JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Terkait merebaknya wacana pemisahan agama dan politik, telah menimbulkan berbagai pro dan kontra di tengah masyarakat. Wacana itu awalnya diungkapkan Presiden Jokowi saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Presiden Jokowi menyatakan bahwa antara agama dan politik harus dipisahkan.
Menyikapi hal itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa agama seharusnya menjadi pemandu dalam berpolitik. Karena agama merupakan sumber nilai moral bagi semua aktivitas manusia, termasuk aktivitas berpolitik.
“Hubungan politik dan agama itu begini. Agama itu sumber moral. Agama harus menjinakkan politik agar politik itu berorientasi kepada keadilan, kepada persatuan, kepada kejujuran. Itu dari agama,” kata Buya Syafii Maarif diwawancarai di salah satu program TV swasta, Selasa (11/4).
Meskipun idealnya agama sebagai penuntun, namun dalam praktiknya justru digunakan sebagai kenderaan politik. “Tetapi yang terjadi sepanjang sejarah adalah agama digunakan untuk kenderaan politik. Ini yang tidak benar,” tutur Buya Syafii.
Baca: Haedar Nashir: Agama dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan
Menurut Buya, ketika agama digunakan sebagai kenderaan berpolitik, maka akan terjadi perpecahan dan kekacauan serta lunturnya idealisme. Bagi Buya, merawat persatuan dan kesatuan bangsa itu adalah suatu hal yang mutlak, karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar. “Negara kepulauan sangat beragam,” katanya. Termasuk dalam agama Islam sendiri sebagai agama terbesar di Indonesia. di dalamnya sangat beragam warna dan corak keagamaan.
Buya Syafii berharap semua pihak terus menjaga keragaman secara otentik, tidak hanya dalam wilayah wacana. Salah satunya dengan memperbanyak interaksi dan dialog dengan kalangan berbeda. “Kalau keragaman kita tidak dirawat itu ancaman bagi masa depan bangsa Indonesia, sangat serius ancaman itu,” kata Buya Syafii Maarif (Ribas/foto: Budi).