Haedar Nashir: Perlu Ada Rekonstruksi yang Bermakna dalam Kehidupan Berbangsa

Haedar Nashir: Perlu Ada Rekonstruksi yang Bermakna dalam Kehidupan Berbangsa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Dalam Seminar Nasional yang mengusung isu ‘Kedaulatan Indonesia Menyongsong Seabad Kemerdekaan’ yang diinisiasi oleh Institut Harkat Negeri, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa di tengah-tengah pencapaian yang telah diraih oleh bangsa, ada dua problem yang masih dihadapi Indonesia. Yaitu, masih mengalami distorsi dan deviasi dalam berbangsa dan bernegara serta adanya kerancuan dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia.

“Harus ada rekonstruksi kehidupan berbangsa yang bermakna,” tegas Haedar dalam pidato kunci yang dibawakannya di Gadjah Mada University Convention Club Hotel, Sabtu (29/4).

Kedua problem tersebut muncul dari adanya pengabaian dari 4 hal mendasar yang seharusnya harus dijadikan renungan bagi seluruh elemen bangsa ketika berbicara masalah kedaulatan dan kesejahteraan. Pertama, para pendiri bangsa menurut Haedar memiliki pondasi yang kuat yang dijadikan dasar membentuk negara Indonesia yaitu Pancasila.

“Di sana ada jiwa, pikiran, dan hasrat yang sedalam-dalamnya di mana pondasi negara diletakkan. Ini merupakan dasar nilai berbangsa dan bernegara yang harus dipahami termasuk untuk elit dan pemerintah,” tuturnya.

Kedua, cita-cita pendirian Indonesia yang menjadi tujuan berbangsa adalah menginginkan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. “Mungkin banyak yang melihat ini sebagai hal yang utopis semata, namun ini adalah cita-cita yang akan mengantarkan Indonesia ke depan,” lanjut Haedar.

Ketiga, visi dan misi pemerintahan negara Indonesia yang ditugaskan secara konstitusional di antaranya adalah untuk melindungi seluruh rakyat, mencerdaskan bangsa dan menciptakan kesejahteraan. “Namun sayangnya dalam proses penyelenggaraannya mereka sering lupa tentang ini,” imbuhnya.

Sedangkan yang keempat, Haedar mengatakan bahwa Indonesia memiliki modal berbangsa yang begitu besar baik dalam hal sejarah, juga kekayaan alam yang seharusnya mampu membuat Indonesia lebih maju dibandingkan saat ini. Namun kenyataannya melihat dari keempat hal tersebut ada dua problem Indonesia perlu diperhatikan seperti yang telah dikatakan Haedar sebelumnya.

“Dalam proses reformasi, Indonesia memang ingin melakukan rekonstruksi dari kehidupan masa sebelumnya dengan lompatan demokratisasi yang luar biasa ini. Namun dalam proses rekonstruksi tersebut ada banyak nilai-nilai dasar yang tercerabut,” tuturnya. Dari sanalah, menurut Haedar terjadi pembiasan 4 nilai mendasar tersebut. Sehingga lahirlah proses politik, ekonomi dan budaya yang kini dirasakan banyak meresahkan masyarakat.

“Seperti proses politik yang transaksional, membolehkan apa saja, berkembangnya politik identitas yang mengkoyak rasa persatuan kita, kesenjangan sosial. Nilai-nilai dasar yang hilang itu seperti kebersamaan, kenegarawanan yang lebih mengedepankan warganya daripada kepentingan golongannya ataupun dirinya,” kata Haedar dalam forum yang juga menghadirkan Mantan Menteri ESDM Sudirman Said, Ekonom Indonesia Faisal Basri, dan pengamat perkembangan politik nasional Mochtar Pabottingi.

Sedangkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut Haedar dapat dilihat kondisi pasca reformasi yang menyebabkan adanya keterputusan 3 pilar yang sebelumnya ada di dalam tubuh MPR. Dahulu kedudukan MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat melingkupi kekuatan politik, daerah dan golongan.

“Akhirnya, aspirasi berbangsa dan bernegara itu murni politik. Karena DPD pun arus pikiran yang selalu berputar didominasi dengan who gets what, when and how. Cakrawala berpikir kita dalam memecahkan persoalan kebangsaan adalah murni karena alasan politik pragmatis,” katanya.

Rekonstruksi kehidupan berbangsa yang dilakukan sebagai langkah ke depan, bangsa Indonesia pun harus dilakukan dengan menjadikan nilai serta hal-hal mendasar tersebut menjadi value. Namun, dalam konteks rekonstruksi ini, agenda kenegaraan seperti halnya nawacita yang dirumuskan harus ada objektivasi bukan hanya sebagai slogan dan bersifat dogmatis. Rekonstruksi pun harus seimbang baik dalam politik, ekonomi dan budaya serta harus ada nilai dan makna yang menyertainya bukan hanya langkah pragmatis semata.

“Kalau kita ingin jalan yang lurus sesuai dengan tujuan kita, value kita dalam berbangsa dan bernegara tetap harus menjadi komitmen nilai kolektif dalam melakukan rekonstruksi ini. Di samping, sebesar apapun permasalahan yang dihadari rakyat, komitmen kenegarawanan yang dijujung oleh elit dan penyelenggara negara harus tetap kuat. Jika bisa, membunuh kepentingan pribadinya demi masa depan bangsa,” tandasnya (Th).

 

Exit mobile version