Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth., saya (29 tahun) ibu dari seorang putra. Sejak 6 bulan yang lalu menjadi janda. Proses perceraian kami tergolong cepat, karena suami melakukan KDRT. Usia suami 4 tahun lebih tua dari saya. Bila sedang cekcok dan saya tidak menuruti kehendaknya, dia berkata sangat kasar, melempar benda-benda yang ada didekatnya, memukul, menendang bahkan mencekik saya. Banyak luka lebam di tubuh saya. Tapi saya menutup rapat masalah ini.
Sering ia mengaiaya saya di depan anak saya. Sampai Putra berkata: “Ayah jangan marah sama ibu.” Suami sering melakukan kekerasan karena sering melihat orang tuanya melakukan hal yang sama. Bila tidak sedang emosi, dia minta maaf, mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan asal saya tidak melawan saat dia emosi. Herannya itu hanya berlaku pada saya, dengan putra ia bias sangat baik dan sabar.
Selama ini saya dengan putra tinggal bersama ibu saya. Putra bertemu dengan ayahnya 3-4 kali dalam sebulan dan sedih bila berpisah. Ia suka bertanya kapan ayah dan ibunya hidup bersama seperti dulu. Kadang dalam sebulan kami sempatkan bermain. Saya bahagia, Bu. Rasanya negitu utuh hidup ini. Teringat pertanyaan putra tentang kapan bias hidup bersama, saya tidak bias apa-apa dan hanya menangis.
Ingin rasanya membahagiakan putra dengan member kesempatan sekali lagi pada suami, kalau bias. Tapi, keluarga saya menentang jika saya kembali, karena takut terjadi hal yang lebih parah. Mantan suami pantang mundur agar saya memaafkan kesalahannya dan bersedia berjanji di atas surat bersegel. Bersedia konsultasi ke psikiater untuk mengatasi masalahnya dan sebagainya.
Di satu sisi saya tidak mau menyakiti keluarga yang banyak memberi support, tetapi di sisi lain saya juga ingin membahagiakan putra, dengan memiliki keluarga utuh. Tolong beri saran saya, Bu, saya ingin semua berakhir dengan baik. Jazakumullah atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum wr wb.
N, somewhere.
Wa’alaikumsalam wr wb.
Ibu N yang baik, korban KDRT sering berada dalam keadaan hidup yang perubahan naik dan turunnya begitu cepat. Sebentar merasa melambung, karena suami terlihat sangat sayng, lembut, mencintai anak dan sabar, tetapi tiba-tiba serasa dibanting ke bumi untuk alasan yang kadang sepele. Dia meradang, memaki bahkan memukul dan menampar. Misalnya sedang memasak di dapur, dipanggil suami yang sedang menonton TV untuk mengambilkan minum. Anda jawab, “ Sebentar, baru nanggung.” Ia kemudian bias menuju dapur dan menjambak atau memukul sambil mengata-ngatai Anda sebagai istri tidak menurut pada suami. Padahal ia sedang santai, tidak sibuk.
Lebih jauh lagi, bila pelaku KDRT tidak memperbaiki diri, sehingga frekuensi perilaku KDRT makin meningkat bila ia sedang kecewa, sedang ada masalah di kantor atau ia sedang sakit badan. Ini berarti makin tak bias diduga kapan dan apa yang menyebabkan dia meledak dan akhirnya menganiaya istrinya. Lingkaran kekerasan yang dilakukan pelaku KDRT membuatnya seolah berada dalam siklus yang berurutan. Mula-mula merasa tidak nyaman lalu marah dan menjadi marah besar, berkata kasar dan memukul. Lalu berubah drastic menjadi manis sekali, minta maaf dan berjanji akan berubah, bahkan menangia tersedu-sedu. Lalu hidup berjalan kembali sampai ada masalah dan terjadi lagi tahapan-tahapan seperti yang lalu.
Pelaku KDRT kebanyakan sulit berubah menjadi suami yang bias mengendalikan diri saat ia merasa sedang tidak nyaman dengan dirinya. Apalagi bila KDRT itu buah dari apa yang ia dari cara ayahnya memperlakukan ibunya. Atau ketika sebagai anak di usia dini, ia tidak memperoleh cukup kasih saying dari orang tuanya untuk membuatnya yakin bahwa ia cukup berharga untuk dicintai. Sehingga konsep dirinya pun buruk. Di lubuk hatinya tak pernah percaya bahwa istrinya mencintai dirinya dengan tulus. Yang ia yakini, tidak ada hal positif dalam dirinya yang patut dibanggakan. Karena rasa benci pada dirinya itu ia lampiaskan perasaan negative ini pada istrinya. Ia lalu percaya bahwa kalau ia tidak keras maka kelak istrinya akan melawan bahkan meninggalkan dirinya. Maka saat istrinya tak sependapat dengannya, akan menyulut rasa takut kehilangan dan memicu kemarahan yang akhirnya tidak bias ia kendalikan.
Maka marilah jalani hidup Anda dengan lebih tegar menatap masa depan. Untuk itu mantapkan dulu diri bahwa keputusan untuk bercerai yang sudah membuahkan hasil adalah hal terbaik yang telah Anda lakukan untuk diri dan putra. Dengan melepaskan diri darinya, peluang Anda untuk memperoleh kehidupan lebih baik terbuka lebar. Berbagi cinta dengan orang-orang yang Anda kasihi dan mengasihi Anda tanpa rasa takut dan sakit. Anda juga telah membari suasana yang lebih kondusif bagi perkembangan jiwa putra. Bias saja di usia putra kini ia menyayanginya. Bagaimana saat ia masuk usia menentang? Atau saat ia masuk tahap usia pubertas?
Tentu saja Anda tidak berdosa pada putra, maka berhentilah memakainya sebagai alasan sebagai pembenaran rasa ragu-ragu Anda untuk kembali atau tidak. Maaf kalau saya dirasa agak keras, saya hanya ingin lugas, agar Anda tidak melakukan kebodohan dengan kembali padanya. Dia mau membuat surat bersegel? Menurut pengalaman, yang berjanji di depan polisi saja, tidak sampai sebulan kemudian dengan enteng ia mengulangi lagi perbuatannya yang lebih parah.
Di saat-saat seperti ini, Anda butuh penegasan untuk merasa sreg dengan status sekarang. Jangan izinkan diri Anda untuk merasa sebagai bagian dari keluarga yang dulu. Hubungan ayah dan anak tidak bias diubah, tetapi ketika Anda bercerai dengan ayahnya, ia adalah sosok di masa lalu Anda. Dengan memutus komunikasi dengannya. Anda dan dia tak berpeluang untuk menambah pengalaman yang seolah-olah positif , padahal semu. Bila Anda sudah nyaman dengan status sekarang, barulah Anda coba bertemu. Itupun harus dengan tujuan jelas.
Perbanyak mohon ampun pada Allah dan mohonlah kekuatan untuk dapat menjalani hidup yang lebih baik. Semoga Allah melindungi dan merahmati keluarga kiita. Amin.