YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Tareq Muhammad Aziz Elven, mahasiswa angkatan 2015 International Program of Law and Sharia (IPOLS) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH-UMY), dinobatkan menjadi mahasiswa berprestas Kopertis Wilayah V pada Jum’at (21/4) di ruang sidang Pimpinan Kopertis Wilayah V DIY. Prestasi tersebut didapatkannya dengan mengalahkan 8 peserta yang berasal dari PTS lainnya di Yogyakarta, yakni Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Atmajaya, Universitas Sanata Dharma, Universitas Proklamasi 45, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Alma Ata, dan Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY).
Dalam proses seleksi tingkat kopertis, yang kemudian membawanya menjadi mahasiswa berpretasi se-Kopertis Wilayah V, Tareq memilih subtopic Sosial Hukum sesuai dengan jurusan yang ia tempuh di UMY. Judul yang ia pilih sebagai karya tulisnya adalah “Pembentukan pengadilan HAM di ASEAN” yang diajukan sebagai solusi permasalahan konflik Rohingya. “Karya tulis ini saya dedikasikan untuk kaum Rohingya, saudara-saudara kita yang seiman yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” ujar Tareq saat ditemui Rabu (26/4) di ruang Biro Humas dan Protokol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Kasus rohingya sendiri merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah terjadi sejak tahun 1960 an. Menurut Tareq, kasus pelanggaran HAM ini terjadi berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang pasti. Pelanggaran HAM yang terjadi pada penduduk Rohingya terjadi karena isu etnis, penduduk Burma yang merupakan mayoritas di Myanmar menganggap penduduk Rohingya bukan merupakan bagian dari Negara Myanmar. Ini berdasarkan fitur fisik Rohingya yang dianggap berbeda oleh penduduk Burma. Menurut warga Burma, Rohingya adalah imigran asal Bangladesh yang masuk ke Myanmar. Isu agama pun menjadi persoalan dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada penduduk Rohingya yang beragama Islam.
“Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa pelakunya? Ternyata pelaku dari kasus pelanggaran HAM ini bukan individual melainkan Negara, militer dan pemerintahnya. Sebagai contoh, dalam usaha kudeta oleh pihak militer untuk mengambil pemerintahan, penduduk Rohingya tidak diperkenankan untuk ikut ambil bagian dalam pemerintahan. Kemudian pada tahun 1978 pemerintah melakukan “Operasi Raja Naga” di wilayah Rakhine dengan target penduduk Rohingya,” jelas Tareq lagi.
Karena itu, Tareq memberikan usulan dalam karya tulisnya untuk mengatasi persoalan penduduk Rohingya tersebut. Ia mengusulkan agar dibentuk sebuah pengadilan HAM yang dapat beroperasi dalam wilayah ASEAN. “Prinsip non-interference yang dimiliki ASEAN menjadikan anggota-anggotanya tidak mampu mencampuri urusan negara anggota lainnya. Untuk itu saya mengajukan pembentukan sebuah pengadilan HAM ini sebagai wadah untuk menyelesaikan masalah-masalah internal ASEAN,” jelas Tareq.
Menurut Tareq, pengadilan HAM ini nantinya akan melengkapi fungsi proteksi yang dimiliki oleh ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). “Pengadilan HAM yang saya ajukan ini nantinya akan berada di bawah AICHR. Jadi selain memberikan fungsi promosi HAM di ASEAN, AICHR juga memiliki fungsi proteksi dan mampu memberikan keputusan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dalam ASEAN,” pungkas Tareq. Ini bisa diterapkan bukan hanya pada kasus pelangaran HAM penduduk Rohingya, namun juga pada kasus terorisme, perdagangan manusia dan lainnya.
Dengan adanya pengadilan HAM ini, prinsip non-interference yang dimiliki oleh ASEAN tidak akan dilanggar. “Pengadilan ini hanya akan mengambil kasus HAM di suatu Negara apabila Negara tersebut unwilling (tidak mau) dan unable (tidak mampu) untuk menyelesaikan masalahnya sendiri,” tegas Tareq. Menurut Tareq ini merupakan salah satu cara yang sangat ampuh untuk menangani kasus pelanggaran HAM terhadap penduduk Rohingya (raditia).