Sahabat Rasulullah Sebagai Generasi Utama: Sebuah Pemahaman Ulang (2)

Sahabat Rasulullah Sebagai Generasi Utama: Sebuah Pemahaman Ulang

Sahabat Rasulullah Sebagai Generasi Utama: Sebuah Pemahaman Ulang

Baca : Sahabat Rasulullah Sebagai Generasi Utama: Sebuah Pemahaman Ulang (1)

Oleh Prof. Dr. Al Yasa` Abubakar

Menurut Ibnu Qayyim, ulama Syafi`iah yang menyatakan Imam Syafi`i menolak pendapat seorang Sahabat Rasulullah sekiranya tidak didukung oleh Sahabat yang lain adalah keliru. Beliau mengutip berbagai sumber yang mengatakan bahwa Imam Syafi`i dalam banyak kesempatan selalu menyatakan bahwa pendapat Sahabat adalah hujjah yang wajib diikuti oleh generasi yang datang sesudahnya (Ibnu Qayyim, I`lam, hlm. 120).

Terlepas dari pendapat mereka secara teoritis, imam mazhab yang empat dan pengikut-pengikutnya cenderung mengikuti pendapat (ijtihad, fatwa) para Sahabat Rasulullah. Sepanjang bacaan penulis, para imam mazhab selalu mengikuti pendapat Sahabat. Kalau dicari dengan telilti, memang ditemukan satu atau dua pendapat imam mazhab yang keluar dari pendapat Sahabat, tetapi jumlahnya sedikit sekali. Para imam mazhab merasa tidak perlu membuat pendapat sendiri karena sudah ada pendapat Sahabat, bahkan mungkin tidak berani membuat fatwa yang menentang (berbeda dengan) fatwa Sahabat.

Pengecualian atas pendapat jumhur ulama di atas, barangkali hanya ditemukan pada Ibnu Hazm. Secara teoritis, beliau menolak fatwa Sahabat Rasulullah sekiranya tidak sejalan dengan nash al-Qur’an dan Hadits. Walaupun memberikan syarat yang relatif ketat untuk penerimaan pendapat Sahabat, Ibnu Hazm tetap berpendapat bahwa Sahabat secara umum adalah generasi umat Islam yang paling baik, yang tidak tertandingi. Seorang Sahabat yang duduk mendengarkan Nabi adalah lebih baik dari seorang bukan Sahabat yang beribadat sepanjang umurnya.

Mengenai penghargaan yang tinggi atas fatwa (pendapat) para Sahabat Rasulullah, barangkali perlu diberikan sedikit catatan. Orang yang dijamin al-Qur’an bebas dari kesalahan hanyalah Rasulullah. Jadi, menganggap pendapat para Sahabat sebagai pendapat yang pasti benar adalah sesuatu yang berlebih-lebihan menurut keimanan, dan menyalahi fitrah manusia yang tidak terbebas dari kesalahan. Seperti kata Ibn Hazm, kita harus mengujinya dengan kritis, mengembalikannya kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Untuk masa sekarang, pendapat Sahabat tentu harus diujikan juga kepada `urf yang hidup serta hasil capaian ilmu pengtahuan dan teknologi.

Dengan demikian, apa yang dikerjakan oleh para imam mazhab pada hakikatnya hanyalah upaya untuk menyusun metode yang jelas dan baku guna memilih dan mensistematisasi pendapat (fatwa, fiqih) yang dihasilkan oleh para Sahabat. Pendapat tersebut mereka pilih dan setelah itu disusun dalam sebuah alur berpikir tertentu, agar menjadi logis dan sistematis. Pendapat-pendapat para Sahabat yang dianggap memenuhi persyaratan akan mereka pilih dan akan dihimpun dalam suatu susunan tertentu, dengan menyertakan alasannya. Sedang yang dianggap tidak memenuhi syarat tidak dipilih dan dibiarkan tersebar, bahkan kuat dugaan ada yang tidak terdokumentasikan lagi.

Jadi, apa yang mereka pilih dari pendapat para Sahabat inilah yang pada akhirnya menjadi mazhab mereka. Disadari atau tidak, ada banyak pendapat Sahabat yang tersisih dan hilang dari pengetahuan dan pemakaian umum, bahkan di dalam diskusi (polemik) antar ulama pun ada yang jarang sekali dikutip, karena sudah ditinggalkan oleh para imam mazhab. Pendapat ini hanya ditemukan di dalam buku yang memang berusaha menghimpun pendapat Sahabat, walaupun yang sudah tidak diikuti oleh para imam mazhab. Di antaranya adalah kitab syarah hadis Fath al-Bari, syarah Sahih Bukhari karangan Ibnu Hajar al-`Asqalani, kitab fiqih ensiklopedis seperti Al-Muhalla karangan Ibn Hazm, dan Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah.

