Oleh: Kasiyarno*
Sudah satu abad Persyarikatan Muhammadiyah mengabdikan dirinya di bumi pertiwi. Kehadiran persyarikatan yang lebih awal dari kemerdekaan bangsa dan masih tetap bertahan hingga sekarang menjadi satu pertanda bahwa organisasi ini tidak saja luwes menselaraskan diri dengan dinamika zaman, tetapi juga mampu secara aktif mengisi ruang penting dalam dinamika bangsa.
Dalam satu edisi majalah ini (SM 18/ 96, 2011: 13), Haedar Nashir menulis, “Muhammadiyah dengan ideologi Islam yang berkemajuan bahkan dapat menawarkan pemikiran-pemikiran Islam alternatif yang lebih bercorak humanitarian dan kultural, dengan pandangan-pandangan dan tampilan-tampilan yang lebih lembut.” Dengan kata lain, Muhammadiyah telah berjasa besar dalam “mendinginkan” corak keislaman yang khas nusantara, ─atau dalam bahasa Haedar Nashir, lebih bercorak humanitarian dan kultural.
Satu perspektif penting yang hendak penulis ajukan dalam tulisan ini adalah bahwa kontribusi persyarikatan ini mempunyai sifat kontinuitas, yaitu kemampuan untuk selalu memberikan peran kesejarahan yang bersifat futuristik tidak saja bagi dirinya sendiri namun juga bagi lingkungannya yang lebih luas. Peran kesejarahan tersebut berarti bahwa Muhammadiyah selalu memberikan torehan tinta penting dalam setiap episode perjalanan bangsa dan negara. Dalam tulisan ini, penulis membagi kurun kesejarahan tersebut dalam lima era: kolonial, revolusi kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi.
Pada Era Kolonial, sisi humanitarian persyarikatan ini telah ditegaskan oleh Bapak Pendiri Muhammadiyah, KHA Dahlan, melalui pengamalan surat Al Ma’un (surat ke 107) dalam bentuk aksi nyata ke tengah-tengah masyarakat. Dalam semangat surat ini, keimanan jelas dikaitkan dengan tanggungjawab sosial (social responsibility) yang mengarah pada karakter progresifitas. “Dadio wong Islam sing kemajuan,” begitu pesan KHA Dahlan saat itu.
Pesan dalam kalimat pendek ini memiliki makna yang amat dalam dan berimplikasi luas untuk mengubah mindset yang lebih terbuka menuju umat yang beradab dan bermartabat. Misalnya, dalam beribadah pun orang Islam harus berwawasan maju, tidak bersikap taklid tetapi berdasarkan pada pengetahuan dan pemahaman syariat yang benar. Dalam membangun kesejahteraan umat tidak perlu anti terhadap kemajuan yang dicapai oleh bangsa Barat. Perubahan arah kiblat sholat dan penyelenggaraan pendidikan Islam dengan menggunakan model pendidikan Barat merupakan contoh-contoh praktis perubahan pola pikir yang berkemajuan dari Kyai Dahlan.
Contoh lain menurut catatan KH. Muhammad Syoedja’, pada masa itu ada beberapa kejadian atau upaya penting yaitu (1) Timbulnya penyiaran agama oleh para mubalighin dan mubalighat; (2) Penyiaran agama Islam melalui perpustakaan dengan mendirikan Taman Pustaka, (3) Timbulnya aksi untuk pertolongan umum yang diberi nama Penolong Kesengsaraan Oemoem terhadap orang miskin dan anak yatim, penderita yang sengsara, (4) Berdirinya Sopo Tresno yang kemudian menjadi Aisyiyah, dan (5) Terbentuknya bagian Penolong Haji. Kesemuanya ini berangkat dari satu kesadaran kolektif yang dibangun oleh KHA Dahlan untuk menegakkan ajaran agama Islam yang sebenar-benarnya, yaitu agama yang mampu membawa kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
Masih banyak amal usaha yang dikembangkan KHA Dahlan beserta para sahabatnya saat itu. Akan tetapi agaknya kelima hal ini saja sudah cukup menunjukkan betapa strategis perjuangan Muhammadiyah di awal pertumbuhannya. Yang cukup menarik adalah tidak ada satupun kegiatan tersebut yang dicurigai oleh pemerintah kolonial, sekalipun sesungguhnya apa yang dikerjakan oleh Muhammadiyah adalah menanam benih-benih kesadaraan untuk menjadi sebuah bangsa yang percaya diri dan mampu mengurus dirinya sendiri, alih-alih mengharap belas kasihan dari pemerintah kolonial yang saat itu menjalankan politik etis, yaitu politik (pura-pura) balas budi dari pemerintah kolonial kepada bangsa yang dijajahnya. Sifat nasionalisme yang ditanamkan oleh Muhammadiyah tersebut bahkan ditunjukkan melalui penggunaan Bahasa Indonesia dalam semua laporan dan publikasi kegiatan persyarikatan.
Di Era Revolusi Kemerdekaan, sejarah tak bisa menghapus catatan bahwa salah seorang proklamator terkemuka Indonesia, Bung Karno, pernah menjadi bagian penting dari Persyarikatan Muhammadiyah. Tidak saja karena beliau pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Pendidikan Muhammadiyah saat diasingkan ke Bengkulu, akan tetapi beliau bahkan berwasiat agar ketika dirinya dipanggil Sang Pencipta kerandanya diselubungi dengan bendera Muhammadiyah. Hal ini menunjukkan bagaimana semangat zaman saat itu, dimana seluruh bangsa Asia sedang berjuang untuk melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme, telah diserap sekaligus disebarkan oleh Muhammadiyah ke dalam jiwa anak-anak bangsa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bung Karno yang tak ingin berpisah dengan Muhammadiyah di akhir hayatnya.
Pada masa ini pula, Muhammadiyah melalui kepemimpinan KH Mas Mansyur melakukan sebuah gebrakan di bidang ekonomi, yaitu dengan memisahkan riba’ dengan bunga bank yang tidak menimbulkan kemudharatan. Terobosan ini menjadi sangat penting mengingat pada saat itu sistem perbankan masih dianggap tabu oleh sebagian besar ummat Islam, padahal kemajuan perkenomian modern tidak bisa melepaskan diri dari sistem perbankan.
Sedangkan di bidang politik, sumbangan Muhammadiyah dilakukan melalui tokoh-tokohnya, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimejo yang menjadi anggota Panitia Sembilan, yang merumuskan dasar resmi negara untuk pertama kali. Pada saat opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari Negara RI, maka Ki Bagus Hadikusuma merumuskan sila pertama tersebut dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain itu, Kasman Singodimejo bahkan adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) atau cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sekarang. Sedemikian besar peranan ketiga tokoh ini, sehingga ketiganya diusulkan oleh Muhammadiyah melalui Panitia Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional, yang diketuai AM Fatwa September tahun 2012 lalu, sebagai Pahlawan Nasional.
Selanjutnya pada Era Orde Lama yang merupakan masa-masa penuh ketegangan antar anasir bangsa, Muhammadiyah juga punya kontribusi penting dalam pemerintahan. Saat itu bangsa ini terbelah dalam tiga golongan atau kelompok besar, yaitu kaum agamis, nasionalis dan komunis (NASAKOM), sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Bung Karno untuk menyatukan semua paham kebangsaan di Indonesia. Alih-alih bersatu, ketiga golongan besar ini justru saling bersaing memperebutkan pengaruh dan kekuasaan politik yang berpotensi untuk mengancam integrasi bangsa. Pada saat itu, KH Ahmad Badawi diangkat oleh Bung Karno sebagai Penasehat Presiden untuk Urusan Agama. Di bawah bayang-bayang ancaman PKI, KHA Badawi berhasil meyakinkan Bung Karno untuk tidak membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Muhammadiyah yang saat itu dihasut PKI sebagai organisasi pendukung utama Masyumi, saingan terberat PKI.
Selain itu, syukurlah, bersama komponen agamis dan nasionalis lainnya, Muhammadiyah melalui KHA Badawi kala itu berhasil membendung bahkan meruntuhkan cengkraman PKI yang berhasrat kuat untuk meruntuhkan sila pertama negara, yang bagi Muhammadiyah dijiwai oleh semangat tauhid. Upaya ini tidak berjalan mudah karena PKI selalu berlindung di balik isu Nasakom dan selalu memperoleh dukungan kuat dari pemerintahan Soekarno.
Pada Era Orde Baru situasinya berubah. Pemerinatahan baru lebih mengedepankan kebijakan politik developmentalisme, yang melakukan modernisasi di segala bidang kehidupan bangsa dan negara. Dengan dukungan Kabinet ahli dan Golongan Karya, Soeharto melaksanakan program pembangunan lima tahun yang disusun menurut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Masa ini dwi fungsi ABRI dihidupkan dan kekuasaan komunis disingkirkan sampai ke akar-akarnya.
Pada tanggal 16 Agustus 1982 Presiden Soeharto di depan sidang pleno DPR RI meminta Pancasila dijadikan sebagai satu-satunya asas bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Pada tanggal 6 Maret 1983 keluarlah Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN yang mewajibkan Partai Politik dan Golongan Karya menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985. Kebijakan tersebut juga berlaku bagi semua organisasi kemasyarakatan, Situasi ini menimbulkan ketegangan dan reaksi yang cukup hebat terutama yang datang dari ormas-ormas keagamaan.
Gaya kepemimpinan Pak AR, begitu KH AR Fakhruddin biasa disapa, sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, memiliki peran penting, yakni gaya kepemimpinan yang cukup luwes dalam menyatukan berbagai konflik pemikiran terkait dengan isu sensitif tersebut. Di depan semua hadirin di Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Solo, Pak AR menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, “dengan ikhtiar”, yaitu dalam pengertian bahwa penerimaan tersebut disertai tekad untuk “menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama.”
