YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sosok Kartini menjadi sangat fenomenal belakangan ini. Peluncuran sebuah film biopic sejarah karya Hanung Bramantyo ikut menambah riuh. Bertepatan dengan tanggal 21 April, tepat di hari kelahiran Kartini yang lumrah dirayakan, Kajian Malam Sabtu (Kamastu) Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membahas tentang Kartini. Dua narasumber yang dihadirkan adalah Dr Inayah Rohmaniyah MHum MA dan Diyah Puspitarini MPd.
Dalam paparannya, Inayah membuka bahasan dengan menyinggung pentingnya memahami konstruk sosial-budaya yang tumbuh di masyarakat. Selama ini, keseharian masyarakat telah dipenuhi dengan beragam simbol. Termasuk dalam urusan perempuan. Budaya patriarkhi kerap menyimbolkan perempuan dalam wilayah domestik semata.
Kaitannya dengan Kartini, kata Inayah, perayaan tentang Hari Kartini lebih banyak dilakukan dengan perayaan ikonik seperti pawai ibu-ibu memakai kebaya, lomba memasak dan sejenisnya. Padahal, cita-cita dan perjuangan Kartini semasa hidupnya terlampau besar untuk hanya direduksi dalam perayaan-perayaan yang sifatnya seremonial dan simbolik seperti itu.
Menurut Inayah, Kartini berjuang untuk menyuarakan kebebasan dan kesetaraan bagi semua. Di masa hidupnya, Kartini dilingkupi oleh budaya patriarkhi, feodalisme, dan kolonialisme. Perempuan di masa itu berada dalam kungkungan laki-laki. Perempuan dianggap makhluk kelas dua di bawah kasta laki-laki yang berhak diperlakukan sekehendaknya. Terutama dalam hal pernikahan, laki-laki merasa paling berkuasa termasuk mempoligami. Jeritan dan kegelisahan Kartini kemudian disuarakan melalui surat-surat yang dikirim kepada para sahabatnya di Belanda. “Kekuatan menulis dan mengekspresikan pemikiran dan harapan ini harus ditiru,” tutur Inayah.
Baca: Laki-laki dan Perempuan, Sama atau Beda?
Isu yang diperjuangkan oleh Kartini kerap dilupakan. Inayah membeberkan beberapa persoalan substansial yang disuarakan dan menimpa Kartini ketika itu. “Kemerdekaan perempuan, pendidikan bagi perempuan, mendengarkan suara perempuan, peran publik perempuan, dan problem kritis lain yang menimpa perempuan, seperti poligami, perjodohan, perkawinan anak, kematian ibu karena melahirkan,” rinci Inayah yang juga dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Oleh karena itu, ujar Inayah, Hari Kartini harus dimaknai secara lebih substansial, dengan menelaah pemikiran-pemikiran Kartini dan melanjutkan perjuangannya. Dalam banyak surat-suratnya, Kartini muda yang belajar secara otodidak dari buku-buku dan majalah yang dipasok oleh kakaknya Sostro Kartono. Ia tumbuh menjadi perempuan yang kritis, cerdas, dan peduli dengan kondisi sosial masyarakatnya.
Kartini misalnya kritis terhadap parktek keagamaan ketika itu yang fanatik. Agama hanya dipahami oleh kalangan elit ulama. Inayah mengutip salah satu bagian dari surat Kartini kepada Nn. Stella Z, pada November 1899: “Lagi pula sebenarnya agamaku Islam Karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku jika aku tidak mengenal dan tidak bisa mengenalnya? Al-Qur‘an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam Bahasa apapun. disini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Disini orang diajar membaca Al-Qur‘an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.” Dalam banyak sumber, Kartini merupakan sosok yang mendorong Kiai Shaleh Darat untuk menulis tafsir al-Qur’an dalam bahasa daerah.
Baca: Konsep Feminis dan Relasi Gender Berkemajuan
Jasa besar Kartini yang lain, kata Inayah, adalah memimpin perubahan bagi perempuan Indonesia, pembebasan perempuan dari belenggu tradisi yang merugikan. “Kartini sebagai intelek, pemikir Indonesia yang kritis,” ujarnya. Lebih dari itu, Kartini juga merupakan sosok yang berani untuk melakukan kritik sosial terhadap budaya dan masyarakatnya sendiri yang telah dianggap mapan ketika itu.
Sementara itu, ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah, Diyah Puspitarini menyinggung tentang perlunya perempuan terlibat dalam agenda-agenda kebangsaan. Jika dahulu Kartini memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki, maka hari ini perempuan harus bisa ikut serta dalam peran-peran strategis keumatan dan kemanusiaan universal.
Menurutnya, perjuangan untuk membuka ruang yang setara antara laki-laki dan perempuan, tidak bisa hanya dilakukan oleh perempuan, namun juga oleh laki-laki. Untuk membangun peradaban yang maju, maka laki-laki dan perempuan harus maju secara bersama. Diyah menyayangkan di era modern ini, masih ada para perempuan yang terhalang untuk terlibat aktif dalam organisasi hanya karena alasan ‘perempuan harus berada di ranah domestik setelah menikah’.
Baca: Mengurai Relasi Gender
Diyah juga memaparkan bahwa perjuangan kaum perempuan di Muhammadiyah telah berakar sejak masa Kiai Ahmad Dahlan. Saat itu, Kiai Dahlan mengumpulkan beberapa anak perempuan dan mendidik mereka menjadi perempuan yang mandiri dan cerdas. Kiai Dahlan mendorong anak-anak perempuan untuk menjadi guru, dokter, insinyur dan profesi lainnya yang sangat identik dengan profesi laki-laki ketika itu (Ribas).
Baca: Kyai Dahlan dan Nyai Walidah Wariskan Konsep Ideal Relasi Gender Muhammadiyah