Setelah Rasulullah wafat, para Sahabat tidak mempunyai pilihan selain berijtihad untuk menyelasaikan berbagai masalah yang mereka hadapi, karena tidak ada lagi tambahan atas al-Qur’an dan bimbingan Rasul pun sudah terhenti. Dalam melakukan ijtihad, mereka mengandalkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh selama hidup mendampingi Rasulullah. `Ali al-Khafif (Al-Muhadharatu, hlm. 128) menyatakan, pada masa tersebut belum ada metode yang tersusun rapi, begitu juga belum ada tertib urut dalil dan sumber pengambilan yang jelas dan terinci. Boleh dikata, para Sahabat melakukan penalaran secara bebas (libaral) berdasar kemampuan “ilmiah subjektif” masing-masing, berdasarkan kemampuan dan ketajaman pikiran serta kedalaman kata hati masing-masing, serta pertimbangan kemaslahatan ataupun kebutuhan masyarakat yang mereka hadapi.

Sejarah mencatat, kadang-kadang Sahabat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan berdiskusi, bermusyawarah, dan membuat kesepakatan. Walaupun sudah berdiskusi dan bermusyawarah, kadang mereka tetap berbeda pendapat karena berbeda titik pandang dan jalan pikiran. Sering juga mereka terpaksa mengemukakan pendapat pribadi ketika sedang sendirian sehingga tidak sempat mendiskusikan atau mengomfirmasikannya kepada Sahabat yang lain. Dalam keadaan ini, apabila diberitahu oleh Sahabat lain bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan nash, maka biasanya Sahabat yang bersangkutan akan mencabut fatwa tersebut. Apabila perbedaan pendapat yang terjadi tidak karena bertentangan dengan nash, tetapi karena masing-masing mempunyai logika dan jalan pikiran sendiri yang dianggap masuk akal dan memenuhi syarat, maka mereka akan menerima perbedaan tersebut sebagai kekayaan dan kelapangan.

Pada umumnya, mereka melakukan diskusi secara terbuka dan bebas, sehingga dapat diketahui mana masalah yang pernah diskusikan dan setelah itu mereka sepakati (ijma`), dan mana pula masalah yang tidak disepakati setelah berdiskusi. Begitu juga relatif mudah untuk diketahui mana masalah yang tidak pernah didiskusikan dan karena itu tidak ada kesepakatan walaupun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Catatan mengenai jalannya diskusi dan musyawarah, memberi petunjuk pula tentang cara mereka merujuk atau tepatnya mencari ayat al-Qur’an dan praktek Rasulullah sebagai rujukan; serta cara mereka menggunakannya dan memahami kandungannya. Mengenai pemahaman ini, ada yang secara harfiah, namun banyak juga yang dipahami berdasarkan`illat dan maqashid. Begitu juga diskusi-diskusi tersebut memberi petunjuk tentang penggunaan dan perujukan para Sahabat kepada adat Arab dalam memahami al-Qur’an.

Meminjam istilah Fazlur Rahman (Islam dan Modernitas, hlm. 26), metode dan pendekatan yang ditempuh para Sahabat untuk melakukan ijtihad (istinbath) disebut sebagai pemahaman atas dasar internalisasi. Maksudnya, pemahaman yang ditegakkan berdasar penghayatan atas praktek ibadah dan perilaku keseharian serta nilai-nilai dalam artinya yang luas, yang mereka peroleh selama hidup mendampingi Rasulullah saw. Cara belajar dan membuat kesimpulan (fiqih) seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang ikut dan mengalami kegiatan tersebut, misalnya melalui kehidupan bersama.

Keadaan dan cara pendekatan internalisasi ini berlanjut pada masa tabi`in dan tabi` tabi`in, dua generasi sesudah Sahabat. Namun, karena hidup sesudah generasi Sahabat tidak bertemu dengan Rasulullah, mereka tidak dapat melakukan pemahaman berdasar “internalisasi” atas ajaran Rasulullah. Tetapi mereka bertemu dengan Sahabat Rasulullah. Sampai batas tertentu, mereka dapat dianggap sebagai generasi unik, yaitu generasi yang bertemu dengan orang (generasi) yang telah bertemu dengan Rasulullah.

