Sahabat Rasulullah Sebagai Generasi Utama: Sebuah Pemahaman Ulang (1)
Oleh: Prof Dr Al Yasa` Abubakar
Imam mazhab dan para ulama memberikan penghargaan tinggi kepada para Sahabat Rasulullah. Penghargaan tersebut bukan saja terhadap pengabdian, pengorbanan dan kesetiaan mereka selama berjuang mendampingi Rasulullah, tetapi juga terhadap pendapat (fatwa, ijtihad atau fiqih) yang mereka hasilkan. Terkesan, pendapat para Sahabat tersebut semuanya benar. Mereka seolah-olah terhindar dari kesalahan atau paling kurang mereka telah mencapai kebenaran paling tinggi sehingga tidak layak dikritik, apalagi untuk tidak diikuti. Tulisan ini akan menjelaskan alasan kenapa para ulama memberikan penghargaan yang relatif sangat tinggi kepada pendapat (fatwa) para Sahabat.
Dalam tradisi Islam, ada dua pengertian Sahabat Rasulullah. Pertama, menurut kajian ilmu hadis, Sahabat adalah orang yang bertemu Rasulullah dalam keadaan Islam sampai wafat. Jadi, seorang muslim yang hanya sekali bertemu Rasulullah telah dianggap sebagai Sahabat menurut ilmu hadits. Sahabat dengan kriteria ini, menurut dugaan ulama, berjumlah sekitar 150.000 orang, dengan alasan jumlah jamaah pada haji wada` sekitar 100.000 orang. Mereka dianggap sebagai Sahabat dan hadits yang mereka tuturkan dinilai bersambung, bukan mursal.
Kedua, menurut kajian ilmu fiqih, syarat seseorang dianggap sebagai Sahabat kalau dia pernah bergaul bersama Rasulullah sampai beberapa lama, mendengar atau menyimak ketika beliau memberikan pengajaran, pernah menerima perintah atau larangan darinya, menyaksikan proses membuat keputusan, dan seterusnya. Dengan syarat ini, seorang Sahabat mengetahui tabi`at dan sifat Rasulullah. Pergaulan dan pendampingan tersebut dianggap cukup bagi mereka untuk memahami pengajaran dan bimbingan yang diberikan Rasulullah. Pendapat atau fatwa mereka inilah yang dianggap mempunyai nilai fiqih.
Karena persyaratan yang relatif ketat ini, maka jumlah Sahabat yang fatwanya dihargai tidaklah banyak. Ibnu Hazm (Al-Ihkam jilid 5, bab 28) setelah melakukan penelitian secara menyeluruh menyatakan bahwa Sahabat yang memberikan fatwa yang relatif banyak (mencapai ribuan buah) hanya tujuh orang saja, yaitu `Aisyah binti Abu Bakr, `Umar bin al-Khaththab, `Ali bin Abi Thalib, `Abdullah Ibnu `Abbas, `Abdullah Ibnu Mas`ud, `Abdullah Ibnu `Umar, dan Zaid bin Tsabit. Sedang Sahabat yang memberikan fatwa dalam jumlah sedang (mencapai ratusan buah) hanya tiga belas orang. Jumlah Sahabat yang memberikan fatwa hanya beberapa buah saja antara seratus sampai seratus lima puluh orang saja.
Alasan yang digunakan untuk menjelaskan kelebihan para Sahabat dalam memahami isi al-Qur’an dan hadits terbagi menjadi dua. Pertama, ayat al-Qur`an dan hadits yang menyatakan keunggulan dan kelebihan mereka. Ibnu Qayyim (I`lam al-Muwaqqi`in, jilid 4, hlm. 130) mengelompokkan bukti dan alasan tentang kelebihan Sahabat atas generasi lain menjadi 43 buah. Dia mengutip lebih 15 ayat al-Qur’an dan lebih 15 hadits. Di antara yang dia kutip adalah ayat yang menurutnya digunakan Imam Malik untuk melebihkan Sahabat atas generasi lainnya, yaitu surat Al-Taubah ayat 100. Sedang hadits, dari belasan yang dikemukakan Ibnu Qayyim, penulis kutipkan salah satu yang dianggap paling relevan, yaitu hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: “Abad (kurun, generasi) yang terbaik adalah kurun waktu saya diutus, kemudian kurun (generasi) yang mengikutinya, lalu kurun (generasi) yang sesudahnya, dan seterusnya (dalil keempatbelas, hlm. 136).
Kedua, alasan rasional bahwa mereka merupakan generasi yang paling memahami Rasulullah dibandingkan dengan generasi sesudahnya. Para ulama, khususnya imam mazhab, berkeyakinan bahwa Sahabat mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah, maka merekalah orang (generasi) yang paling memahami nash. Mereka mengetahui jalan pikiran, bahkan melihat ekspressi wajah Rasulullah ketika memutuskan sesuatu perkara, serta mengetahui kesulitan dan kelapangan yang dialami Rasulullah ketika mengamalkan sesuatu perbuatan. Mereka juga mengetahui asbab al-nuzul ayat al-Qur’an dan asbab al-wurud hadits-hadits serta menguasai bahasa Arab dan adat Arab dengan baik.
