Oleh: Haedar Nashir
Kenapa masih ada Muhammadiyah yang tidak aktif? Kenapa ada Organisasi Otonom. Majelis, Lembaga, dan amal usaha yang tidak berjalan sebagaimana mestinya? Bagaimana pula Muhammadiyah di lingkungan tertentu terlibat banyak masalah dan kalah maju dari gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara di tempat lain Muhammadiyah dengan seluruh bagiannya justru bergerak maju dan dinamis.
Masalah tersebut sering dihadapi dan menjadi agenda klasik dalam organisasi pergerakan seperti Muhammadiyah. Apalagi secara umum organisasi-organisasi keagamaan dibangun dan digerakkan oleh semangat kesukarelaan dengan sejumlah keterbatasan fasilitas, dana, dan dukungan. Maka seringkali masalah ketidakaktifan, kevakuman, dan ketertinggalan dipandang sebagai hal wajar dan benar. Kenapa mesti memasksakan diri menggerakkan organisasi? Kenapa harus mati-matian aktif dan memajukan Muhammadiyah?
Begitulah kadang terdengar pertanyaan sekaligus alasan pembenar untuk tidak optimal menggerakkan Muhammadiyah. Sementara itu ada pemandangan lain yang terbilang kontras. Ada sebagian orang yang ingin aktif dan langsung di struktur pimpinan karena ada kepentingan-kepentingan tertentu. Mereka aktif jika terkait dengan keperluannya, sebaliknya menghindar dari tugas-tugas dan tanggungjawab besar karena tidak tekait dengan kepentingannya. Meski, tentu lebih banyak lagi yang aktif karena panggilan hati dan benar-benar ingin berkhidmat. Memang, beragam orang aktif dan terlibat dalam gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi yang terbilang sangat besar ini.
Panggilan Ilahiah
Bahwa aktif dan menggerakkan organisasi keagamaan itu merupakan ekspresi kesukarelaan atau dalam bahasa agamanya disebut keikhlasan. Tidak ada yang memaksa dan bersifat paksaan dalam menghidupsuburkan dan mengembangkan gerakan keagamaan seperti itu. Apalagi kalau memakai dalil, jangankan dalam berorganisasi, bahkan dalam beragama pun tidak ada paksaan. Dalil lain akan semakin menguatkan, bahwa Tuhan tidak akan membebani umatnya dengan beban yang melampaui takarannya.
Namun dalam organisasi apapun selalu terdapat idealisme. Apalagi dalam organisasi pergerakan Islam seperti Muhammadiyah. Bahwa aktif dalam Muhammadiyah memang benar dasarnya sukarela atau keikhlasan, tetapi jangan dimaknai sempit. Ikhlas itu melakukan segala sesuatu karena Allah. Karena lillahi-ta’ala, maka nilai bemuhammadiyah ibadah. Karena ibadah, maka pergantungan utamanya mengabdi kepada Allah, ingin meraih berkah, ridla, dan karunia-Nya. Dengan demikian ikhlas atau sukarela dalam perjuangan Muhammadiyah tidak boleh dimaknai sebagai perbuatan semaunya dan serbaminimalis.
Jika bermuhammadiyah ditarik ke semangat ikhlas dan ibadah maka jantung penggeraknya ialah hati yang penuh pengkhidmatan sebagaimana firman Allah, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS Al-Bayyinah: 5). Difirmankan di ayat lain, “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS Al-An’am: 162).
Kalau berorganisasi dan beramal-usaha dalam Muhammadiyah motif atau niatnya ikhlas, maka panggilan utamanya tentu bersifat ilahiyyah atau ketauhidan. Artinya ikhlas atau sukarela itu bukan asal-asalan, tetapi sebaliknya harus benar-benar dan sungguh-sungguh melakukan pengkhidmatannya untuk dan atasnama Allah semata. Mana mungkin sesuatu yang dilakukan karena Allah sifatnya minimalis, semaunya, dan tidak optimal. Mau berbuat untuk orang yang dianggap terhormat atau atasan saja sering dilakukan dengan mengerahkan segala daya, tentu dan lebih dari segalanya apabila suatu perbuatan atau amal dilakukan untuk dan karena Allah Yang Maha Kuasa.
