Di Kantor Suara Muhammadiyah, Ketua AJI Bicarakan Kualitas Berita dan Kompetensi Jurnalis

Di Kantor Suara Muhammadiyah, Ketua AJI Bicarakan Kualitas Berita dan Kompetensi Jurnalis

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Bambang Muryanto hadir menjadi pembicara dalam forum diskusi dengan para awak redaksi Suara Muhammadiyah, Jumat (7/4). Diskusi santai yang berlangsung selama tiga jam di ruang redaksi Suara Muhammadiyah, Jalan KH Ahmad Dahlan, nomor 43 itu membicarakan berbagai permasalahan seputar dunia jurnalistik dan fenomena arus media di Indonesia belakangan ini.

Dalam paparannya, Bambang mengaku gelisah dengan dunia jurnalistik yang berkembang akhir-akhir ini. Berbagai perilaku tuna etika dan tuna moral terjadi. Para jurnalis banyak yang menanggalkan idealisme demi kepentingan pragmatis kaum elit. Akibatnya, masyarakat kecil menjadi korban dari media yang telah melupakan tugas dan fungsi utamanya untuk memberikan edukasi.

Menurut Bambang, jika media memainkan perannya dengan baik dan maksimal, maka masyarakat akan menjadi cerdas, kritis, dan berwawasan luas. Makanya wajar, kata Bambang, jika pemenang salah satu program acara televisi ‘who wants to be a millionare’ adalah seorang loper koran. Sebabnya, dia telah mengkonsumsi berita yang sehat, yang ada di semua koran yang dia jual. “Berita harus mampu memberikan edukasi kepada publik,” tegasnya.

Guna menghasilkan berita yang bisa memberi edukasi, kata Bambang, maka perlu verifikasi yang kuat agar bisa mencapai kebenaran yang maksimal. “Bill Kovach dan Tom Rosentiels mengatakan inti dari jurnalisme adalah verifikasi,” tuturnya menguatkan. Bambang prihatin dengan adanya perilaku nir etika yang dilakukan oleh media tertentu, yang melupakan aspek verifikasi.

Bambang menekankan, dalam menjalankan tugasnya, para wartawan harus selalu tunduk kepada kode etik jurnalistik. Namun realitasnya banyak jurnalis yang abai. “Ini adalah persoalan yang paling sulit,” katanya. Bambang merincikan beberapa permasalahan kode etik yang sering terjadi adalah urusan ‘amplop’ yang berakibat tergerusnya idealisme dan persoalan plagiasi berita. Buntut dari plagiasi berita menjadikan masyarakat tidak memperoleh perspektif berbeda meskipun membaca media berbeda.

Para jurnalis, kata Bambang, harus berpegang pada prinsip bahwa menjadi jurnalis adalah menjadi seorang guru bagi publik. Untuk bisa menjadi guru yang baik bagi masyarakat, maka setiap harinya, para wartawan harus terus belajar meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Selain juga terus mengasah kepekaan dan daya kritis.

Dalam upaya mengontrol dan memberikan kompetensi yang mumpuni bagi para wartawan, Bambang menyatakan bahwa para jurnalis media perlu untuk mengikuti sertifikasi wartawan, yang terdiri dari level wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama. “Ada tiga aspek yang diujikan; kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan,” ulas wartawan The Jakarta Post itu.

“Sejak 2010 Dewan Pers melakukan uji kompetensi bagi jurnalis/wartawan untuk meningkatkan kualitas para wartawan. Tujuannya demi kepentingan publik agar publik mendapat informasi yang berkualitas dan menjaga hak pribadi masyarakat,” kata Bambang yang juga menjadi kontributor beberapa media internasional (Ribas/Foto: Dwi Agus).

Exit mobile version