Oleh Tafsir
Namanya juga takhayul, berarti hanya ada dalam khayalan, tidak rasional apalagi faktawi dan juga tidak memiliki dasar spiritualitas yang masyru’ah. Dalam Islam, kebenaran memang tidak selamanya rasional dan empiris, tetapi harus memiliki landasan spiritualitas yang masyru;ah (sesuai syari’ah) dan inilah yang disebut sebagai kebenaran keyakinan, suatu kebenaran yang sangat penting bagi keberagamaan seseorang. Tanpa keyakinan, agama akan kehilangan kekuatannya.
Rasional dan empiris menjadi titik balik modernitas, di mana manusia merespon, menguasai bahkan mengeksploitasi alam dengan akal dan kemampuan fisiknya. Manusia modern seperti tak perlu lagi pada mitos-mitos khayalan untuk menjalani kehidupan. Cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada) kata Rene Descartes (1596-1650), seorang filosof dari Inggris yang sering disebut sebagai pendiri filsafat modern. (Russell, 2007: 732-742). Dengan berfikir itulah manusia akan menunjukkan eksistensinya. Nabi Muhammad saw pun tak pernah berhenti mengajak kita untuk berfikir, setiap bangun tidur pada sepertiga malam terakhir, sebelum melakukan aktifitas apapun maka yang beliau lakukan adalah duduk di tempat tidurnya, sambil menegadah ke langit dibacanya satu sampai sepuluh ayat terakhuir al-Qur’an surat Ali Imran : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran : 190-191).
Hanya saja dalam Islam selalu ada keseimbangan antara fikir dan dzikir, termasuk seperti yang digambarkan pada ayat di atas. Dengan demikian seorang Muslim tidak memiliki kesulitan apapun untuk menerima modernitas selama tidak tercerabut dari akar spiritualitas masyru’ah. Kebenaran spiritualitas bukan khayalan tetapi memiliki landasan teks agama yang kuat sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara spiritual.. Inilah yang membedakan dengan tkhayul yang tidak memiliki landasan apapun sehingga kebenarannya tak dapat dipertanggungjawabkan.
Pemikiran rasional Descartes menjadi titik balik modernitas Barat dan pengaruhnya menjadi sangat luar biasa ke seluruh belahan dunia. Modernitas dengan mengandalkan berfikir rasional merasuk ke hampir seluruh sendi kehidupan manusia. Tetapi jangan dikira di tengah-tengah modernitas tak ada khayalan. Pola hidup takhayul tetap subur di tengah-tengah gemerlapnya modernitas. Mungkin benar kata Honig, bahwa dalam diri manusia modern tetap saja terdapat potensi primitif dan sebaliknya, dalam diri manusia primitif terdapat potensi modernitas. Takhayul adalah salah satu ciri manusia primitif di mana mereka percaya kepada benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis. Maka tidak usah heran jika fenomena Ponari, berebut kotoran kerbau Kyai Slamet dan sejenisnya tetap marak di tengah modernitas. Mereka yang berebut benda-benda tersebut bisa jadi bukan orang yang tak terpelajar tetapi mungkin saja ada di antara mereka seorang sarjana yang pola hidup sehari-harinya sangat modern.
Takhayul Modern
Kini, perilaku takhayul tak hanya kepercayaan terhadap banda yang diangap magis dan keramat, tetapi juga pola hidup yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara rasional, empiris dan spiritual dalam kemasan yang lebih modern. Berapa banyak di antara kita, bahkan ulama dan intelektual tergiur oleh janji-janji keuntungan investasi yang sebenarnya secara logika ekonomi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dengan iming-iming keuntungan 10 % dari modal disetor setiap bulan, banyak di antara kita kehilangan akal sehat, ramai-ramai menanamkan investasi puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sebulan, dua dan tiga bulan keuntungan sepuluh persen tersebut memang lancar diterimanya, tetapi setelah itu macet , kantornya terkunci, sepi tak berpenghuni dan pengelola investasipun hilang entah ke mana dengan membawa uang sisa yang jauh lebih banyak daripada jumlah setelah dipotong tiga bulan itu.
Hal di atas itulah barangkali sekelumit gambaran manusia modrn yang karena nafsu duniawi dan pola hidup konsumtif -sebagai salah satu pola hidup modern- juga tak ubahnya seperti .manusia primitif yang kehilangan akal sehatnya sehingga terjerumus pada perilaku yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, empiris dan spiritual. Secara syari’ah, investasi dengan keuntungan sepuluh persen perbulan bisa jadi dikategorikan sebagai riba adl’afan mudlafa’atan (riba yang berlipat ganda) yang hukumnya adalah haram. Sementara secara logika ekonomi, khususnya dunia perbankan, apakah ada investasi dengan keuntungan sepuluh persen setiap bulan. Pola pikir yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam segala perspektif yang sering menghantui para manusia modern inilah yang mungkin bisa disebut sebagai takhayul modern.
Tentu saja masih banyak kasus serupa yang muncul di tengah-tengah modernitas, pola-pola hidup dengan kemasan modern, tetapi sejatinya hanyalah daur ulang pola hidup primitif. Betapa gegap gempitanya ketika sebagian kita menjelang memasuki tahun yang baru, ramai-ramai menampilkan para peramal untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada tahun yang akan datang. Para peramal dengan fasih mengatakan di tahun yang akan datang akan terjadi musibah, narkoba dan kawin cerai para artis walaupun tak satupun peramal yang mengatakan bahwa Raffi Ahmad dkk sebagai salah seorang yang akan ditangkap polisi karena dugaan narkoba pada awal tahun 2013 ini. Sudah menjadi sunnatullah tanpa harus diramal, romantisme kehidupan pasti akan ada musibah, maksiyat, tetapi pasti ada taat dan anugerah. Bagaimana dengan ramalan cuaca, ini tentu ramalan yang didasarkan pada data, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Melihat fenomena di atas, maka tugas dakwah Muhammadiyah untuk memberantas takhayul sebagai bagian dari penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) akan menjadi tugas abadi yang tak akan pernah berhenti. Sebagai gerakan islam yang ingin menampilkan Islam yang berkemajuan, sudah seharusnya dakwah Muhammadiyah, tidak hanya melihat persoalan modernitas sebagai obyek dakwah dalam satu perspektif syari’ah saja, tetapi juga menggunakan alat bantu ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan cara ini, wawasan Islam di Muhammadiyah tidak hanya dapat dipertanggung jawabkan secara syariah dan spiritual, tetapi juga secara rasional dan empiris. Muktamar satu abad Muhammadiyah di Yogyakarta telah merumuskan hal itu, sebagaimana dalam Tanfidz Muktamar disebutkan bahwa dalam melaksanakan gerakannya, Muhammadiyah selalu berprinsip pada ketauhidan, kerahmatan, kekhalifahan, kerisalahan, kemashlahatan, kemajuan, rasionalitas dan keilmuan, kreatifitas local dan desentralisasi proporsional, fleksibilitas, efektifitas dan efisiensi dan hokum dan keadilan, (Tanfidz, 2010 : 72-74). Wallahu a’lam. Semoga.