Sikap bijaksana tersebut ternyata cukup signifikan bagi keberlangsungan perjuangan persyarikatan. Era ini juga dapat disebut sebagai masa-masa kegemilangan Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial. Jumlah amal usaha di ketiga bidang tersebut mengalami peningkatan yang cukup pesat. Prestasi ini begitu mengesankan sehingga membuat Presiden RI saat itu, Pak Harto, berujar,” Sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, saya ikut mengharapkan agar Muhammadiyah tumbuh makin besar, makin kuat, dan makin banyak amalnya dalam bidang-bidang yang amat luas.”
Dukungan pemerintah tersebut tentu sangat bermanfaat bagi persyarikatan. Akan tetapi, pada saat kekuasaan Orde Baru semakin menyimpang dari demokrasi, Muhammadiyah melalui Amien Rais, sebagai tokoh dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah, maju mengingatkan Pak Harto dengan saran melakukan suksesi kepemimpinan. Sayang, saran tokoh reformasi yang diusulkan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya Desember 1993 ini tidak direspon positif yang berakibat munculnya gelombang demontrasi yang menjatuhkan rezim Orba.
Memasuki Era Reformasi, Muhammadiyah telah menformatkan dirinya sebagai organisasi dakwah yang siap memasuki era globalisasi, antara lain dengan mempelopori forum tingkat dunia dua tahunan yang disebut World Peace Forum (WPF) atau Forum Perdamaian Dunia yang pada akhir tahun lalu telah diselenggarakan untuk keempat kalinya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dien Syamsudin, diharapkan dalam forum yang dihadiri oleh banyak tokoh dari beragam latar belakang itu dapat menghasilkan suatu solusi atas permasalahan dunia dalam konteks demokrasi dan multikulturalisme.
Semangat menjawab tantangan global tersebut tidak lantas mengurangi kepeduliaan persyarikatan untuk tetap memperhatikan persoalan-persoalan nasional. Salah satu isu strategis tersebut adalah menyangkut penguasaan sumber daya alam dan energi yang keuntungannya semakin lama semakin berada di pihak asing. Hal ini kalau dibiarkan akan berdampak pada gagalnya pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, bersama 12 ormas Islam dan beberapa tokoh lainnya, Dien Syamsudin meminta Mahkamah Konstitus (MK) untuk mengabulkan uji materi mengenai kedudukan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) pada UU 22/2001 tentang Migas. “Muhammadiyah dan segenap orang dan pemohon akan terus melakukan kajian, pengawalan termasuk memberikan sumbangan pemikiran untuk pemerintah dan DPR … perjuangan untuk menegakkan konstitusi ini kami sebut jihad dan akan segera kami tindak lanjuti dengan melakukan gugatan ke pihak-pihak lain yang kami yakini merugikan rakyat,” tegas ketua Umum Muhammadiyah ini.
Muhammadiyah di Masa Depan
Bagaimana Muhammadiyah seharusnya mereformasi dirinya untuk mengantisipasi perubahan global telah banyak dikaji dalam International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) bertopik “Discourse on Genuine Identity of Muhammadiyah in post Centennial Era” di Universitas Muhammadiyah Malang akhir tahun 2012 lalu. Apapun yang disampaikan oleh para pakar internasional tersebut, Muhammadiyah selama ini telah berhasil membuktikan diri sebagai organisasi yang tak pernah berhenti (stagnan) mengisi roda sejarah bangsa dan negara.
Pada era dimana masalah kehidupan menjadi semakin kompleks seperti sekarang ini, kehadiran organisasi gerakan seperti Muhammadiyah sangat diperlukan. Untuk itu penulis memberikan beberapa catatan agar eksistensi dan fungsi persyarikatan ini tetap berkelanjutan. Pertama, Muhammadiyah harus selalu konsisten sebagai gerakan dakwah keagamaan yang bergerak untuk kemaslahatan ummat sebagaimana yang telah ditunjukkan di masa awal berdirinya. Kedua, Muhammadiyah tidak boleh lengah untuk menjaga kemandirian di tengah derasnya godaan dana internasional (bantuan asing?) sebagaimana yang telah ditanamkan para tokoh pendahulu pada masa revolusi kemerdekaan. Ketiga, Muhammadiyah harus mampu menjaga diri dari pusaran konflik ideologis dan politis yang selalu muncul dalam praktek penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat baik dari infiltrasi gerakan liberalisme maupun radikalisme. Keempat, Muhammadiyah harus terus menjaga kesinambungan amal usahanya dengan tidak saja meningkatkan kualitas manajemen dan jumlah amal usahanya tetapi juga jiwa berMuhammadiyah setiap warga yang ada di dalamnya. Kelima, Muhammadiyah harus siap masuk ke dalam pergaulan masyarakat internasional dengan tetap menjaga jati diri dan kepeduliannya pada persoalan-persoalan di dalam negeri.
Akhirul kalam, marilah kita merenungkan ungkapan bijak dari Buya Syafii Maarif yang diutarakannya di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 15 Desember 2009 lalu: “Sejalan dengan kualitas Islam sebagai solusi seperti yang kita harapkan, maka rumusan ini patut pula dipertimbangkan: Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenarnya! Di sinilah letaknya salah satu tantangan terbesar yang sedang menanti jawaban Muhammadiyah.”
—————————-
*Penulis adalah rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD)