Post-Puritanisme Muhammadiyah

Post-Puritanisme Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Muhammadiyah merupakan gerakan Islam ortodoks-modernis. Dikatakan ortoks karena jargon al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah yang merupakan usaha merujuk pada ortodoksi Islam. Sementara modernis dibuktikan dengan sistem pendidikan yang dibangun dan gagasan reformasi atau pembaharuan di bidang keislaman. Hal ini disampaikan Hilman Latief, PhD pada Kajian Malam Sabtu (KAMASTU) yang diadakan Angkatan Muhammadiyah (AMM) DIY pada Jum’at (31/3).

KAMASTU edisi bedah buku tersebut mengulas buku “Post-Puritanisme: Pemikiran dan Arah Baru Gerakan Islam Modernis di Indonesia 1995-2015”. Menurut Hilman, penulis bukunya, postpuritanisme dimaknai sebagai sebuah cara pandang, perspektif dan gerakan yang dikembangkan kalangan modernis Muslim di Indonesia dalam menanggapi perkembangan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, dan lainnya melalui rumusan keislaman yang baru, terbuka dan progresif.

Puritan, kata Hilman, merupakan gerakan pemurnian karena ada praktik yang dianggap tidak murni. Hal semacam ini hampir ada di semua agama. Sehingga kemudian muncul aliran-aliran atau sekte-sekte baru. Menurutnya, setiap denominasi besar secara alamiyah akan memunculkan kelompok-kelompok kecil.

“Maka saat ini kita melihat adanya kelompok-kelompok yang disebut-sebut sebagai sempalan dari Muhammadiyah, pecahan dari Muhammadiyah. Mungkin meraeka merasa sudah tidak murni lagi. Hal seperti wajar. Ini juga kritik bagi kita”, katanya pada pengajian rutin di Aula Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY itu.

Dalam konteks purifikasi, lanjutnya, Muhammadiyah berkembang dinamis. KH Ahmad Dahlan adalah orang keraton. Menjadi unik ketika gerakan modernis ini muncul dari kalangan keraton, gerakan pemurnian muncul di daerah yang kental dengan takhayul, bid’ah, khurafat tersebut.

Meskipun gagasan-gagasan Muhammadiyah merupakan kumpulan dari gagasan individu, namun gagasan individu belum tentu menjadi representasi Muhammadiyah.

“Jadi ada yang resmi dan tidak resmi. Ada yang secara resmi dikeluarkan sebagai gagasan organisasi dan tidak. Apakah seseorang dapat merepresentasikan gagasan Muhammadiyah hanya karena ia tokoh Muhammadiyah?”, tandas dosen UMY yang memperoleh gelar doktor di Belanda tersebut.

 

Selanjutnya Hilman menyebut bahwa ciri puritanisme adalah munculnya gagasan-gagasan baru. Oleh karenanya Muhammadiyah merumuskan fiqih air, fiqih kebencanaan, bahkan fiqih anti korupsi. Maka banyak yang bertanya apa yang akan dilakukan Muhmmadiyah pada abad kedua ini. Hilman juga menyatakan perlu dibangun kesadaran politik.

“Menjadi politisi itu berat. Tapi kesadaran politik perlu dibangun. Jangan sinis terhadap politik. Kalau saya kembali ke sepuluh tahun lalu, mungkin saya ingin masuk di dunia politik, menjadi politisi”, pungkasnya (Rayhan).

Exit mobile version