YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015, Din Syamsuddin menyatakan bahwa di antara spirit ajaran Islam adalah membangun persaudaraan dengan semua. Ajaran-ajaran kemanusiaan yang diusung oleh Islam dan agama serta etnis lainnya banyak menemukan titik persamaan. Termasuk antara Islam dan Tionghoa atau Cina.
“Sebenarnya dalam pembacaan saya dalam sejarah Islam, Islam ini dekat sekali dengan bangsa Tionghoa, di dalamnya seperti kita juga banyak suku-suku. Jika kita mengaca pada ajaran Konfusius, Islam dekat sekali,” tuturnya.
Konfusiusme merupakan ajaran mementingkan akhlak mulia dalam menjaga hubungan antara yang di langit dengan yang di bumi. Hal ini sesuai dengan visi besar Islam dan terlebih lagi Muhammadiyah. “Ini sangat dekat dengan ajaran al-Maun dalam Muhammadiyah,” kata Din. “Islam sangat dekat dengan Cina. Dan Cina sangat dekat dengan Islam,” tambahnya.
Tionghoa, kata Din, berdaya dalam bidang ekonomi salah satu sebabnya adalah karena etos Konfusiusme. Dengan etos Konfusiusme yang mengedepankan kerja keras, kedisplinan, penghematan waktu, keuletan mampu membangkitkan Asia Timur. “Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik yang dari segi kuantitas termasuk besar,” kata Din.
Menurut Din, ada proses panjang perjalanan Tionghoa di Indonesia. Genre etnik Tionghoa yang datang ke Indonesia banyak yang datang dari propinsi selatan atau pesisir. Namun seiring waktu, etnis Tionghoa di Indonesia semakin membaur. “Dalam era globalisasi, semua menjadi bersama dan berbaur. Tidak relevan lagi ada istilah pribumi dan non pribumi,” katanya
Peran serta Muhammadiyah dalam mendorong asimilisasi ini termasuk sangat besar. “Salah satu tokohnya Yunus Yahya,” katanya. Ide-ide Yunus Yahya, kata Din, didukung oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan organisasi Muhammadiyah seperti Lukman Harun.
Dalam kesempatan ini, Din juga menekankan pentingnya membangun rajutan keberagaman yang otentik. “Kita hidup bersama. Kalau ada masalah tidak bisa dikaitkan dengan etnik, dengan agama. Dalam merajut keberagamaan dan kebersamaan, tidak bisa digeneralisasi. Harus ada wawasan inklusif dan jangan ada generalisasi,” paparnya.
“Kita harus kedepankan dialog yang dialogis. Bukan monolog. Dialog yang mengedepankan ketulusan dalam bingkai persaudaraan. Terbuka ketika menghadapi masalah. Keterusterangan. Dan menyelesaikan masalah,” tutur Din.
Selain itu, kata Din, juga perlu membangun kehidupan yang adil dan setara. “Jangan ada kelompok yang mendominasi ekonomi, agama,” katanya. Termasuk juga tidak memasuki wilayah keyakinan orang lain. “Dari siapa pun dan lingkarang mana pun termasuk dari kalangan muslim tidak boleh masuk keyakinan orang lain. Tidak boleh menghina agama dan suku lain,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, Din menyambut baik pelaksanaan Simposium Internasional bertajuk ‘Genre Sosial-Budaya Muslim Tionghoa di Indonesia’ di Inna Garuda Hotel, Rabu, 10 Mei 2017. “Seminar ini sangat penting dan tepat waktu, dan lebih penting ada tindak lanjut,” katanya.
Tepat waktu, kata Din, karena bangsa Indonesia berada dalam satu suasana kebangsaan yang menampilkan adanya ketegangan yang cukup kuat dan menimbulkan sentimen antar kelompok. Situasi ini kata Din, harus diselesaikan dengan mengedepankan wawasan inklusif.
“Memasukkan semuanya ke dalam kesadaran kebangsaan kita atas bangsa Indonesia yang majemuk. Menegaskan bahwa semuanya adalah bagian dari yang sama-sama memiliki posisi. Termasuk etnik Tionghoa,” urai Din. (Ribas)