JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pelaksanaan ibadah mahdlah, bagi Muhammadiyah, termasuk dalam wilayah purifikasi. Dalam wilayah ini, selalu dilakukan kajian dan penelitian secara mendalam dan berkelanjutan. Salah satunya terkait dengan penetapan waktu pelaksanaan ibadah-ibadah mahdlah seperti shalat dan puasa, Muhammadiyah menggunakan ukuran dan standar yang paling mendekati akurat, dengan pertimbangan teknologi paling mutakhir.
Dalam hal penetapan waktu shalat subuh, hasil kajian beberapa pakar dan ilmuwan menunjukkan fakta yang tidak sesuai dengan yang umum digunakan selama ini. Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah Prof Tono Saksono menegaskan bahwa waktu masuknya awal Shalat Subuh yang digunakan di Indonesia selama ini terlalu dini 20 hingga 30 menit dari seharusnya sehingga perlu dikoreksi.
“Ini hasil riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur kecerlangan benda langit,” kata Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu dalam Seminar Evaluasi Awal Waktu Shalat Subuh Menurut Sains dan Fikih di Jakarta, Selasa (9/5).
Selama ini, kata Tono, fajar dianggap telah terbit saat matahari pada posisi sudut depresi 20 derajat di bawah ufuk yang setara dengan 80 menit sebelum matahari terbit. Padahal, menurutnya, dari hasil observasi sementara, fajar dimulainya Shalat Subuh bagi umat Islam Indonesia baru terjadi saat sudut depresi matahari pada kisaran 11 hingga 15 derajat di bawah ufuk atau bila dikonversi dalam domain waktu setara dengan 44 sampai dengan 60 menit sebelum matahari terbit.
“Tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa sinar fajar sebagai tanda awal subuh telah muncul saat matahari berada pada sudut depresi 20 derajat,” kata Tono sebagaimana dikutip Antara. Penentuan 20 derajat di bawah ufuk merupakan keputusan ulama Melayu di masa lalu untuk menentukan awal masuknya waktu Shalat Subuh dan dimulainya puasa, termasuk digunakan pula oleh ulama Malaysia.
“Tapi, zaman dulu memang belum ada peralatan secanggih saat ini, dan masih mengandalkan pengamatan dengan mata telanjang, jadi wajar jika tidak akurat,” katanya. Oleh karena itu, seiring zaman, maka sudah semestinya umat Islam beralih dengan ditemukannya fakta ini.
Senada, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin mengatakan penggunaan standar 20 derajat di bawah ufuk itu memang sudah waktunya dikoreksi, namun perlu pengamatan dari lokasi yang gangguan atmosfernya minimal sehingga tidak akan mendistorsi hasil data yang diperoleh.
Menurut Thomas yang menjadi salah satu pembicara dalam acara itu, ketetapan minus 20 derajat tersebut tampaknya diperoleh ulama masa lalu dari standar yang digunakan di Mesir 19,5 derajat atau dari Saudi 18 derajat di bawah ufuk, padahal posisi negara-negara tersebut ada di lintang tinggi, dan Indonesia di khatulistiwa.
Sementara itu, Wakil Rektor Uhamka Zamah Sari mengatakan bahwa untuk mengoreksi standar yang digunakan selama ini masih membutuhkan pengujian lanjutan baik dari sisi astronomi juga dari pemahaman fikih. “Masih perlu waktu panjang, seperti kesepakatan organisasi Islam lainnya, lalu kemudian diserahkan kepada Majelis Ulama Indonesia untuk dibuatkan fatwanya,” kata tokoh Muhammadiyah itu.
Temuan itu disambut positif Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Sirril Wafa. Menurutnya, NU siap membuka peluang untuk berubah dan mengusulkan perlunya kerja sama riset terkait astronomi antara NU, Muhammadiyah, MUI, Lapan dan lainnya. (Ribas)