Fajar Cerah Film Muhammadiyah

Fajar Cerah Film Muhammadiyah

“Film Meniti 20 Hari merupakan 100 persen karya Muhammadiyah.” Ungkapan kebanggaan dan optimisme itu keluar dari lisan Syukrianto AR. Putra dari KH Abdur Rozak Fachrudin, yang akrab disapa Pak AR. Saat ini, Syukrianto AR diamanahi memimpin Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Di bawah kendalinya, LSBO baru saja menghasilkan sebuah film yang 100 persen diproduksi oleh Muhammadiyah.

Film itu berjudul ‘Meniti 20 Hari,’ berkisah tentang salah satu episode kehidupan Pak AR yang penuh ibrah, sebagaimana dikatakan sutradara film Arimus Barianto. Film petualangan bersepeda regu Hizbul Wathan (HW) yang menempuh jarak 1300 km, dari Ulak Paceh Palembang menuju Medan untuk menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-28, tahun 1939. Perjalanan penuh perjuangan selama 20 hari itu dipimpin oleh AR Fachrudin muda.

Petualangan mereka menemui banyak halangan dan rintangan. Sepeda rusak berkali-kali di tengah jalan, ada yang tergelincir dan cedera, terpikat cinta, tidak diterima di masyarakat karena memakai lambang Muhammadiyah, hingga suatu malam bertemu dengan harimau di tengah hutan. Namun, semua itu dihadapi dengan penuh ksatria, strategi jitu dan keputusan yang bijaksana. Persis sebagaimana mars HW; Memegang amanahnya menjunjung agama//Teguh hati sebagai baja//Menjalankan kewajiban dengan sopan serta perwira//Sama-sama fakir dan kaya//Punya haluan sedikit bicara banyak bekerja.

Wajar saja, setelah menonton film ini, ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan apresiasi tinggi. Haedar yakin film ini bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda yang kini cenderung pragmatis. “Ini kan filmnya menginspirasi anak muda, bagaimana belajar untuk mengatasi kesulitan. Ada tantangan, berani menghadapi tantangan. Nah, ketika kultur kita instan, banyak di antara anak-anak muda ingin meraih cara jalan pintas, film ini memberi inspirasi, bahwa tidak ada kesuksesan tanpa pergumulan perjuangan. Jadi ini inspirasi buat anak-anak muda bagaimana hidup dengan dinamika,” tuturnya.

Secara personal, Haedar memang memiliki banyak kenangan tentang Pak AR dan bahkan sempat menginap sekamar dalam suatu acara Muhammadiyah di tahun 1984. Haedar mengaku banyak menimba kearifan dari sosok sederhana itu. Di antaranya bahwa Pak AR memiliki pengkhidmatan yang luar biasa dalam memimpin Muhammadiyah dan Pak AR paham betul sarinya Muhammadiyah. “Pak AR kuat dalam prinsip,” kata Haedar sambil mencontohkan negosiasi Pak AR dengan Presiden Soeharto yang ketika itu melarang organisasi berasas Islam. “Tetapi bisa bertawasut (luwes) dalam cara, tanpa kehilangan marwah,” kata Haedar.

Film ini hanyalah salah satu bagian dari kehidupan Pak AR yang pernah memimpin Muhammadiyah dalam periode terlama. Ketika ditanya wartawan apakah ada keinginan untuk melanjutkan episode lainnya dari kehidupan Pak AR, Syukrianto AR hanya menjawab, nanti akan dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan. Bahwa di satu sisi, kehidupan Pak AR memang masih menyisakan banyak cuplikan yang bisa dijadikan sumber inspirasi bagi yang lain, namun di sisi lain, Syukrianto tampak tak ingin mengkultuskan ayahnya sendiri. Syukrianto justru membeberkan bahwa LSBO kini akan segera menggarap beberapa film tentang tokoh Muhammadiyah lainnya; Sudirman, Fatmawati Soekarno, dan Djuanda. Selain juga film Nyai Walidah yang dalam proses penggarapan.

