JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif, atau akrab disapa Buya Syafii diundang untuk menyampaikan pidato dan orasi kebangsaan dalam acara ulang tahun Mizan Group ke-34. Acara ini diselenggarakan di gedung serbaguna Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (30/3).
Orasi Kebangsaan oleh Ahmad Syafii Maarif ini disampaikan di depan para tokoh, seperti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi, dan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi. Turut serta antara lain Candra Malik, Bachtiar Rahman, Kurnia Efendi, Gangsar Sukrisno, dan Pidi Baiq.
Dalam kesempatan itu juga dilakukan peluncuran kembali buku Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi dan Perdebatan Konstituante karya Buya Syafii yang sekaligus menjadi tema orasi kebangsaan. Dalam menjabarkan tema itu, Buya Syafii menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Justru yang perlu dipermasalahkan adalah perwujudan sila-sila Pancasila dalam kehidupan yang masih belum sempurna.
Dalam kehidupan berbangsa, Pancasila dianggap masih melangit dan belum membumi. Menurutnya, nilai-nilai dalam Pancasila belum terimplementasikan dengan sempurna. Terutama dalam perwujudan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pancasila masih di atas awan tinggi. Keadilan kita belum tegak. Kesenjangan sosial kita ini tajam sekali,” tegasnya.
Buya Syafii menyatakan bahwa sila kelima Pancasila belum menjadi pedoman membangun bangsa sejak kemerdekaan. Sila kelima disebut sudah menjadi yatim piatu sejak awal. “Pancasila adalah dasar yang kokoh. Namun sila kelima ini menjadi yatim piatu sejak awal,” tuturnya.
Pernyataan itu dilandasi oleh fakta ketimpangan ekonomi Indonesia yang semakin tinggi. Satu persen orang kaya bisa menguasai sekian persen total kekayaan negara. Ia menyebut hal ini sebagai sebuah pengkhianatan kepada bangsa dan cita-cita kemerdekaan.
Buya Syafii lantas mengembalikan memori saat Presiden pertama Indonesia, Soekarno berpidato pada 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Saat itu, Bung Karno sempat menyinggung jika di dalam Indonesia merdeka, tidak akan ada lagi kemiskinan. Semua berada dalam kesejahteraan yang adil.
Namun, harapan Bung Karno ini tidak diperjuangkan hingga Indonesia berusia 71 tahun. Malah, kata Buya, kesenjangan sosial di Indonesia makin tajam. “Kalau dibiarkan terus menerus, saya khawatir bangsa ini sedang menggali kubur masa depannya. Itu sangat-sangat berbahaya,” tuturnya.
Menyikapi kondisi ini, Buya Syafii mengajak para pemimpin bangsa untuk segera sadar dan kembali menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar bernegara. “Yang penting sekarang nilai-nilai Pancasila itu dibawa turun ke bumi. Kalau tidak, pilar-pilar kebangsaan akan goyah,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Buya Syafii juga mengaku prihatin dengan kondisi para pemimpin bangsa justru telah kehilangan hati nurani. Melupakan tugas untuk mewujudkan keadilan dan justru menambah daftar kesenjangan.
“Kita kehilangan hati nurani, lumpuh. Dalam survei-survei, dalam penelitian-penelitian itu, lembaga paling korup justru lembaga yang ada di Senayan. Yang kedua kejaksaan. Yang ketiga kepolisian. Kepolisian agak naik sedikit, lebih baik. Saya nggak tahu itu, ya,” kata Syafii Maarif (Ribas).