Mobilitas sosial maupun mobilitas ekonomi yang terjadi dalam sebuah bangsa, relatif memberi pengaruh terhadap mobilitas seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat. Seperti halnya kehadiran kelompok kelas menengah yang belakangan ini disebut-sebut sebagai kelompok mayoritas di Republik ini, namun bagi Muhammadiyah, sudahkah menyadari akan kehadiran kelompok ini? Seperti apa problem-problem internal kelompok ini? Serta bagaimana dakwah Muhammadiyah mengisi ruang spiritualitas ini? Berikut petikan wawancara SM dengan Prof Dr H Edy Suandi Hamid, mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) dan Pengurus Majelis Dikti Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Kantor Rektorat UII.
Kelompok kelas menengah belakangan ini mengalami jumlah kenaikan yang signifikan, siapa sesungguhnya kelompok ini?
Kelompok kelas menengah atau yang sering disebut sebagai kelompok midle class banyak berkembang sebagai profesional-profesional muda, yang bekerja di sektor swasta yang memiliki income yang relatif besar. Disamping itu, kelompok kelas menengah ini juga ada di kalangan orang-orang yang mengalami mobilitas vertikal dari sistem politik kita. Misalnya mereka yang dulunya bukan siapa-siapa, kemudian menjadi anggota DPR dan menjadi seorang pejabat negara. Mereka-mereka ini sesungguhnya masuk dalam kelompok kelas menegah di dalam masyarakat dan sistem ekonomi kita sekarang ini. jumlah kenaikan kelompok ini signikan, memang tidak banyak, namun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, memang kenaikan jumlah mereka ini relatif signifikan.
Bagaimana dengan peran kelompok midle class ini dalam pembangunan ekonomi Indonesia?
Saya kira ketika kita bicara dalam kelompok ekonomi keseluruhan, maka ekonomi kita itu sesungguhnya bukan diatur oleh kelompok midle class tadi, melainkan ditentukan oleh kelompok haigh class. Jumlah kelompok High kelas ini tidak banyak, mereka hanya segelintir konglomerat yang jumlahnya mungkin tidak sampai 100 an. Namun kelompok ini betul-betul mempengaruhi ekonomi bangsa kita. Karena PDP kita terbesar itu bersumber pada kelompok-kelompok seperti Sinar Mas, Kelompok-nya William, kelompknya Abu Rizal, nah, orang-orang inilah sesungguhnya yang mempengaruhi ekonomi kita.
Namun harus diakui, ketika bicara dalam konteks police pemerintahan, kelompok midle class ini bisa bermain dalam ranah poliik kebijakan. Sekarang midle class itu banyak yang berada di DPR. Kalau kita lihat banyak figur-figur baru yang sebelumnya kita tidak mengenal, kemudian sekarang dia muncul. Mereka bisa membuat kebijakan-kebijakan melalui keputusan politik yang ada di DPR untuk nasional atau DPRD dalam kontek kebijakan ekonomi daerah. Namun ketika bicara dalam sektor Riil, mereka belum banyak bisa berbuat.
Bukankah kelompok kelas menengah ini sangat mengagungkan konsumerisme yang relatif mempengaruhi roda perekonomian bangsa?
Dalam konteks demand (permintaan), iya betul demikian, seperti yang dikatakan tadi, karena seseoarang yang mengalami mobilitas vertikal, kemudian mengalami kenaikan penghasilan, maka dia akan bisa membuat trend-trend yang kemudian menjadi panutan bagi yang lainnya. Akan tetapi dalam konteks menggelembungkan perekonomian nasional, saya kira tidak. Sebab ranah ini menurut saya tetap berada pada bagian konglomerat. Tapi dalam konteks konsumsi iya, sebab orang yang mengalami mobilitas vertikal, kemudian tiba-tiba ia yang dulunya miskin atau bukan siapa-siapa, dan kini mempunyai daya beli yang luar biasa, maka mereka ini jelas akan tampil berbeda dari yang sebelumnya, misalnya mereka beli ballpoint mab lang, kalau sepatu, mereknya guci, atau jamnya rollex, karena orang yang mengalami mobilitas vertikal, sering bertindak “aneh-aneh” seperti itu. Diakatakan aneh, dia sendiri tidak sadar, bahwa tidak semua orang tahu apa yang dia pakai atau gunakan itu barang mewah atau mahal. Dia pakai sepatu Gucci atau sepatu Bata, orang lain jelas tidak tahu, sebab orang hanya melihat siapa yang menggunakan sepatu itu. Namun mereka ini ingin menunjukkan bahwa dia sudah berada pada kelas yang berbeda, sehingga prilakunya aneh-aneh dalam konteks konsumsi.
Dalam konteks keberagamaan, masalah apa yang menjadi krusial di kalangan kelompok midle class ini, sehingga tingkat konsumerisme sangat melekat dengan mereka.
Terkait dengan kebergamaaan, memang ini sangat menyangkut pada mental seseorang, ketika saat orang mengalami mobilitas vertikal atau lompatan mendapatkan sesuatu yang bersifat kenailan class dalam kondisi mental yang kuat, tentu saja bagi orang yang seperti ini akan bisa bertahan dengan pola keberagamaan yang diterima sebelumnya. Namun sebaliknya, ketika mentalnya tidak kuat, fondasi keagamaannya rapuh, maka dia bisa berubah dan sangat rapuh pula. Misalnya kita lihat tokoh-tokoh dari organisasi kemahasiswaan Islam, ketika dulu mereka menjalani aktivitas jalanan dengan begitu gigih dan ikhlas, namun kemudian ketika mereka berada pada level yang tinggi, dan terbuka peluang untuk memperoleh akses yang luar biasa, kemudian mudah terjebak dengan melihat lingkungannya yang konsumtif, dan akhirnya terbawa pada praktek korupsi. Ini disebabkan, tidak kuatnya, mental mereka ini dari godaan konsumtivisme yang ada. Saya sendiri misalnya, ketika tiba-tiba menjadi rektor, tentu tidak mustahil prilaku saya akan “aneh-aneh”, kemudian kebijakan yang saya ambil itu akan lucu, tapi karena saya menjadi rektor itu merangkak dari bawah secara step by step, jadi tidak serta merta saya menjadi rektor. Tapi kalau saya dosen biasa, kemudian diangkat menjadi rektor, bisa jadi kebijakan saya akan “aneh-aneh”, makanya kemudian jabatan itu ada kualifikasinya. Berbeda halnya dengan jabatan politik, kalau ini cenderumg melahirkan lompatan, sehingga sering terjadi mobilitas vertikal. Dan bagi saya tentunya walaupun sebagai rektor, tidak akan melakukan hal-hal yang seperti itu dalam konteks konsumsi, karena proses saya itu gradual, bukan tiba-tiba, sehingga nilai keberagamaan mereka itu terkalahkan karena dia belum siap berada pada posisi itu.
Lantas apa yang menjadi problem mendasar kelompok kelas menengah ini terkait adanya konsumerisme?
Memang dalam konteks keberagamaan masalah kita disini, misalnya ada gerakan dakwah bil-lisan dan bil kitabah dalam persoalan ini, misalnya, sering kita melihat ajakan untuk berhemat dan segala macamnya, namun dakwah dalam konteks bil hal justru tidak kelihatan, sehingga kita melihat antara norma dan realitas itu berbeda sekali, kita sudah tahu antara yang hak dan yang batil, dan mana yang baik dan mana yang buruk, namun dalam behavior atau dalam prilaku kita tidak terimplementasi, sehingga ada kesenjangan antara knowledge atau pengetahuan dengan behaviore kita, jadi seolah-olah agama hanya menjadi pengetahuan saja.