Mungkin sekali mereka mengikuti model penalaran Sahabat karena kekaguman kepada mereka dan lebih dari itu karena tidak mengetahui model pemahaman yang lain. Akibatnya, karena tidak memahami hakikat dan tatacara pemahaman berdasar internalisasi secara memadai, maka sebagian pemahaman mereka menjadi tidak terkendali, bahkan ada yang dianggap “liar” dan semena-mena, melenceng dari tujuan dan maksud al-Qur’an. Perbedaan pendapat di antara mereka pun menjadi tajam dan saling menyalahkan sampai pada tingkat saling mengkafirkan. Jamal Barut mengutip pernyataan Rabi`ah al-Ra’y (wafat 136 H), “bahwa apa yang halal menurut ulama (ahl) Medinah adalah haram menurut ulama (ahl) Irak, dan begitu juga sebaliknya” (Ahmad al-Raysuniy dan Jamal Barut, Al-Ijtihad, al-Nash, al-Waqi`, al-Mashlahah, hlm. 76)..

Kebebasan tanpa batas dalam melakukan ijtihad tidak seluruhnya disebabkan oleh metode yang digunakan. Sebagiannya didorong oleh perpecahan politik yang tajam yang dalam kenyataannya bukan sekedar mengeluarkan ijtihad “liar” dan semena-mena, tetapi sampai kepada tingkat memalsukan hadis Rasulullah untuk tujuan politik tertentu. Budaya dan adat lokal yang berbeda, serta pengetahuan yang mereka kuasai ikut memberi andil dalam kekacauan pendapat yang dihasilkan oleh para tokoh pada masa ini. Kelihatannya, ketiadan metode istinbath yang jelas, serta kepentingan kelompok dan pengaruh masa lalu yan belum seluruhnya terkikis, telah dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk melahirkan fatwa yang menguntungkan kelompoknya.

Karena keadaan inilah, para ulama generasi imam mazhab mulai menyusun dan merumuskan metode untuk mengawasi dan mengendalikan kegiatan dan hasil pemikiran tersebut, yang pada masa belakangan kita kenal dengan nama ushul fiqih. Pada dasarnya, kaidah-kaidah ini disusun utuk mengukur dan mengetahui apakah ijtihad dan pendapat yang sudah diberikan itu sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Lebih dari itu, kaidah-kaidah ini dipergunakan juga untuk mengijtihadkan nash dalam upaya mencari hukum atas masalah-masalah baru yang belum ada hukum syara`nya.

Di dalam praktek, karena para imam mazhab merasa tidak boleh keluar dari pendapat para Sahabat, maka kaidah-kaidah ini pada utamanya mereka gunakan hanyalah untuk menyusun pendapat mazhab dari bahan-bahan yang ditinggalkan para Sahabat dan bahkan para tabi`in. Karena digunakan untuk menyeleksi pendapat yang difatwakan para Sahabat, maka mazhab yang dihasilkan tersebut pada intinya masih merupakan kelanjutan dari pendapat Sahabat yang dihasilkan melalui metode internalisasi, bukan pendapat yang dihasilkan dengan metode dan pertimbangan “belajar formal di dalam kelas.” Tegasnya, fiqih yang dihasilkan bukan kajian yang betul-betul “ilmiah,” dalam arti mengambil langsung dari al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan kaidah ushul fiqih sebagai metodenya, tanpa dipengaruhi ataupun terikat dengan pendapat para Sahabat.

Dalam memahami pendapat para Sahabat, para imam mazhab dan bahkan ulama lainnya secara umum, cenderung mengabaikan keterpengaruhan Sahabat dengan adat jahiliah. Para ulama kelihatannya yakin sekali bahwa Sahabat sudah berhasil meninggalkan adat jahiliah secara penuh, sehingga tidak layak untuk meragukan, apalagi mempertanyakannya. Penulis setuju bahwa kesetiaan Sahabat kepada Islam tidak layak untuk diragukan, dan upaya mereka untuk keluar serta meninggalkan adat jahiliah pun tidak perlu dipertanyakan. Tetapi sekiranya dilihat dengan kritis, akan ditemukan beberapa pendapat yang kelihatannya masih terpengaruh dengan adat jahiliah dan tidak sejalan dengan ruh al-Qur’an, yang mungkin sekali terjadi secara tidak sengaja.

Dengan kata lain, karena mereka masih dekat dengan masa jahiliah, dan penjelasan Rasulullah mereka anggap tidak memadai, maka beberapa konsep dalam al-Qur’an yang bertujuan untuk mengubah adat jahiliah, oleh para Sahabat secara tidak sadar dibelokkan lagi pemahamannya, sehingga masuk lagi ke lingkungan adat jahiliah. Wallahu a`lam bis-shawab wa ilayhil marji` wal-ma`ab!

Prof Dr Al Yasa` Abubakar, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh

Exit mobile version