SURABAYA, Suara Muhammadiyah- Peta gerakan Islam di Indonesia khususnya gerakan Muhammadiyah di era kontemporer mengalami pergeseran dewasa ini. Hal ini ditandai dengan terjadinya pergeseran perilaku keagamaan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi beberapa fenomena yang muncul. Berangkat dari hal tersebut, penguatan ideologi Muhammadiyah menjadi suatu hal yang penting untuk mengembalikan tradisi Muhammadiyah. Demikian disampaikan oleh Ketua Pusat Pengkajian Al Islam Kemuhammadiyahan (PPAIK) Universitas Muhamadiyah Surabaya (UMSby), Sholihul Huda.
“Ada fenomena pergeseran perilaku keagamaan yang terjadi di kalangan umat Islam termasuk di Muhammadiyah terutama respon terhadap fenomena Ahok,” terangnya dalam Seminar Internasional, pada Rabu (12/4).
Kegiatan bertajuk “Peta Gerakan Islam di Asia Tenggara” ini merupakan seminar internasional study exchange yang digelar oleh Fakultas Agama Islam UMSby bersama dengan Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) dengan menghadirkan Ketua PPAIK Sholihul Huda, Mahasiswa Prodi SAA UMSby Suherman dan Ma’ruf, serta mahasiswa USIM, Mohammad Syafiq Ashraf.
Dalam kesempatan tersebut, Sholihul Huda menyampaikan bahwa umat Islam terutama di Muhammadiyah mengalami polarisasi atau perubahan perilaku dalam menyikapi terjadinya fenomena yang ada. Menurutnya, hal ini ditandai dengan adanya pro kontra yang awalnya respon politik bergeser hingga pada sikap dan perilaku keagamaan.
Sikap dan perilaku keagamaan di kalangan Muhammadiyah, kata Huda, dapat diamati dari beberapa aspek. Pertama, dari aspek keberagamaan. Hal ini ditunjukan dengan adanya sebagian warga Muhammadiyah yang lebih patuh terhadap pemerintah serta himbauan ketua organisasi Islam lain dibandingkan dengan himbauan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
“Sebagian warga Muhammadiyah lebih manut terhadap pemerintah atau himbauan ketua organisasi Islam lainnya daripada himbauan Ketua PP Muhammadiyah. Hal ini efek dari aksi-aksi atas nama bela Islam 212, 411 dan sebagainya dalam rangka penuntutan hukum bagi Ahok yang dianggap penista agama,” jelasnya.
Kedua, lanjut Huda, adanya sikap beragama yang cenderung mengeras dan reaktif terhadap perbedaan. Menurutnya, perilaku labelling terhadap kelompok yang berbeda bukan merupakan karakter Muhammadiyah. “Sekarang ini banyak yang mudah melabelisasi kafir dan munafiq bagi yang berbeda. Padahal ini bukan karakter Muhammadiyah,” imbuhnya.
Tak hanya itu, Huda menjelaskan terjadinya beberapa fenomena yang muncul dalam aspek perilaku keagamaan dalam beberapa waktu ini seperti adanya tradisi seragamisasi dengan warna putih dalam pengajian, adanya tradisi aksi massa dalam menyikapi persoalan sosial kemasyarakatan, politisasi jamaah shalat shubuh yang dikumpulkan di satu Masjid, serta tradisi pengucapan lafadz takbir di setiap pertemuan. Menurutnya, tradisi-tradisi tersebut dahulunya tidak ada dan tidak dipraktekan di Muhammadiyah.
“Baru-baru ini tradisi itu mulai marak di Muhammadiyah pasca fenomena Ahok. Padahal sebelumnya tradisi-tradisi tersebut banyak dilakukan oleh kelompok Islam transnasional. Oleh karenanya, untuk mengembalikan tradisi Muhammadiyah kita harus galakkan kembali penguatan ideologi Muhammadiyah,” tandasnya (Yusri).