Dalam waktu dekat, Syukrianto AR dkk memang sedang menyiapkan naskah dan proposal untuk proses pembuatan film yang menceritakan tentang jenderal Sudirman, yang terkenal dengan perang gerilya, paru-paru yang tinggal satu, memimpin perang di atas tandu, dan tentang pengkhidmatannya yang total sebagai anggota Pemuda Muhammadiyah, Hizbul Wathan dan guru. Film tentang Jenderal Sudirman ini dianggap penting untuk segera digarap. Anak muda Muhammadiyah butuh sosok teladan supaya lebih bersemangat dalam mengabdikan diri untuk bangsa, termasuk dengan menjadi seorang jenderal. Belakangan, generasi Muhammadiyah lebih banyak yang menjadi pengawai negeri. Padahal seperti kata seorang sosiolog, untuk menguasai negara, maka jadilah salah satu dari tiga; penguasa, pengusaha, atau jenderal.

Sebelum memulai proyek besar film Jenderal Sudirman itu, LSBO sudah berhati lega. Sebabnya karena ada yang menyatakan kesediaan untuk membiayai film yang ditaksir menghabiskan dana hingga 9 milyar. Biaya dan sumber daya itulah yang menambah rasa optimisme Syukrianto tentang kebangkitan dunia perfilman Muhammadiyah. Karya Meniti 20 Hari menjadi bukti bahwa Muhammadiyah mampu untuk menghasilkan karya terbaik bagi bangsa. Para pemain, penulis naskah, produser, sutradara dan pembiaya semuanya merupakan bagian dari keluarga besar Muhammadiyah.

Para pemain film Meniti 20 Hari merupakan para mahasiswa dan pengawai di UM Palembang, STIKES Aisyiah Palembang dan STIKES Muhammadiyah Palembang. Dari sana, lahirlah nama-nama M Rozy yang merupakan cucu Pak AR, Restu Ananda Putra, Bagus Rama Putra EP, M Andreanto Wibisono, Suwaibatul Aslamiyah dan Clara Vina Saputri, Angel Triananda, Ayu Septi Putri, M. Rifaldi Rauf, Muhammad Muttaqien, Ari Yulianto dan Joko Hendra Saputra, Yosep Sutrisno, Arfan dan Alzaref Dwi Trasuka. Di luar itu, sumber daya Muhammadiyah dalam dunia film bisa dikatakan sangat mumpuni, tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Tidak sedikit artis nasional yang merupakan lulusan dari sekolah dan atau universitas Muhammadiyah.

Kesempatan ini menjadi titik balik bagi Muhammadiyah, tidak lagi hanya menjadi penonton dan pengamat tetapi juga sebagai pelaku dan pemain. Selama ini, Muhammadiyah kadang ‘ditampilkan’ dalam film semisal Laskar Pelangi (2008) dan Soekarno (2013). Namun terkadang ‘Muhammadiyah’ dilupakan seperti halnya film Soedirman (2015). Oleh karena itu, guna meluruskan sejarah dan memaksimalkan pesan yang ingin disampaikan serta menyasar objek dakwah yang lebih luas, maka Muhammadiyah memang harus segera memulai.

Melalui film, Muhammadiyah bisa mengajarkan tentang sejarah secara lebih efektif dan efesien, sesuai perkembangan zaman. Sebagaimana Pramoedya Ananda Toer pernah ditanya, ‘Mengapa tidak menulis buku sejarah?’ Pram menyatakan bahwa menulis buku sejarah itu jarang atau bahkan tidak dibaca orang. Berbeda halnya dengan novel. Sehingga, Pram menulis banyak novel bergenre sejarah, seperti Arok Dedes, Arus Balik, Mangir.

Ketika hari ini, Muhammadiyah tersadar akan pentingnya mengenalkan sejarah kepada generasi penerus, maka film menjadi salah satu media. Namun bukan berarti meninggalkan media konvensional. Pemanfaatan media film selain membawa dampak positif, juga menyisakan efek negatif. Seperti misalnya mereduksi karakter tokoh di sana-sini hingga adanya tambahan-tambahan kecil untuk memperindah alur cerita.

LSBO telah bertekad untuk mempelopori film-film bergenre pendidikan karakter, pendidikan anak, dan dokumenter. Di abad kedua, Muhammadiyah perlu memperluas perannya. Terlebih, ketersediaan sumber daya yang sangat melimpah menjadi keuntungan tersendiri. Muhammadiyah perlu untuk memberi ruang berkiprah yang lebih besar bagi para seniman, sastrawan, budayawan, dan pelaku kreatif lainnya. Khususnya di bidang film, potensi dan antusiasme anak muda tak perlu diragukan. Saatnya menyongsong fajar cerah perfilman Muhammadiyah.

————————————————-

Penulis: Muhammad Ridha Basri

Exit mobile version