SURAKARTA, Suara Muhammadiyah- Belum padamnya kasus terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme di Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia dalam menangkal ideologi yang terbukti dapat merusak tatanan bangsa ini. Ideologi tersebut merupakan ideologi yang anti terhadap perbedaan dan menerapkan kekerasan.
Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdulah Darraz mengatakan bahwa munculnya hal-hal tersebut ditengarai karena disalahartikannya doktrin-doktrin dalam Islam oleh beberapa kalangan, seperti konsep jihad dan sistem kenegaraan. Menurutnya, sebagian kelompok memahami terorisme sebagai jalan berjihad untuk mewujudkan sistem kekhilafan Islam.
“Sebagian kelompok umat ini tidak segan-segan melakukan aksi-aksi kekerasan dan teror dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam tidak mengajarkan kekerasan dan teror tersebut,” ujarnya dalam acara bedah buku di Aula Gedung Siti Walidah, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), pada Jumat (5/5).
Kegiatan Bedah Buku berjudul “Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme” yang merupakan kumpulan tulisan para tokoh dan ulama Muhammadiyah ini digelar oleh DPD IMM Jawa Tengah bekerja sama dengan UMS dengan diikuti oleh 200 peserta. Tampil sebagai narasumber di antaranya Kapolda Jawa Tengah Condro Kirono, Perwakilan MUI Jawa Tengah Abu Rokhmat, serta Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz.
Darraz menegaskan bahwa untuk menyikapi hal-hal tersebut perlu ada kesadaran bersama untuk melawan ideologi yang merusak keharmonisan bangsa saat ini. kelompok teror, lanjutnya, jika dibedah akan merujuk pada satu ideologi yaitu anti perbedaan.
“Jika disentil oleh persoalan politis, pendukung ideologi ini akan mudah untuk tersulut. Ini bahaya paparan ideologi yang anti perbedaan, anti kebhinekaan dan ideologi-ideologi yang ada di belakang terorisme itu sendiri. Oleh karena itu, kalangan masyarakat sipil tidak boleh berdiam diri,” ungkapnya.
Lebih lanjut Darraz menyampaikan bahwa terdapat sejumlah faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan teror. Pertama, adanya faktor ideologis atau teologis. Menurutnya, faktor tersebut cukup dominan dalam melatarbelakangi hal ini. Kedua, ingin melakukan peperangan melawan syiah, dan ketiga yakni faktor sosio ekonomi. “Faktor sosio ekonomi juga bisa berpengaruh. Ada ketidakadilan struktural yang umat Islam alami saat ini dan situasi ketidakadilan global,” imbuhnya.
Senada dengan hal tersebut, Kapolda Jawa Tengah, Condro Kirono mengatakan bahwa penanganan deradikalisasi harus dengan pendekatan sosial, ekonomi, dan pendekatan penyadaran narasi oleh tokoh-tokoh agama.
“Para pelaku teror harus dibantu dalam proses reintegrasi di masyarakat. Tokoh ulama, aparat negara, serta sekolah dan perguruan tinggi. Kurikulum pendidikan bisa ditambahkan dengan konten-konten kontra narasi termasuk dengan merujuk pada buku Maarif Institute sebagai referensi,” ujarnya.
Sementara itu, Perwakilan MUI Jawa Tengah Abu Rokhmat menyambut baik adanya buku Maarif Institue tersebut. Menurutnya, buku tersebut menunjukkan kekeliruan pemahaman para pendukung khilafah dengan narasi-narasinya. “Tujuan mereka politik, yaitu khilafah. Maka perlu diluruskan narasi mereka, harus disikapi dengan menggunakan semua instrumen termasuk cara-cara politik,” tuturnya.
Ketua Penyelenggara, Saefudin Zuhri menambahkan, kegiatan bedah buku ini merupakan suatu upaya dalam memberikan pengertian agar tetap terjaga dari pengaruh ajaran radikalisme. “Dalam silaturahmi ini kita buktikan bahwa Islam yang moderat, Islam yang tidak terkait dengan ajaran radikalisme,” tandasnya (jia/ Yusri).