Oleh: Haedar Nashir
Muhammadiyah itu bukan sekadar organisasi berbadan hukum yang legalitas yuridisnya diakui negara. Muhammadiyah juga bukan organisasi kemasyarakatan biasa dan lahir kemarin sore. Muhammadiyah itu organisasi, pekumpulan, perhimpunan, dan pergerakan yang keberadaannya lahir dari ruh perjuangan kebangkitan nasional dan telah mengakar kuat dalam kehidupan bangsa sejak sebelum hingga setelah Indonesia merdeka. Muhammadiyah selain telah berkiprah memajukan bangsa juga perjalananya terentang sepanjang zaman yang menyatu dengan denyut nadi sejarah dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karenanya terlalu naif jika organisasi kemasyarajatan seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama, Taman Siswa, dan pergerakan lainnya yang besar peranannya dalam sejarah Republik ini disejajarkan dan disamaratakan dengan organisasi lain yang lahir beberapa tahun yang lalu dengan peranan yang bersifat parsial. Bukan mengecilkan kehadiran organisasi kemasyarakatan lain tetapi perlu dilihat keberadaan dan perannya dalam rentang sejarah yang panjang. Maka menjadi kerdil jika negara yang diwakili oleh elite dan institusi di legislatif, eksekutif, dan yudikatif meletakkan Muhammadiyah sebagai badan hukum hanya secara yuridis-formal belaka sebagaimana terkandung dalam RUU Keormasan yang sedang diproses di parlemen. Mereka selain tidak paham sejarah, pada saat yang sama dapat dipandang mengalami pengerdilan jiwa, alam pikiran, dan sikap kenegarawanan dalam memandang organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah.
Kalaupun diperlukan payung perundang-undangan dalam Undang-Undang Keormasan semestinya mempertimbangkan keragaman dan fakta sejarah organisasi kemayarakatan yang tidak sama dan sesederhana seperti apa yang dipikirkan oleh para elite politik dan pejabat pemerintahan yang tunasejarah itu. Apalagi jika perundang-undangan yang mengatur organisasi kemasyarakatan mengandung regulasi yang represif, monolitik, dan diskriminatif. Jika dari hari ke hari makin banyak organisasi kemasyarakatan dan kekuatan civil soviety mengeritisi dan menolak kehadiran Rencana Undang-Undang tersebut sungguh wajar dan semestinya. Di era reformasi yang sarat keterbukaan malah lahir regulasi yang serbamengekang, ibarat memutar jarum sejarah ke era penjajahan dan rezim otoritarian.
Pilar Indonesia
Bayangkanlah jika Indoesia dulu, kini, dan ke depan tanpa organisasi kemasayaakatan seperti Muhammadiyah dan kekuatan civil society lainnya. Apalah jadinya jika negeri ini sekadar ditopang oleh partai politik. Apalagi manakala menyaksikan partai politik yang terbukti dari hari ke hari makin pragmatis (menerabas), oportunis (pemburu kepentingan), dan sekadar mengejar kursi, materi, dan egoisme diri. Mungkin, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, Indonesia tinggal menunggu karam dan kehancuran yang sempurna. Padahal bangsa dan negara manapun tidak hanya dibangun oleh kekuatan politik, tetapi juga kekuatan-kekuatan civil society.
Muhammadiyah dan organisasi kebangkitan nasional lainnya merupakan pilar strategis bangsa dan negara. Jauh sebelum NKRI berdiri, gerakan kemasyaakatan ini telah memelopori kebangunan dan perjuangan menegakkan kemerdekaan. Muhammadiyah melalui para tokohnya seperti Ki Bagus Hadisikusuma, Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Djuanda, dan lain-lain menjadi pelaku sejarah yang mendirikan NKRI tahun 1945. Soekarno sendiri adalah anggota Muhammadiyah. Soedriman Panglima Besar TNI adalah Pandu Hizbul Wathan dan kader Muhammadiyah. Soeharto tokoh Serangan 1 Maret dan Presiden Indonesia terlama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah lulusan SMP Muhammadiyah, yang diakuinya sebagai bibit Muhammadiyah. Ribuan anak bangsa yang bekiprah dalam perjuangan bangsa pasca kemerdekaa yang menjadi elite bangsa di berbagai struktur pemerintahan dari pusat hingga daerah banyak dari kalangan kader dan anggota Muhammadiyah.
