KLATEN, Suara Muhammadiyah- Kapolres Klaten AKBP Muhammad Darwis, Jum’at (21/4) hadir pada Kajian Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Klaten di lapangan Desa Sentono, Kecamatan Karangdowo, Kabupaten Klaten.
Kehadiran Kapolres Klaten AKBP Muhammad Darwis mendapatkan perhatian para jamaah peserta kajian tarjih yang rutin digelar setiap dua minggu sekali. Oleh panitia, Kapolres Klaten diberi waktu untuk menyampaikan pesan dan kesannya kepada warga Muhammadiyah Kabupaten Klaten.
Dalam kata sambutannnya Kapolres Klaten AKBP Muhammad Darwis secara pribadi maupun institusi merasa bangga kepada waga Muhammadiyah karena maraknya isu-isu politik negara yang suhunya naik, masih tetap eksis melakukan kajian agama untuk menangkal atau menolak pengaruh-pengaruh negatif.
Warga Muhammadiyah yang menauladani nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah merupakan bentuk ketaatan terhadap agama Islam yang dianutnya. “Terima kasih tingkatkan terus ketertiban, keamanan, persatuan, ukhuwah Islamiyah. Meskipun di tengah masyarakat terjadi beberapa perbedaan tentang tata cara menyikapi suatu dalil agama, janganlah dijadikan alasan untuk memecah belah persatuan karena perbedaan khilafiyah yang ada,” tegasnya.
Ia pun berpesan untuk senantiasa membangun komitmen Muhammadiyah menegakkan Qur’an dan Sunnah dengan kemampuan yang ada. “Sebab Islam adalah agama yang damai, sejuk, rahmatalil ‘alamin,” ajak Muhammad Darwis yang mengaku dirinya Muhammadinu, karena ibunya Muhammadiyah, ayahnya NU.
Sementara itu kajian Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Klaten yang dipandu oleh H. Mustahid yang membicarakan seputar “Adakah Tuntunan Rajabiyah dan Sya’ban” menyebutkan bahwa berbagai hadits maudhu’ atau palsu banyak beredar di masyarakat tentang keutaman bulan Rajab dan Sya’ban. Di antaranya tentang keutamaan nisfu Rajab dan nisfu Sya’ban yang mneganjurkan untuk sholat pada malam nisfu Sya’ban yakni shalat alfiyah (ribuan). “Yakni shalat 100 rakaat dengan berjamaah. Tiap rekaat membaca surat Al Ikhlas 10 kali. Hadits ini maudhu,” ujarnya.
Selain itu pada bulan Sya’ban yang dikenal oleh masyarakat Jawa dengan bulan Ruwah. Di mana, ada kepercayaan pada bulan tersebut untuk riatual ngirim leluhur yang merupakan peninggalan agama Hindu yang banyak dilakukan oleh orang Islam hingga saat ini. “Kegiatan kirim leluhur tersebut dinamai Sadranan atau Ruwahan. Karena itu adat agama Hindu dan Budha, maka kita tidak boleh ikut mengamalkannnya,” lanjutnya. Menurutnya, jika mengamalkan, berarti mencampur adukan antara yang haq dengan yang bathil.
“Hal ini bertentangan dengan QS Al-Baqarah ayat 42 Allah berfirman yang artinya, dan Janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui,” pungkas Mustahid (Paimin JS).