Filosofi Wayang dalam Dakwah Para Wali

Filosofi Wayang dalam Dakwah Para Wali

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Penyebaran dakwah Islam dapat ditempuh dengan berbagai cara. Berkaitan dengan proses dakwah di Indonesia, khususnya di Jawa, dikenal adanya kesenian wayang sebagai media penyampaian ajaran Islam. Kajian Malam Sabtu (KAMASTU) mengangkat tema “Filosofi wayang dalam Dakwah Para Wali” pada Jum’at (7/4/2017). Kajian yang diselenggarakan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) ini mengundang dua narasumber, yaitu Eko Wuryanto dan R. Bima Slamet Raharjo MA.

“Dalam identitas Muhammadiyah disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid bersumber pada al-Qur’an dan sunnah. Ini adalah kerangka berfikir yang paling dasar ketika kita bicara mengenai dakwah dalam Muhammadiyah”, kata Eko pada kajian di Aula PWM DIY tersebut.

Menurutnya, perintah dakwah itu diwajibkan bagi semua muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya setiap orang dapat melakukan dakwah sesuai dengan kemapuannya. Dalam hal ini ia mengutip ungkapan Nabi, sampaikanlah walau satu ayat.

“Jika kita bicara wayang, maka wayang adalah bagian dari seni budaya. Kalau kita kaitkan dengan dakwah, maka wayang adalah sebagai media atau alat dakwah”, tutur narasumber yang juga merupakan sekretaris LSBO PWM DIY.

Di dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang, lanjut Eko, seni budaya itu dihukumi mubah, artinya boleh-boleh saja. Ketika seni budaya menjadi sarana pendukung dakwah, bisa jadi hukumnya sunnah bahkan wajib kifayah. Tentu ada hal-hal yang menjadi rambu, diantaranya kesenian tidak boleh menjauhkan manusia dari Allah dan tidak boleh merusak. Artinya seni budaya harus diformat sedemikian rupa.

“Maka media dakwah, seni budaya, tidak boleh menabrak syari’at. Jangan sampai alat dakwah tidak efektif. Malah justru melahirkan sesuatu yang munkar, pencemaran dari kondisi yang masih sehat menjadi tidak sehat”, tegasnya.

Selanjunya R. Bimo Slamet Raharjo MA menyatakan bahwa wayang itu asli kebudayaan nusantara, asli kebudayaan Jawa. Hanya saja cerita-ceritanya meminjam ceritanya orang Hindu, karena ada hubungan baik dengan tradisi lain. Sebenarnya tradisi jawa sendiri punya cerita, tetapi masyarakat lebih dekat dengan paham itu. Tujuannya lebih pada mengakulturasikan. Bahkan kalau digali lebih jauh, akan terlihat perbedaan yang signifikan.

“Itulah bedanya dakwah para wali pada saat itu dalam memasukkan unsur-unsur dakwah, supaya tidak menyakiti perasaan orang yang ingin didakwahi,” pungkas dosen sastra Jawa FIB UGM tersebut (Rayhan).

Exit mobile version