Haedar Nashir: Agama dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan

Haedar Nashir: Agama dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan

BANTUL, Suara Muhammadiyah– Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ikut memberikan tanggapan terkait dengan pernyataan Presiden Jokowi saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada Jumat (24/3) lalu. Saat itu Presiden Jokowi menyatakan bahwa antara agama dan politik harus dipisahkan.

Menyikapi hal itu, Haedar Nashir mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan. “Jadi politik dan agama itu dalam konteks Indonesia memang tidak bisa dipisahkan,” kata Haedar usai melakukan peresmian Gedung Baru Unit 3 SMK Muhammadiyah Imogiri, Rabu (29/3).

Perjalanan bangsa Indonesia sejak awal telah bersinggungan antara agama dan urusan negara. Haedar mencontohkan pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mencantumkan kalimat ‘berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’. Selain itu, sila pertama Pancasila dengan tegas menyatakan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, kemudian juga pasal 29 UUD 1945 yang membahas masalah keagamaan. “Jika dilihat dari konteks itu maka agama tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan negara,” ujar Haedar,

Haedar memberi masukan bahwa yang perlu diatur yaitu dimensi struktural negara dalam mengatur urusan agama. “Perlu ada kejelasan dari negara dalam konteks politik dan agama, mana urusan politik yang tidak perlu diatur agama, dan mana urusan agama yang tidak perlu diatur politik,” kata Haedar.

“Itu kan soal pembagian saja. Moralitas agama itu harus menjiwai seluruh kehidupan bangsa kita, karena tidak ada bangsa yang bebas dari kulturnya, kultur Indonesia itu sejak dulu kultur agama, religius apapun agamanya,” tuturnya. Menurut Haedar, nilai-nilai moralitas agama harus menjiwai seluruh  lingkup kehidupan kebangsaan, apa pun itu agamanya.

Oleh sebab itu, Haedar menyarankan agar presiden bisa berdialog dengan para tokoh agama dan tokoh bangsa untuk menemukan formulasi yang tepat dalam memposisikan agama. Ketika agama bisa diposisikan secara tepat dalam konteks kebangsaan, yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik, maka tidak akan menjadi kontroversi.

Haedar juga mengingatkan kepada kekuatan-kekuatan agama perlu lebih moderat dalam memposisikan agama dan politik.  “Kita juga ingin bahwa pandangan tentang posisi dan fungsi agama itu dilihat dengan cakrawala yang luas, tapi juga kekuatan-kekuaran agama perlu lebih moderat,” kata Haedar. Hal itu dikarenakan ada dimensi agama yang tidak bisa sepenuhnya sebangun dengan urusan-urusan ekonomi, politik dan kehidupan secara keseluruhan. Namun spirit universalitas agama bisa digunakann untuk membimbing moral (Ribas).

Exit mobile version