Oleh Sri Lestari
Perawat didefinisikan sebagai orang yang membantu individu, sehat atau sakit, dalam melakukan tindakan-tindakan yang berperan untuk kesehatan dan kesembuhan, baik di masa perang maupun damai. Keperawatan dalam Islam yang pertama kali tercatat dalam sejarah adalah pada masa Nabi Muhammad. Seorang perawat profesional pertama dalam sejarah Islam bernama Rufaidlah. Dia adalah seorang pemimpin yang mampu mengorganisir dan memobilisasi kawan-kawannya untuk menolong orang lain. Selain itu, Rufaidlah juga memiliki keterampilan klinis yang dibutuhkan oleh seorang perawat yang lalu mengajari perempuan lain supaya memiliki pengetahuan tentang keperawatan. Rufaidlah adalah inspirasi bagi profesi keperawatan di dunia Muslim (Muhammad Ibrahim Saliim, 2002: 120)
Nama lengkapnya adalah Rufaidlah binti Sa’ad dari suku Aslam Bani Khazraj yang berasal dari Madinah. Dia lahir di Yatsrib sebelum hijrahnya Nabi Muhammad. Rufaidlah merupakan satu dari sekian banyak perempuan yang menerima ajaran Islam dan menjadi salah satu wanita Anshar yang turut menyambut Nabi Saw tiba di Madinah.
Rufaidlah mendapatkan ilmu keperawatan dari ayahnya yang juga seorang tabib (dokter) terkemuka pada masa itu. Semula, dia menjadi asisten ayahnya dalam mengobati pasien. Hal itu memaksa dia belajar tentang ilmu medis.
Ketika Islam berkembang dengan pesat di Madinah, Rufaidlah mengabdikan dirinya untuk merawat muslim yang sakit. Ketika terjadi peperangan, Rufaidlah memimpin kelompok relawan untuk ikut ke medan perang, tentu bukan sebagai tentara, namun sebagai perawat. Rufaidlah dan anak buahnya memperlakukan korban dengan sama. Dia merawat mereka yang terluka, baik dari kalangan muslim maupun musuh. Pertempuran-pertempuran yang diikuti oleh Rufaidlah, di mana dia bekerja sebagai perawat adalah Perang Badar (624 M), Uhud (625 M), Khandaq (627 M), dan Khaibar (629 M). Tenda Rufaidlah menjadi sangat terkenal selama pertempuran, dan Nabi Saw selalu mengarahkan tentara yang terluka untuk datang ke tenda itu (Afaf Ibrahim Meleis, 2012: 60).
Saat terjadi perang Khandaq, Rufaidlah juga mendirikan tenda di medan pertempuran. Nabi Muhammad Saw menginstruksikan kepada Sa’ad bin Ma’adh yang sedang terluka pindahkan ke tenda. Dengan hati-hati, Rufaidlah merawatnya dan mencabut anak panah yang menancap di lengan tentara itu (muslimheritage.com).
Dalam kesibukan memberikan perawatan kepada tentara yang terluka dalam peperangan yang terjadi hampir tiap tahun, Rufaidlah masih sempat melatih sekelompok sahabat perempuan sebagai perawat. Para perempuan yang bekerjasama dengan Rufaidlah, di antaranya adalah Ummu Ammarah, Aminah, Ummu Aiman, Safiyah, Ummu Sulaim, dan Hind. Perempuan muslim lain yang terkenal sebagai perawat adalah Ku’ayibah, Aminah binti Abi Qais al-Ghifariyah, Ummu ‘Atiyyah al-Ansariyah, dan Nusaibah binti Ka’ab al-Maziniyyah.
Ketika tentara Islam sedang bersiap-siap menghadapi perang Khaibar, Rufaidah dan kelompok perawat relawan menghadap Nabi Muhammad Saw. Perempuan-perempuan itu meminta izin kepada Nabi Saw, “Wahai utusan Allah, kita bersama Anda untuk pergi ke medan tempur, untuk mengobati yang terluka dan membantu kaum Muslim sebanyak yang kami bisa”. Akhirnya, Nabi Muhammad mengizinkan mereka. Ketika peperangan telah usai, para perawat ini diberi bagian rampasan perang yang setara dengan tentara yang berperang. Hal itu merupakan bentuk pengakuan dari Nabi Muhammad Saw kepada kontribusi kaum perempuan tersebut dalam bidang medis dan keperawatan (R. Jan, 2000: 267).
Apa yang dilakukan oleh Rufaidlah di atas setidaknya telah memenuhi porosedur keperawatan modern. Sebab, menurut Kusnanto (2004: 82-84), seorang perawat bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. Perawat juga harus mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, harus dilakukan karena klien yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan. Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan klien, sehingga diharapkan perawat harus mampu membela hak-hak klien.
Sebenarnya, peran Rufaidlah tidak terbatas pada perawatan terhadap orang sakit dan terluka. Perempuan itu juga terlibat dalam pekerjaan sosial di masyarakat. Ia datang kepada setiap muslim yang membutuhkan perawatan, seperti orang miskin, anak yatim, atau cacat. Rufaidlah memberikan perhatian dan empati yang mampu membuat orang-orang itu tenang selama mendapatkan perawatan medis.
Dibangunnya rumah sakit pada masa pemerintahan Umayyah, Abbasiyah, dan dinasti-dinasti lain setelahnya menjadikan perawat sebagi pilar penting bangunan itu. Mereka bertugas membantu dokter demi kesembuhan para pasien. Profesi keperawatat tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan rumah sakit itu.
Pada masa Abbasiyah, tepatnya saat Harun Rasyid bertakhta, dia memerintahkan agar bangsal kaum laki laki dan kaum perempuan harus dipisahkan. Mulai saat itulah, perawat laki-laki dibutuhkan. Perawat laki-laki bertugas merawat pasien laki-laki dan perawat perempuan bertugas merawat pasien perempuan (SK Ghazali, 2007:6).
Sistem Bimaristan (sebutan untuk rumah sakit Islam pada abad pertengahan) juga berkembang dengan pesat. Jumlah dokternya saja mencapai 800 orang pada masa Abbasiyah. Hal ini menyebabkan para perawat dituntut untuk mengikuti perkembangan, baik dari segi skill, pengetahuan maupun jumlahnya.
Keperawatan merupakan salah satu dari sumbangan perempuan terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Tulang punggung profesi ini kebanyakan adalah kaum perempuan. Ada juga laki-laki yang bertugas sebagai perawat yang merawat pasien laki-laki, namun sejarah telah menuliskan bahwa motor penggeraknya adalah kaum hawa.