YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif, mengapresiasi pelaksanaan Simposium Internasional bertajuk ‘Genre Sosial-Budaya Muslim Tionghoa di Indonesia’. Acara yang digagas Suara Muhammadiyah ini resmi dibuka oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Rabu (10/5) di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
“Acara ini penting karena kita berada dalam sebuah situasi yang kurang nyaman,” tutur Buya Syafii. Menurutnya, tidak hanya di Indonesia, dalam konteks dunia global, dunia sedang menghadapi suasana kurang kondusif.
Ekstrimisme dan gelombang deglobalisasi tumbuh subur di banyak negara. Tidak hanya ada di dalam agama atau negara tertentu saja. Tetapi menyebar di banyak kelompok. Amerika Serikat pasca terpilihnya Donald Trump, kata Buya Syafii, membawa kabar tidak baik.
Di tengah situasi ketidaknyamanan itu, kata Buya Syafii, ada pihak tertentu yang mencoba memaksakan kebenaran tunggal. Buya mengajak untuk merenungi QS Yunus: 99. Ayatnya, “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman.” Dalam ayat itu, kata Buya Syafii, menjadi isyarat dari Tuhan supaya manusia tidak memaksakan kebenaran tunggal.
Lebih jauh, Buya membeberkan bahwa jika ditelisik lebih jauh, maka akar dari semua konflik yang terjadi akhir-akhir ini bermuara pada satu sebab yang sama. “Kalau kita cari akarnya itu ketimpangan. Ketidakadilan terjadi di mana-mana di seluruh dunia,” katanya.
Oleh karena itu, Buya Syafii mengingatkan supaya siapa pun mau untuk saling belajar dan hidup bersama. “Mengapa uang itu jinak kepada kelompok tertentu dan liar kepada kelompok yang lain. Karena yang mayoritas ini tidak mau belajar kepada yang minoritas,” tuturnya.
Menurutnya, agama apapun memiliki titik temu yang sama dalam hal kemanusiaan. Banyak kasus-kasus ketika agama tidak terbatasi dalam kemanusiaan. “Kemanusiaan itu besar. Sebagaimana kata Mahatma Ghandi; My nationalism is humanity,” kata Buya Syafii.
Supaya kemanusiaan menjadi titik temu semua agama, maka semua pihak harus mau bersikap jujur, tulus, dan saling berdialog. “Harus ada sikap yang jujur. Umumnya politisi kita ini tidak mau naik kelas menjadi negarawan. Mereka oportunitis yang dipikirkan hanya pilkada, pileg, pilpres. Tidak berpikir jangka panjang,” urainya. Sikap opportunistic, katanya, akan membawa bangsa ini pada kehancuran. (Ribas)