YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, mengatakan dengan tegas bahwa rakyat Indonesia harus menjadi pihak yang mampu menikmati dan disejahterakan dari melimpahnya hasil laut Indonesia. Oleh karenanya, langkah tegas penenggelaman kapal illegal fisher yang dilakukan oleh pemerintah menjadi deterrence effect yang diberikan kepada pihak yang mencoba mengeruk hasil laut Indonesia dengan cara-cara yang merugikan.
“Kita perlu kewibawaan, kita perlu deterrence effect agar mereka tidak lagi coba-coba lagi. Kemenangan sumberdaya laut menjadi hanya boleh dikelola oleh investasi dalam negeri ini adalah satu milestone. Karena ini adalah satu-satunya yang masih tersisa untuk kita nikmati. Tambang, minyak, batu bara, sudah tidak bisa lagi kita miliki karena sudah banyak dibeli oleh PMA. ” tukas Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, dalam acara Seminar Nasional Kewirausahaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu (06/05).
Langkah tersebut menurut Susi menjadi upaya yang spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi problem illegal fishing. Pasalnya, kondisi laut tentunya tidak bisa disamakan dengan daratan. Ditambah, perbatasan laut di Indonesia dengan negara lain yang jumlahnya 99,7% dibandingkan perbatasan yang berupa daratan.
“Laut tidak bisa dipagari, tidak bisa juga ditunggui terus menerus. Karena kalau hanya dengan pelelangan kapal saja, biasanya nanti akan dibeli lagi oleh oknum yang punya kapal. Dan bahkan akan dibeli dengan harga rendah. Bahkan kasus-kasus yang ada di pengadilan saja sampai sekarang tidak selesai,” jelas Susi.
Masyarakat awam banyak menilai bahwa penenggelaman kapal hanya berkaitan dengan illegal fishing atau pengambilan kapal secara illegal oleh asing. Namun, di sisi lain penenggelaman kapal ternyata juga menjadi tindakan tegas dalam merespon aksi-aksi ilegal lainnya selain selain yang behubungan langsung dengan sumberdaya Ikan Indonesia. Banyak kalangan pun masih melihak sebelah mata tentang penenggelaman kapal-kapal illegal yang dilakukan pemerintah.
“Kapal ditenggelamkan karena kapal tersebut merupakan kapal milik asing yang melakukan illegal fishing. Illegal fishing bukan hanya soal ikan saja, namun kapal-kapal asing tersebut biasanya juga mengambil satwa-satwa yang dilindungi. Seperti pada kasus kapal Hai FA, mereka tidak hanya mengambil ikan di perairan Indonesia dengan jumlah banyak saja, namun juga membawa burung kakaktua, kulit buaya, dan lain-lain yang mereka bawa dari Papua,” jelas Susi.
Di samping itu, illegal fishing ini pula yang menyebabkan turunnya jumlah rumah tangga nelayan yang ada di sejumlah daerah. Keberadaan oknum-oknum yang melakukan aksi tersebut juga membuat berbagai perusahaan perikanan dalam negeri yang akhirnya harus gulung tikar.
“Kenapa nelayan berkurang, karena mereka tidak bisa hidup sebagai nelayan. Nelayan itu sebuah wirausaha. Menurut saya mereka itu UMKM. Yang perusahaan perikanan juga bangkrut karena tidak ada raw materialnya,” kata Susi.
Banyaknya kapal asing yang masuk ke Indonesia salah satunya dipicu oleh Undang-Undang Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuka nasionalisasi bagi kapal-kapal nelayan asing. Di tahun 2004, Susi menyebutkan bahwa izin nasionalisasi kapal-kapal nelayan asing. Sayangnya ijin tersebut yang banyak disalahgunakan oleh nelayan asing.
“Mereka memiliki 10 kapal, yang ada surat ijinnya hanya 1, yang lainnya di fotokopi. Ini juga berimbas pada penurunan hasil laut di tahun tersebut hingga tahun 2013,” terang Susi.
Proses penenggelaman kapal juga disebut Susi sebagai proses yang panjang. “Masyarakat banyak yang bilang kalau orang bodoh saja juga mampu untuk menenggelamkan kapal. Tidak demikian, sebelum menenggelamkan kapal, kapal harus ditangkap dahulu. Penangkapan itu butuh satelit, informasi, data, pasukan, orang, dan tentunya juga kapal,” tutur Susi
Berbicara mengenai sumberdaya laut, Susi pun berharap seluruh pihak khususnya kalangan akademisi akan menjadi satu sentral atau think tank yang akan berperan dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. “Karena kita jika kita berdaulat kita bisa membuat apa saja dan merencanakan apa saja yang kita inginkan,” tandas Susi (Th/Deansa).