Demikian halnya dengan kiprah Muhammadiyah di bidang pembaruan kehidupan beragama, pendidikan, kesehatan, layanan sosial, emansipasi gerakan perempuan melalui Asiyiyah, dan berbagai langkah Muhammadiyah lainnya sangatlah besar dan berimplikasi luas pada kemajuan bangsa. Di saat kritis seperti dalam perumusan Dasar Negara, Muhammadiyah melalui Ki Bagus Hadiskusuma, Kasman Singodimedjo, dan Kahar Muzakkir sangatlah menentukan. Ketiganya kini sedang diajukan untuk diangkat Pahlawan Nasional dalam tajuk utama “Dari Muhammadiyah untuk Indonesia”. Kesimpulan utamanya ialah, Muhammadiyah itu pilar pentng dan strategis dari NKRI, yang telah berjuang sejak awal kebangkitan nasional hingga saat ini dan sampai kapanpun selama masih diberkahi Allah SWT.
Pengakuan Sejarah
Para pendiri bangsa yang tahu pahit-getir perjuangan Muhammadiyah dan kekuatan-kekuatan kebangkitan nasional lainnya mengakui keberadaan Gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang juga Pahlawan Nasional itu. Mereka berjiwa negarawan dan paham betul sejarah bangsanya. Mereka menjadi pelaku sejarah yang hidup dengan idelisme dan visi yang luas dalam mendirikan dan membangun Indonesia. Di antara mereka ada yang melakukan kekeliruan politik karena dinamika Indonesia yang sedang mencari jatidiri, tetapi tidaklah menghilangkan visi kenegarawanannya. Mereka pun tahu persis dinamika dan kiprah kejuangan kekuatan-kekuatan rakyat.
Simak kembali pengakuan para pendiri bangsa dan negara ini tentang Muhammadiyah sebagaimana direkam oleh Junus Salam (1968). Soekarno berkata, “Dengan sedikit bicara banyak bekerja, Muhammadiyah telah memodernisasi cara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh tanah air Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke telah berdiri Cabang-Cabang dan Ranting-Rantingnya”. Tokoh lain menyatakan, “Setelah zaman Indonesia merdeka, gerak Muhammadiyah bertambah luas bidang tugasnya, dan bertambah-tambah pula lapangan pembangunan yang menjadi objeknya”, tulis Ir. Djuanda, Menteri Pertama Republik Indonesia.
Menteri Agama, K.H.M. Wahid Wahab mengakui, “Muhammadiyah sebagai organisasi yang telah hidup lama di dalam negara kita, terutama di lapangan pendidikan, pemeliharaan anak-anak yatim piatu, penyelenggaraan berpuluh-puluh poliklinik-poliklinik yang telah didirikan di berbagai tempat, begitu juga adanya mubaligh-mubaligh dari Muhammadiyah, bukanlah merupakan suatu hal yang kecil atau suatu hal yang boleh dilupakan oleh masyarakat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya”. Sedangkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan antara lain, bahwa “Sejak didirikannya Muhammadiyah dalam tahun 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan sudah banyak jasa-jasa Organisasi Muhammadiyah terhadap bangsa dan tanah air Indonesia”.
Kita masih dapat menghimpun berbagai pengakuan atau testimoni lainnya dari beragam kalangan mengenai jasa, kontirbusi, dan kiprah perjuangan Muhammadiyah untuk bangsa sepanjang sejarah. Fakta-fakta sejarah dan bukti-bukti konkerit mengenai kiprah Gerakan Islam ini dapat ditulis dalam beratus atau beribu dokumen oleh para peneliti dan akademisi, baik dari dalam maupun luar negeri. Dari fakta dan kiprah Muhammadiyah itu akan sampai pada kesimpulan betapa besar jasa dan peran Muhammadiya di Republik Indonesia tercinta ini, yang tidak dapat direduksi oleh sebuah Undang-Undang yang hanya bersifa yuridis-formal dan membonsai kebesaran gerakan-gerakan kemasyarakatan. Kiprah, kontribusi, dan kebesaran Muhammadiya tidak dapat disetarakan dengan organisasi-organisasi badan hukum maupun yayasan lain yang baru lahir kemari sore.
Muhammadiyah juga tidak dapat disamakan dengan partai politik yang lahir di era reformasi tetapi memiliki kekuasaan yang berlebihan sekaligus miskin jiwa, visi, dan idealisme kenegarawanan. Karenanya, semoga kekuatan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang berkontribusi dalam pembonsaian dan pengerdilan organisasi kemasyarakatan melalui RUU Keormasan yang banyak ditolak oleh kekuatan-kekuatan civil society itu cepat siuman dari sikap tunasejarah dan tunavisi kenegarawanan itu. Sementara gerakan-gerakan masyarakat madani seperti halnya Muhammadiyah tetap istiqamah untuk terus berkiprah tak kenal lelah dalam mencerahkan bangsa dan menegakkan Indonesia sejalan jiwa dan visi nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa ini tanpa harus goyah seinci pun oleh regulasi-regulasi yang ahistoris itu. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah!