan itulah yang kini hilang di negeri tercinta ini ketika korupsi dan segala bentuk penyimpangan perilaku maupun wujud kemunkaran lainnya meajalela secara kolektif dan sistemik. Termasuk perilaku korupsi yang menjerat para aktivis dan elite harakah (pergerakan Islam) yang selama ini mengklaim bersih dan Islami.

Exit mobile version