Menyesal, Menyia-nyiakan Suami

Menyesal, Menyia-nyiakan Suami

Assalamu’alaikum wr wb.

Bu Emmy yth., saya (40 tahun), ibu dari tiga anak. Kini saya sedang proses cerai atas kehendak suami setelah 15 tahun pernikahan. Saya akui saya orangnya manja dan suka marah bila keinginan tidak dituruti. Pengendalian diri saya ketika marah rendah, bila sedang marah sampai melakukan kekerasan fisik dan minta cerai. Tapi, suami selalu memaafkan dan kami bisa mesra kembali. Kadang, saya tidak terima dengan penghasilan suami yang tidak mencukupi. Gaji saya memang lebih besar dari gaji suami.

Tidak seperti saya, suami orangnya penyabar, tidak banyak keinginan dan lebih telaten mengurus anak dan rumah tangga. Sebenarnya, saya bahagia mempunyai suami penyabar walau sering saya marahi. Sebenarnya, saya juga mencintai keluarga dan peduli masa depan anak-anak. Namun, saya tidak sabar dan tidak telaten ketika mengurus anak.

Setahun terakhir ini, saya sudah introspeksi diri dan berjanji mengurangi kemarahan. Tapi, suami sudah mempunyai WIL dan hampir setahun meninggalkan kami. Banyak yang menasihati agar suami kembali pada saya, tapi suami tidak mau, Bu. Padahal saya sudah minta maaf dan berjanji tidak kasar lagi. Sekarang saya mengasuh sendirian anak-anak kami.

Saya masih mencintainya dan tidak percaya suami selingkuh dan tega meninggalkan kami. Apakah salah bila istri minta suami lebih keras bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga? Bu, tolong agar saya tetap kuat. Karena saya suka gamang membesarkan anak-anak sendirian. Anak-anaksering saya suruh tinggal dengan ayahnya bila saya sudah putus asa. Atas bantuan sarannya, terima kasih.

Wassalamu,alaikum wr wb.

K, somewhere.


 

Wa’alaikumsalam wr wb.

Bu K yth., saya ikut prihatin, atas keinginan suami yang tampaknya tak terbendung lagi untuk menceraikan Anda. Uang, selain sebagai nilai tukar juga mempunyai nilai psikologis. Sehingga dengan memiliki uang, tumbuh pula perasaan mempunyai kekuatan dan kekuasaan serta hak untuk diistimewakan.

Di saat yang sama, bila istri yang mempunyai uang, suami berada pada posisi yang tidak nyaman. Katanya, kepala keluarga tapi semua yang berlaku adalah aturan istri. Sedang peran domestik malah jadi kepedulian suami. Ekspresi ketidaknyamanan tentunya merefleksikan cara Anda memosisikan suami yang lebih rendah dari Anda. Saat kita merasa ada yang kurang pada kita, pasti kita mengompensasinya dengan mencarinya di luar perkawinan. Sehingga cepat atau lambat suami akan bertemu perempuan yang bersedia menjadi WILnya.

Saran saya untuk Anda, jangan menoleh ke belakang lagi, sembari meyakinkan diri bahwa Anda sangat mencintai suami dan anak-anak. Hidup kita bergulir ke depan, maka tata dan kelola lagi agar masa depan menjadi lebih baik. Ketika Anda mengatakan “sebenarnya”, pasti lubuk hati Anda tahu bahwa kenyatannya berbeda. Ini adalah saat Anda “sibuk” memberi pembenaran diri. Sudah terlambat.

Apapun yang Anda katakan di masa lalu lemungkinannya kecil untuk mengubah keinginan suami menikahi pacarnya. Bu K, cinta adalah konsep abstrk yang harus dikonkretkan. Sehingga pasangan hidup dan anak-anak paham dan percaya bahwa di saat mamanya mengatakan cinta, itu bukanlah omong kosong. Melainkan terwujud dalam sikap, perilaku bahkan pandangan mata. Bila Anda cinta pada suami dan membutuhkannya seberapa besar Anda ekspresikan ini dibanding dengan umpatan-umpatan yang keluar di saat marah? Marahnya sering lagi.

Sayang anak? Apakah sudah diimbangi dengan ketrampilan mengasuh, mendampingi saat belajar serta menjadi teman curhat? Bila saya cermati surat ibu, porsi keprihatinan pada diri sendiri lebih dominan, bukan pada anak-anak yang pastinya lebih menderita. Karena selama ini mereka tumbuh dan berkembang dengan banyak kedekatan dan kelekatan bersama ayahnya, sehingga tokoh yang secara psikologis hadir dekat pada mereka di saat mereka butuh diyakinkan bahwa mereka disayangi dan diperhatikan adalah ayahnya. Tiba-tiba blass ayahnya hilang. Dalam masa kebingungan mencari jawaban mengapa ayahnya pergi, Anda tak kunjung mengisi kekosongan. Akhirnya kondisi tidak segera pulih. Ketika Anda bertanya pada diri, untuk masalah anak yang ada hanya gamang dan Anda malah menyuruh mereka tinggal dengan ayahnya. Kasihan mereka. Padahal, pada kondisi sekarang ini, Cuma Anda satu-satunya yang ia punya.

selanjutnya janganlah menambah beban anak dengan mengatakan hal-hal buruk tentang ayahnya, terutama di saat Anda kesal. Mereka bisa takut mengekspresikan rasa sayangnya pada ayahnya. Lebih baik ubah sikap Anda pada suami, agar anak leluasa berhubungan dengan ayahnya. Lalu, biasakan pula untuk mendengarkan unek-unek anak-anak. Agar Anda lebih paham mendampingi mereka. Di saat

anda lebih peduli pada perasaan anak-anak, waktu untuk memikirkan diri sendiri otomatis akan berkurang. Bila anak-anak lebih tenang, Anda pasti akan merasakan kebahagiaan. Capailah kedewasaan yang berkualitas dengan melatih mengasah kepekaan, kepedulian serta respek pada orang lain.

Mempunyai kemandirian ekonomi adalah sebuah keberuntungan. Bukankah Anda tidak bermasalah dalam hal ini? Maka Anda bisa lebih konsentrasi mendampingi dan mengasuh anak-anak dengan meyakinkan diri bahwa, “Kalau bukan saya, siapa lagi yang akan menyayangi dan memerhatikan anak-anakku? Untuk tugas inilah Allah hadirkan melalui rahimku.” Pasti anda lebih kuat dan tegar menjalani hidup. Agar lebih kuat lagi, jangan lupa untuk selalu mohon kekuatan padaNya. Semoga Allah memberi kemudahan pada setiap urusan ibu. Amiin.

Exit mobile version