YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 107/DSN-MUI/X/2016, penyelenggaraan rumah sakit islami atau syariah harus didasarkan pada pedoman penyelenggaraan Rumah Sakit berdasarkan prinsip syariah yang pada prinsipnya meliputi lima hal yakni tentang akad, pelayanan, obat-obatan, serta pengelolaan dana finansial.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Wakil Ketua MUI Pusat Yunahar Ilyas mengatakan bahwa perlunya Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi Rumah Sakit yang menghendaki penyelenggaraan dengan cara syariah.
“Rumah Sakit yang ingin diselenggarakan dengan cara syariah harus punya DPS. Mungkin nanti juga ada sertifikasi, sehingga harus ada DPS untuk melakukan pengawasan,” ungkapnya dalam Seminar Nasional Akuntansi Rumah Sakit di Auditorium Baroroh Baried Unisa Yogyakarta, Selasa (11/4).
“Kalau Rumah Sakit Muhammadiyah baru ada BPH. Nah mungkin nanti di antara BPH itu ada yang ditugasi untuk mengawasi aspek syariahnya. Tidak harus dari Majelis Tarjih, tapi yang paham dan mengerti tentang ini,” lanjutnya.
Disampaikan Yunahar bahwa transaksi di dalam RS Syariah harus mengacu pada hukum Islam Fiqih Mu’amalah. Dalam hal pelayanan, lanjutnya, pihak pengelola dan pelaksana harus memberikan yang baik dan sesuai dengan panduan praktik klinis. Tak hanya itu, dalam pelayanan RS juga perlu mengedepankan akhlak yang baik, santun, ramah, transparan, adil, dan berkualitas.
“Pelayanan di RS tidak hanya sebatas pelayanan medis saja. Tapi juga ada pelayanan spiritual. Dalam pelayanan spiritual, mendoakan pasien anak kecil berbeda dengan pasien dewasa. Sehingga perlu pendekatan yang baik untuk mampu memahami sesuai kebutuhannya,” ujarnya.
Terkait biaya, Yunahar mengatakan pentingnya kewajaran dalam menghitung biaya. Menurutnya, meskipun pihak RS mempunyai otoritas untuk menetapkan administrasi, namun dalam beberapa kasus perlu perhitungan wajar sesuai hati nurani. Ia juga menuturkan pentingnya memperhatikan kehalalan obat. Kendati demikian, ia juga memperbolehkan penggunaan obat yang belum bersertifikasi halal jika memang diperlukan dalam keadaan darurat. “Untuk obat harus yang halal dan diutamakan harus ada sertifikasi halal. Kalau tidak ada sertifikasi halal, harus hati-hati. Tetapi jika itu tindakan darurat, boleh,” tegasnya.
Yunahar menambahkan, dana Rumah Sakit syariah harus menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah. Namun pihaknya tidak menampik kondisi di lapangan yang memang belum tersedianya layanan syariah untuk BPJS. “Kami sudah mengusulkan kepada pemerintah agar ada BPJS Syariah. Namun karena sampai sekarang belum ada BPJS syariah, ya darurat,” tandasnya (Yusri).