Islam Dari Pesisir

Islam Dari Pesisir

 

Suara Muhammadiyah-Indonesia adalah kawasan strategis dalam jalur perdagangan dunia. Diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) menempatkan Indonesia sebagai jalur persinggahan perlayaran sejak berabad-abad silam. Beberapa kawasan di Indonesia seperti Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Makassar, Selat Sunda, Selat Bali, dan Selat Lombok, menjadi jalur transit kapal-kapal layar dari berbagai negara. Kehadiran dermaga-dermaga strategis di kawasan pesisir di sepanjang pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali telah memainkan peran strategis dalam sejarah Indonesia.

Sejarah telah mencatat, bangsa Arab, India, Persia, dan China telah aktif melakukan kontak dagang dengan warga pribumi. Kawasan pesisir Pulau Jawa dan  Sumatera menjadi area transit kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia atau yang dikenal dengan “Jalur Sutera”—istilah yang diperkenalkan Ferdinand von Richthofen, geographer asal Jerman. Jalur inilah yang menghubungkan Asia dengan Eropa dan Timur Tengah. Selain berfungsi sebagai pusat pertukaran komoditas ekspor, kehadiran pelabuhan-pelabuhan di kawasan pesisir juga berfungsi sebagai pintu masuk berbagai kepentingan, seperti pertukaran kebudayaan, bahkan infasi militer untuk tujuan kolonialisme. Bangsa Eropa yang mengawali fase kolonialisasi di Nusantara berawal dari kunjungan Alfonso de Albuquerque bersama pasukannya singgah di selat Malaka pada awal abad ke-16.

Kehadiran pelabuhan-pelabuhan yang menerima dan menampung kapal-kapal dari berbagai penjuru tanah air, bahkan lintas negara, telah menciptakan struktur masyarakat baru yang berbeda dengan karakteristik masyarakat pedalaman. Penelitian Nur Syam (2003) di kawasan pesisir pantai utara Pulau Jawa menunjukkan bahwa masyarakat pesisir memiliki karakteristik terbuka dan egaliter. Berbeda dengan masyarakat pedalaman yang eksklusif dan cenderung feodal, masyarakat pesisir lebih rasional dan lebih mengedepankan skill atau profesi (kaum profesional). Hal ini disebabkan karena masyarakat pesisir lebih terbuka terhadap sesuatu yang baru. Intensitas kontak dengan warga pendatang dengan berbagai motif dan tujuannya telah menciptakan struktur masyarakat baru yang bersifat terbuka dan egaliter.

Dalam masyarakat yang terbuka dan egaliter itulah, Islam hadir di bumi nusantara. Sebelum mengenal agama Islam, bangsa pribumi masih menganut Hinduisme dan berbagai kepercayaan animisme serta dinamisme. Para pelancong dan saudagar muslim dari Arab, India, Persia, dan China berhasil mengenalkan ajaran Islam menggunakan jalur perdagangan kepada kaum pribumi. Para Proses asimilasi budaya Islam berlangsung secara damai dan intensif. Dari masyarakat pelabuhan yang terbuka dan egaliter inilah agama Islam berhasil masuk ke pedalaman. Dalam tradisi Minangkabau dikenal istilah, “adat menurun, syariat mendaki.” Ini menegaskan bahwa Islam memang hadir pertama kali sebagai agama baru yang berbasis di pesisir pantai.

Islam yang hadir pertama kali lewat jalur pelabuhan adalah Islam kosmopolitan. Yaitu, Islam yang ramah, rasional, maju, terbuka, dan egaliter. Para saudagar Muslim pendatang bukan sekedar berprofesi sebagai pedagang, tetapi mereka juga para filosof dan ilmuwan yang mengetahui teknologi perkapalan dan perlayaran melintasi samudera. Sehingga agama Islam yang pertama kali hadir ke bumi nusantara telah memiliki wawasan maritim yang dapat digali untuk pengembangan konsep “dakwah Islamiyah berbasis kemaritiman.” (Abu Rafif)

Dapatkan ulasan lengkap tentang Islam dari Pesisir di Majalah Suara Muhammadiyah edisi cetak, No. 08, 16-30 April tahun 2017

Exit mobile version