Oleh: Imam Shamsi Ali*
Kamis, 13 April, saya mendapat kesempatan terhormat menyampaikan ceramah utama (keynote speech) pada konferensi kesehatan mental Muslim di Michigan. Acara ini diadakan oleh Departemen psikologi Universitas Negeri Michigan (Michigan State University) bekerjasama dengan Muslim Mental Health di East Lansing, Michigan. Peserta datang dari berbagai tempat di Amerika, termasuk Boston, Chicago, Las Vegas, Houston, New York, Michigan, dan lain-lain. Mereka adalah professor ilmu kejiwaan, dokter kejiwaan, maupun mara aktifis dan tokoh-tokoh komunitas dan agama.
Selain menjadi keynote speaker saya juga menjadi peserta leadership training on mental health. Sebuah pelatihan khusus yang diberikan kepada para imam, tokoh agama dan masyarakat serta aktifis dalam merespon isu-isu kejiwaan di masyarakat. Di sini saya banyak belajar bagaimana seharusnya seorang imam mengkomunikasikan isu-isu agama dalam konteks dan komunikasi kejiwaan. Konferensi ini juga membuka mata saya betapa Islam itu adalah agama yang mencakup semua sisi kehidupan manusia. Dan bahwa ajarannya saling terkait antara satu dan lainnya.
Dalam sebuah perdebatan kemarin mengenai ruang lingkup tugas Imam ada perbedaan pendapat apakah seorang Imam bisa menangani orang yang sedang mengalami masalah mental? Bisakah seorang Imam melakukan intervensi dengan pendekatan kejiwaan?
Salah seorang peserta, seorang professor dari Qatar University, Qatar, menyampaikan pendapat bahwa imam harusnya tidak terlibat langsung dalam hal ini. Alasannya karena Imam itu hanya mengenal agama dan spiritualitas. Sehingga ketika sudah bersentuhan dengan masalah-masalah kejiwaan, harusnya diberikan kepada ahlinya.
Dalam respon saya sampaikan bahwa saya memahami benar karena professor itu berasal dari sebuah negara Timur Tengah, di mana tugas imam tidak lebih dari mengajar hukum-hukum agama (fiqh) dan mengajaran moralitas (akhlak). Tapi imam di negara Amerika sangat berbeda. Imam di Amerika adalah pimpinan komunitas yang menjadi rujukan pertama dan utama masyarakat Muslim dalam setiap masalah yang dihadapinya. Dari mengimami, khutbah dan ceramah, konseling remaja dan rumah tangga, hingga ke masalah-masalah “drug addiction” (kecanduan obat-obat terlarang). Bahkan lebih jauh seorang Imam bisa menjadi rujukan dalam urusan politik sekalipun.
Di sinilah para imam perlu mempersenjatai diri (equipped) dengan semua hal yang bisa menjadi dukungan dalam melakukan tugas. Seorang Imam haris mampu berdiplomasi. Seorang Imam harus mampu melakukan rekonsiliasi antar pertikaian anggota. Seorang imam harus mampu menjadi penengah pertikaian antar suami dan isteri. Bahkan seornag imam harus mampu melakukan strategi politik dan ekonomi, serta mampu berkomunikasi dengan semua kalangan.
Saya memberikan contoh ketika seorang suami isteri datang ke saya bertengkar. Pertengkaran yang tidak jelas. Hanya karena masing-masing merasa paling berjasa dalam rumah tangga, dan yang lain hanya menikmati. Mengakui kelebihan diri sendiri dan mengingkari kontribusi orang lain.
Saya mencoba menjadi pendengar yang baik di awal. Walaupun dalam proses itu memerlukan kesabaran karena keduanya benar-benar saling menyerang dan tidak mau mengalah. Bahkan saling menuduh dan membuka aurat (keburukan) masing-masing.
Setalah keduanya berbicara, dan benar-benar memberikan peluang dengan harapan semoga puas mengeluarkan uneg-uneg, saya mulai mengambil alih pembicaraan. Tapi saya meminta sejak awal, sebagaimana saya telah menjadi pendengar yang baik, masanya keduanya menjadi pendengar yang baik.