Karena panggilan ilahiah, maka bermuhammadiyah termasuk dalam bekerja di amal usaha tentu merupakan panggilan suci (mission sacred). Meskipun urusannya duniawai dan serbarasional, tetapi harus tetap berbasis pada idealisme Ilahiah. .Artinya ada basis nilai-nilai luhur yang besifat ruhaniah dalam bermuhammadiyah seperti spirit beribadah, kekhalifahan, jihad, dan amal shaleh yang sumber dan muaranya ialah pengabdian kepada Allah guna meraih pahala, ridha, serta karunia-Nya. Jadi bukan semata-mata urusan rasional, inderawi, dan duniawi yang sekuler atau terlepas dari spirit Ilahiah dan Diniyah.
Komitmen Pimpinan
Kekuatan dinamis organisasi keagamaan terletak pada pimpinannya. Pimpinan itu kedudukannya sebagai kepala. Di kepala itu terdapat otak sebagai pusat pengatur segala aktivitas manusia. Warga memang juga penting, tetapi dalam suatu pergerakan peran pemimpin (personal secara individu) atau pimpinan (kolektif secara sistem) menjadi lebih penting. Pada pimpinan itulah sesungguhnya terletak denyut nadi penggerak organisasi, apakah menjadi aktif atau tidak.
Pimpinan itu berfungsi sebagai penunjuk jalan (to show the way), pemberi pengaruh (to influence), membimbing (to guidance), dan mengatur (to dirrect) atau mengelola (to manage). Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisasi untuk mencapai sasaran (Rouch & Behling, 1984). Kepemimpinan itu perilaku pemimpin yang mengarahkan aktivitas kelompok untuk mencapai tujuan bersama (Hamphill & Kahn, 1978). Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang atau sekelompok orang memobilisasi sumberaya institusional, politis, psikologis, dan sumber-sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan, dan memenuhi motivasi pengikutnya (Burn, 1978).
Maka betapa penting peran atau fungsi pimpinan di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah, termasuk di kalangan Organisasi Otonom, Majelis, Lembaga, dan Amal Usaha. Aktif atau tidaknya organisasi tergantung pada kepimpinannya sebagai kekuatan penggerak. Jika pimpinanya selalu bergerak dinamis maka organisasi yang dipimpinnya akan dinamis. Sebaliknya manakala para pimpinannya pasif dan vakum maka organisasi pun bagai keakap di atas batu, mati segan hidup tak mau.
Karenanya daya gerak seluruh lini organisasi Muhammadiyah tergantung pada idealisme dan komitmen para pimpinannya. Para pimpinan yang sadar akan prinsip, iedologi, misi, visi, dan cita-cita gerakan. Para pimpinan yang paham akan masalah, tantangan, dan segala dinamika yang terjadi dan dialami Muhammadiyah. Para pimpinan yang konsisten dalam mengemban amanah untuk secara optimal melaksanakan tanggungjawab dengan penuh komitmen, integritas, solidaritas, dan tindakan-tindakan yang membawa pada kemajuan serta kejayaan gerakan. Para pemimpin yang setiap harinya berazam, berpikir, dan bertindak untuk kejayaan Muhammadiyah.
Bukan para pimpinan yang sekadar bicara minus tindakan. Sekadar resmi terpilih dalam musyawarah tetapi tidak berusaha untuk bekhidmat dengan sepenuh hati dan perjuangan. Sekadar berteori tanpa aksi. Sekadar aktif tanpa prinsip, visi, dan misi yang jelas. Sekadar menunggu tanpa berinisiantif. Sekadar hadir secara fisik minus ghirah, pikiran, dan ikhtuar. Sekadar menuntut orang lain untuk berkiprah tanpa melibatkan diri. Sekadar aktif apa adanya tanpa berusaha maksimal atau optimal bagaimana membesarkan dan memajukan Muhammadiyah dengan segala program, kegiatan, dan ama usahanya yang harus semakin unggul serta bermanfaat bagi kemaslahatan umat, bangsa, dan dunia kehidupan di alam semesta ini.
Maka, mulailah para pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan Peryarikatan, Organisasi Otonom, Majelis, Lembaga, Amal Usaha, dan unit-unit organisasi lainnya dari Pusat hingga Ranting dan Jama’ah untuk bergerak optimal dan penuh pengkhidmatan dalam memajukan gerakan. Bergeraklah dengan idealisme dan komitmen yang tinggi. Insya Allah berkah dan perolongan Allah menyertai perjuangan para pimpinan Muhammadiyah yang beridealisme dan berkomitmen mulia sebagai para pemimpin pencerah dan pengembang amanah!