Seiring dengan gejala konsumerisme, kelompok kelas menengah sepertinya juga mengalami kehausan spiritualitas, bagaimana tanggapan anda?
Kalau kita melihat realitas, memang seolah-olah ada dunia yang berbeda, seperti kita melihat jelang puasa, pencerahan-pencerahan muncul begitu banyak, seperti dari email, dari SMS, BB dll, tentang ajakan-ajakan moral, berbuat baik, membersihkan diri, membersihkan hati, tolong-menolong dan sebagainya, tapi pada saat yang sama misalnya, kita melihat di media, berita pemerkosaan, pembunuhan, korupsi, jadi sepertinya ada skat antar spiritualitas dan duniawiyah, sama halnya dengan tadi, ada yang mereka mencari spiritualitas, ajaran agama, dan di sisi lain mereka ada yang konsumerisme, seolah-olah mereka berada pada dunia yang lain. Mengapa hal seperti ini terjadi? Saya kira sebetulnya mereka yang terjebak pada pola hidup yang konsumerisme, hedonistik, adalah mereka yang paham dan mengerti ajaran itu dan paham kesalahan itu. Tapi mereka menganggap kesalahan itu adalah kesalahan yang biasa, karena mereka melihat realitas adanya tokoh-tokoh yang dianut berprilaku seperti itu. Jadi mereka melihat sesuatu yang salah itu adalah sesuatu yang biasa saja. Mereka mengatakan, bagaimana kita untuk hidup sederhana, jika kita melihat pakaian-pakaian mereka, mobil dan rumah mereka, sangat berlebihan dan tidak sesuai dengan yang dikatakan. Hal ini karena agama hanya dijadikan sebagai pengetahuan saja, namun korupsi, konsumsi jalan terus.
Bagaimana dengan peran dakwah Muhammadiyah di dalam kelompok kelas menengah ini?
Iya, sebetulnya peran dakwah Muhammadiyah itu tidak kita pilah-pilah, sebab dakwah kultural yang kita canangkan sejak 8 tahun yang lalu pada dasarnya masuk pada semua ranah sosial. Di Muhammadiyah sendiri sebenarnya juga banyak terdapat kelas menengah. Makanya cara dakwah tidak bisa hanya pada satu segmen saja. Misalnya seperti saya di perguruan tinggi, maka cara dakwah yang saya gunakan lebih pada akademis, dan itu juga bagian dari dakwah Muhammadiyah. Kita melakukan dengan cara-cara yang tidak dogmatis, namun dengan cara-cara yang dialogis. Memang dakwah Muhammadiyah secara normatifnya begitu, lebih pada bentuk dialogis, jadi tidak sekedar melempar ayat atau hadist saja. Bagaimana kita melakukan dialog, dan orang meyakini akan dakwah Islam itu. Kedua harus ada keteladanan, jadi bagaimana tokoh-tokoh Muhammadiyah itu bisa melakukan dakwan bilhal yang ditunjukkan dengan prilaku. Dan dalam hal ini memang kita cukup baik, tapi secara massif belum bisa mempengaruhi di luar Muhammadiyah.
Kelompok kelas menengah banyak yang tertarik dengan kelompok-kelompok keagamaan spiritual, seperti kelompok zikir dll, dan sedikit dengan Muhammadiyah?
Yang namanya dakwah itu harus membumi, pola dan cara-caranya situasional, namun isinya tetap. Makanya dibutuhkan dakwah-dakwah yang menimbulkan dialog. Kalau kita lihat dakwah kiay atau ustadz itu bersifa personal, sehingga tercerahkan, beda dengan Muhammadiyah yang melakukan secara massif, jadi ke depan membutuhkan strategi yang dinamis, karena pola dakwah itu harus dinamis. Jadi harus melihat konteksnya, situasinya, masyarakatnya, sehingga melahirkan pola dakwah yang beragam. Tapi tetap seperti yang saya katakan, apapun pola dakwahnya, tetap membutuhkan keteladanan. (d)