Menurut penulis, kelebihan Sahabat yang oleh para ulama ditafsirkan secara sangat luas, adalah mungkin untuk dipahami secara lebih sempit; bahwa Sahabat adalah generasi yang terbaik hanya terbatas pada kesetiaan, kepatuhan, dan pembelaan mereka kepada Rasulullah. Hal tersebut tidak mungkin diberikan oleh generasi lain, karena mereka semuanya hidup sesudah Rasulullah wafat. Adapun pendapat (fatwa, pemahaman, ijtihad) mereka, tetap akan dihargai sebagai pendapat dan pemahaman yang benar dan baik, tetapi tidak akan dihargai sebagai pendapat yang paling benar, apalagi satu-satunya kebenaran. Alasan pertama, Sahabat adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan, karena itu pendapatnya harus dihargai sebagai pendapat manusia (ulama) yang mungkin saja keliru. Mereka sama seperti manusia lainnya, bukan orang ma`shum. Alasan kedua, adanya cara (metode) untuk menemukan kebenaran yang dianggap cukup kuat yang tidak diketahui (digunakan) oleh Sahabat, yaitu metode ilmiah.
Dengan jalan pikiran seperti ini, adalah mungkin bagi ulama sekarang atau pada masa yang akan datang untuk memberikan pemahaman yang berbeda dengan pemahaman para Sahabat Rasulullah (atas al-Qur’an dan hadits Rasulullah), dan tetap dihargai sebagai kebenaran (berdasarkan persyaratan metodologis). Adanya upaya untuk mencari pendapat baru sebagai pengganti atas pemahaman Sahabat, bukanlah karena pendapat Sahabat dianggap salah atau tidak benar, tetapi “terpaksa” dilakukan karena pendapat tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan. Perbedaan budaya, keadaan, dan lingkungan antara masyarakat masa Sahabat dengan masyarakat masa sekarang sudah sedemikian rupa jauhnya, karena itu dirasa perlu mencari pendapat baru yang lebih maslahat pada satu segi dan memenuhi syarat metodologis pada segi yang lain.
Pendapat para Sahabat dapat dirinci menjadi dua macam. Pertama, sekiranya diketahui alasan dan pertimbangannya, maka pendapat tersebut akan diterima dan dihargai berdasarkan alasan dan pertimbangan yang dikemukakan oleh para Sahabat itu. Kedua, ketika pendapat para Sahabat tentang sesuatu hal dianggap tidak rasional atau tidak sistematis, maka para imam mazhab akan menerimanya dengan asumsi pasti ada dalil (al-Qur’an atau sunnah) yang digunakan sebagai dasar oleh para Sahabat, tetapi tidak sampai kepada imam mujtahid (mazhab); atau ada logika dan jalan pikiran yang mereka gunakan tetapi tidak dijelaskan sehingga tidak diketahui oleh para imam mazhab. Jadi, pendapat tersebut akan tetap dihargai menurut apa adanya, tidak layak untuk dikritik apalagi ditinggalkan.
Wahbah az-Zuhayli menyatakan (Ushul-ul Fiqh, hlm. 850), ada empat pendapat para imam mazhab mengenai kehujjahan pendapat Sahabat. Pertama, mereka sepakat mengenai kehujjahan pendapat Sahabat dalam bidang yang tidak menjadi lapangan ijtihad, karena kuat dugaan Sahabat memberikan pendapat berdasarkan khabar tawqifi dari Rasulullah, tetapi tidak mereka sebutkan. Kedua, mereka sepakat mengenai kehujjahan pendapat Sahabat dalam masalah yang sudah disepakati oleh para Sahabat, sebagiannya menyebutkan sebagai ijma` Sahabat, sedang sebagian lain menyatakannya belum mencapai tingkat ijma’ namun tetap mengakui otoritasnya. Ketiga, mereka sepakat bahwa pendapat seorang Sahabat tidak menjadi hujjah kepada Sahabat yang lain. Keempat, mereka berbeda pendapat tentang kehujjahan pendapat Sahabat yang merupakan hasil ijtihad penuh; sebagian mereka menyatakannya mengikat atas para tabi`in dan generasi yang datang sesudah mereka, sedang sebagian lagi menyatakan tidak mengikat.
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhayli dengan mengutip pendapat yang ada dalam kitab-kitab ushul fiqih, menyebutkan untuk pendapat yang keempat ini, ada empat pendapat juga sebagai penjabarannya. Pertama, hasil ijtihad tersebut bukan hujjah syar`iyyah. Pendapat ini dinisbahkan kepada jumhur ulama Asy`ariyah, Muktazilah, dan Syi`ah (ketiganya aliran kalam). Pendapat ini diikuti juga oleh Imam Ahmad dalam satu riwayat, serta sebagian pengikut Hanafiah dan Malikiah. Oleh para pengikut Imam Syafi`i (ulama Syafi`iyah) pendapat ini dinisbahkan juga kepada Imam Syafi`i.
Ibnu Hazm juga termasuk pengikut pendapat ini, bahkan lebih jauh lagi beliau menolak semua pendapat Sahabat dengan alasan hanya al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang mengikat umat Islam. Kedua, merupakan hujjah syar`iyyah dan didahulukan atas qiyas. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad, dan sebagian ulama dalam mazhab Hanafi. Menurut Wahbah, kebanyakan buku kontemporer menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ulama. Ketiga, merupakan hujjah syar`iyah kalau sejalan dengan qiyas. Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi`i dalam Qawl Jadid-nya. Keempat, merupakan hujjah syar`iyyah apabila menyalahi qiyas. Bersambung
Prof Dr Al Yasa` Abubakar, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh