Oleh Mohammad Damami
Dalam surat Al-Baqarah, surat ke-2, ayat 28, dinyatakan dengan tegas bahwa manusia itu mengalami 2 (dua) peristiwa mati dan 2 (dua) peristiwa hidup. Mati yang pertama adalah ketika masih dalam alam arwah dan belum terbalut oleh raga. Kemudian Allah SwT (dengan segala kemurahan-Nya) menciptakan raga bagi arwah tersebut. Proses terbalutnya arwah oleh raa ini berlangsung dalam rahim (guwa garba, bahasa Jawa) seorang ibu yang sedang hamil.
Bagaimana urutan penciptaan raga dalam rahim seorang ibu ini? Di sini kita tuliskan secara garis besar urutan penciptaan tersebut menurut Muhammad Ali Albar dalam bukunya yang berjudul Human Development As Revealed in the Holy Quran and Hadith (The Creation of Man between Medicine and the Quran). Bahwa kelahiran manusia ke alam dunia yang fana dan tidak abadi ini lewat lewat perantara bertemunya sel laki-laki (sperma) dari seorang suami dengan sel telur (ovum) dari seorang istri yang telah sah menurut hukum syariah. Dikatakan bahwa dari tumpahan sel tersebut tidak kurang setiap orang/suami yang berejakulasi (memancarkan semen yang bermuatan sperma) mengeluarkan 100.000.000 – 200.000.000 sperma. Dari sekian juta sel tersebut yang berhasil membuahi sel telur sang istri hanya 1 (satu) sel sperma saja. Setelah sel sperma bersatu dengan sel telur (ovum) maka terjadilah proses pembelahan sel sesuai dengan prinsip deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128 dan seterusnya). Seperti diketahui, besarnya sel sperma itu tidak lebih dari 6 mikron (1 mikron = seperseribu millimeter) dan sel telur kurang lebih 120 mikron. Dalam waktu 9 bulan 10 hari, makhluk sekecil itu telah berubah menjadi seorang bayi yang panjangnya 0,5 (setengah) meter dan beratnya 3 (tiga) kilogram rata-rata. Allahu Akbar!
Sebagian ulama bersepakat pendapat bahwa pada usia 4 bulan (120) hari janin manusia yang masih berada dalam perut ibunya diberi kesempatan dialog dengan Allah SwT (Al-A’raf [7]: 172); wa asyhada-hum ‘alaa anfusihim alastu bi rabbikum qaaluu balaa syahidnaa (= dan Dia telah mengambil kesaksian terhadap diri/ruh mereka: “Bukankah Aku ini Tuhan Maha Pembimbingmu?”, lalu diri/ruh janin-janin tersebut menjawab: “Benar kami bersaksi”.Janin yang masih berusia 4 bulan tentu saja tidka menjawab secara lisan/lidahnya, melainkan lewat ruh yang ditiupkan ke dalam raganya. Ruh ini suci, sebab berasal dari Allah SwT (As-Sajdah [32]: 9) Ruh yang suci inilah yang harus dijaga kesuciannya selama nanti si bayi dilahirkan ke dalam dunia sampai saat ajal tiba.
Kemudian, lewat raganya manusia diberi kemampuan untuk menikmati isi dunia ini seluruhnya (Al-Baqarah [2]: 29). Dalam raga manusia itu diciptakan-Nya rangkaian syaraf yang meliputi 5 (lima) syaraf luar dan 5 (lima) syaraf dalam. Lima syaraf luar terdiri dari telinga 9alat pendengaran), mata (alat penglihatan), lidah (alat pencecap), hidung (alat pembau), dan kulit (alat perasa). Sedangkan lima syaraf dalam terdiri dari tenggorokan (alat perasa lega dari sebab kehausan), perut (alat perasa dari sebab kelaparan), dubur (anus) (alat perasa lega dari sebab menahan tumpukan feses/tinja), saluran kencing (alat perasa lega dari sebab menahan kumpulan air kencing dalam kandung kemih), dan kemaluan (alat perasa nikmat ketika orang berhubungan badan/seksual dengan lawan jenisnya). Kesepuluh syaraf tersebut pada intinya adalah sekedar alat (piranti, instrumen) agar manusia yang lahir ke dalam dunia ini dapat menikmati kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya.
Nah, ketika seorang manusia berhasil dilahirkan ke alam dunia, maka dari waktu ke waktu mulailah merasakan berbagai kenikmatan yang sangat banyak ini lewat sepuluh syaraf yang telah tersedia di atas. Manusia bisa menikmati indahnya warna lewat matanya,menimati kemerduan suara lewat telinganya, menikmati enaknya makanan lewat lidahnya, menikmati bau harus lewat hidungnya, menikmati halus atau empuknya sesuatu lewat kulitnya, menikmati hilangnya rasa haus lewat tenggorokannya, menikmati kelegaan buang air besar (BAB) lewat duburnya, menikmati kelegaan buang air kecil (BAK) lewat saluran kencingnya, dan menikmati kenikmatan orgasme lewat organ kemaluannya. Namun, tidak jarang yang justru terjebak oleh kubangan kenikmatan itu sendiri. Akibatnya kesepuluh syaraf tersebut berubah menjadi tujuan. Inilah yang disebut hawa nafsu.
Bagi orang beriman (Mukmin), ketika akan menikmati sesuatu di depannya, maka dia mengukur atau membatasi proses menikmati itu dengan minimal 2 (dua) hal. Pertama, tidak melakukannya secara berlebih-lebihan atau israaf (Al-A’raf [7]: 31). Jadi, menikmati sesuatu secukupnya saja. Contoh, kalau makan atau minum bukan “demi untuk kepuasan makan itu sendiri”, melainkan diniatkan untuk menjadi kesehatan. Kedua, niat untuk melakukannya dalam rangka tulus untuk mencari pahala yang bermanfaat untuk kehidupan pada hari kiamat, sebab nanti di akhirat orang Mukmin juga akan dikaruniai kenikmatan yang sama seperti itu, khaalishatan yauma-‘l-qiyaamati (Al-A’raf [7]: 32). Tegasnya, ketika menghadapi menikmati, orang berusaha keras untuk membatasi diri sendiri dengan cara meletakkan syaraf-syaraf kenikmatan itu tetap sebagai alat saja, bukan sebagai tujuan. Sebab, kalau sampai terjadi menjadi tujuan, maka akan gampang sekali syaraf-syaraf (yang berjumlah sepuluh itu) menguasai diri orang bersangkutan,, inilah yang disebut “mengikuti hawa nafsu”. Untuk itu, orang Mukmin secara terus-menerus melatih dirinya untuk membatasi diri sendiri ketika menghadapi kenikmatan ini, seperti kenikmatan ilmu, pangkat/jabatan, kekayaan, badan sehat, kemudaan, dan luang waktu. Mudah-mudahan kita termasuk kelompok kaum Mukmin yang berhasil menjadi penakluk hawa nafsu. Amin
Wallaahu a’lam bishshawaab