Dari pembicaraan dari masing-masing mampelai itu, saya menemukan satu hal: arogansi dan egoisme. Masing-masing merasa hebat, berjasa, dan ingin diakui. Sekaligus karena perasaan lebih itulah menjadikannya buta mata bahkan hati dalam melihat kebaikan dan jasa pasangannya. Saya melihat hal ini adalah masalah mental. Akan tetapi saya bukan ahli jiwa untuk melakukan terapi kejiwaan secara langsung. Oleh karenanya saya mengembalikan kepada posisi saya sebagai imam, melakukan penyelesaian agama (Al-Quran dan Sunnah), tapi melalui pendekatan kejiwaan.
Saya kemudian teringat sebuah penggalan ceramah saya pada setiap nasehat perkawinan. Di antara poin yang selalu saya sampaikan adalah bahwa “rendah hati itu adalah sebuah kemuliaan karakter manusia” (noble human character). Tapi seharusnya kemuliaan ini bermula dari rumah tangga kita sendiri. Karena proses menjaga keharmonisan hubungan antar manusia memerlukan “ketawadhuan”. Dan menjaga keharmonisan hubungan dalam rumah tangga tidak kalah pentingnya dari hubungan di luar rumah tangga.
Saya kemudian merelasikan fenomena kejiwaan ini (arogansi vs tawadhu) dengan sebuah ayat yang berbicara tentang hubungan suami isteri. Ayat itu dikenal dengan ayat “libass” (pakaian). Di mana dalam ayat 187 surah Al-Baqarah disebutkan bahwa “mereka (wanita) adalah pakaian bagi kamu (pria) dan kamu adalah juga pakaian bagi mereka”.
Kata “libaas” pada ayat ini kemudian menjadi sangat krusial di saat kita bersentuhan dengan prilaku arogansi versus tawadhu’. Karena sesungguhnya kata “pakaian” berarti menutui dari ketelanjangan (nakedness) atau aib dan kekurangan. Oleh karenanya ayat ini sangat jelas terkait dengan sebuah kesadaran bahwa kedua pihak (suami isteri) itu seharusnya memposisikan diri sebagai “subyek” (pakaian) tapi sekaligus “obyek” (yang ditutupi). Dalam hal ini ayat “libaas” menjelaskan pentingnya kedua belah pihak menyadari tanggung jawab, sekaligus sadar akan haknya dalam tatanan rumah tangga.
Nah, untuk lancarnya tegaknya tanggung jawab dan hak ini diperlukan kesadaran “rendah hati”. Yaitu menyadari dan mengakui kekurangan dan ketidak sempurnaan diri sendiri, seraya belajar membuka mata dan mengakui kemampuan dan kontribusi pasangan dalam membangun rumah tangga.
Membangun kesadaran seperti itulah yang saya maksudkan sebagai “solusi agama” dengan pendekatan “kejiwaan” (psikologis). Maka seorang Imam memang tidak sekedar mampu membaca ayat, menterjemah dan mengambil kesimpulan. Tapi memerlukan pendekatan-pendekatan keilmuan yang ragam. Bukankah memang Al-Quran itu adalah petunjuk hidup? Dan kehidupan mencakup segala sisi. Sehingga untuk menghubungkan ajaran Islam dan kehidupan secara keseluruhan diperlukan pemahaman dengan pendekatan yang ragam (multi approach).
Kembali ke konferensi Muslim Mental Health tadi. Penjelasan saya ini mendapat apresiasi dan sekaligus tawaran jika saya bersedian duduk sebagai anggota Advisory Board di organisasi Muslim Mental Health. Tentu saya terima dengan senang hati. Selain karena memang mereka memerlukan pemahaman keagamaan dalam mendalami “kejiwaan manusia”. Juga karena saya sendiri ingin lebih mendalami ajaran agam melalui pendekatan ilmu kejiwaan (psikologis). (Bersambung)
_____________________________________
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation