Oleh: Imam Shamsi Ali*
Pagi kemarin saya mendapat telpon dari Robert Silverman, Director of Muslim-Jewish relations at AJC (American Jewsih Comittee). Mr. Silverman menyampaikan agar saya baiknya istirahat saja dari posisi saya sebagai anggota Muslim-Jewish Council yang dibentuk oleh AJC beberapa bulan lalu.
Posisi saya sebagai anggota di Muslim-Jewish Council AJC ini hanya satu dari sekian banyak keanggotaan saya di berbagai organisasi lintas agama di Amerika Serikat. Saya juga adalah penasehat pada the Tanenbaum Center, Federation for Middle East Peace, Clergy International, dan seabrek organisasi lintas agama lainnya. Sehingga sejujurnya posisi saya pada berbagai organisasi itu tidak lebih sebagai simbol perakilan saja. Toh saya sendiri terkadang tidak terlalu paham kenapa saya diminta duduk dalam berbagai organisasi itu.
Sebagai mantan diplomat, Mr. Silverman menyampaikan pesannya dengan bahasa diplomasi. Dan dalam posisi saya yang juga berdekatan dengan tugas-tugas diplomasi paham betul apa yang dimaksud. Yaitu meminta saya untuk mundur dari posisi saya sebagai anggota di council itu.
Saya tidak terkejut apalagi bersedih dengan permintaan itu. Saya hanya menyayangkan dua hal: satu, meminta saya mundur karena tuduhan anti non Muslim, yang didasarkan kepada tulisan-tulisan saya di media sosial. Termasuk di dalamnya tentang hiruk pikuk proses demokrasi dan pilkada Jakarta baru-baru ini.
Tapi yang kedua, dan ini yang saya sayangkan, menurutnya ada tulisan saya yang pernah saya tulis di tahun 2015 dianggap anti Yahudi. Saya terkejut dengan tuduhan itu. Karena sejak saya memulai dialog saya dengan komunitas Yahudi, prioritas kerja-kerja interfaith saya adalah membangun komunikasi dan kerjasama dengan komunitas ini. Jadi rasanya dengan tuduhan itu upaya-upaya saya itu sia-sia.
Saya sebenarnya mendesak Mr. Silverman untuk menunjukkan kepada saya tulisan-tulisan yang dianggap “anti minoritas”, khususnya anti Yahudi. Tapi jawaban yang saya dapatkan hanya “there are many on your facebook”. Saya semakin bingun karena semua tulisan saya itu tidak pernah menyerang golongan, baik agama maupun ras. Bahkan di tulisan terakhir saya menegaskan bahwa jika ada di kalangan umat Islam melakukan protes karena agama dan ras orang lain, saya akan berada di garis terdepan untuk mengingatkan dan menentangnya.
Mungkin yang paling membingunkan saya adalah realita paradoks ini. Saya bangga hidup di Amerika karena banyak hal. Salah satunya adalah bahwa di negara ini semua orang punya hak untuk menyampaikan opini dan bebas mengekspresikan opini mereka di masyarakat. Tapi di sini saya menemukan organisasi yang meminta saya mundur karena opini pribadi. Toh di saat saya menyampaikan sebuah opini itu di masa lalu, itu adalah opini pribadi yang tidak mewakili institusi.
Dan mungkin yang sedikit mengganggu adalah ketika Mr. Silverman mengambil kesimpulan tanpa pernah melakukan klarifikasi dengan saya sendiri. Oleh karena tulisan-tulisan saya semuanya berbahasa Indonesia, maka saya yakin ada orang-orang Indonesia (entah siapa) yang memberikan terjemahan dan/atau interpretasi terhadap tulisan itu. Mungkin di sinilah terjadi kesalah pahaman, baik disengaja ataupun tidak disengaja.
Seharusnya Mr. Silverman ketika menemukan atau mendapatkan informasi mengenai tulisan yang menimbulkan pertanyaan, disampaikan ke saya dan diminta penjelasan atau klarifikasi. Saya yakin ini adalah sikap yang elegan, sekaligus fair kepada saya sebagai penulis. Sayangnya kesimpulan itu diambil secara sepihak tanpa klarifikasi ke saya sebagai penulis.
Satu hal yang pasti adalah bahwa hal ini mesti terjadi karena efek tulisan-tulisan saya tentang pilkada dan Ahok. Walaupun dengan sangat jelas dan tegas saya sampaikan bahwa saya memiliki pilihan bukan karena anti kepada agama dan/atau ras tertentu. Tapi murni karena “ijtihad” atau opini pribadi berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Tapi itu sudah berlalu. Yang ingin saya katakan adalah betapa dampak pilkada DKI kali ini menembus batas benua. Hiruk pikuk pilkada Jakarta juga menjadi hiruk pikuk berbagai kalangan di Amerika, bahkan di Eropa.
Yang menggelitik juga adalah betapa toleransi tidak malu-malu untuk sekedar diukur dengan ukuran keperbihakan kepada kandidat tertentu. Jika anda tidak memihak kepada kandidat itu maka toleransi anda dipertanyakan. Anda tidak luwes, tidak tahu bergaul, ekstrim atau mendukung kaum radikal, bahkan boleh jadi anda dituduh radikal. Ukuran tolerasi bagi saya seperti ini adalah lucu dan menggelikan.
Dialog dengan Komunitas Yahudi
Dari sekian banyak kelompok dialog Muslim-Yahudi saat ini, barangkali tidaklah berlebihan jika saya katakan hampir semua itu merupakan perpanjangan dari inisiasi yang kami mulai di penghujung tahun 2005 yang lalu. Di tahun itulah kami memulai mengadakan dialog antara komunitas Muslim dan Yahudi dengan diselenggarakannya pertemuan tingkat tinggi para Imam dan Rabi se Amerika Utara.
Sejak pertemuan itu gelombang dialog membesar dan dilakukan tidak saja di Amerika Utara. Tapi merambah juga ke negara-negara Eropa. Tiga tahun lalu bahkan program “Twinning” (pertemuan Yahudi-Muslim) yang kita mulai dari New York di tahun 2007 menjalar hingga ke Australia, New Zealand dan Afrika Selatan. Bahkan untuk pertama kalinya tahun 2015 lalu, juga di Tunisia diadakan dialog resmi Muslim dan Yahudi.
Sejujurnya saya katakan hasil pertama dari dialog itu adalah saya sendiri. Melalui dalog itu saya melakukan transformasi diri dari seseorang yang penuh ketakutan dan kecurigaan, kepada kepribadian yang mencoba membangun pandangan positif kepada masyarakat Yahudi. Dan dengan dialog itu pula saya menjadi saksi betapa banyak teman-teman Yahudi, bahkan dari kalangan pemimpinnya berubah pandangan terhadap komunitas Muslim.
Singkatnya saya merasakan perubahan positif, baik di kalangan komunitas Muslim maupun Yahudi karena dialog yang kita lakukan. Tentu tanpa mengingkari adanya perbedaan-perbedaan yang masih mengganggu hubungan kedua komunitas, khususnya dalam masalah konflik Palestina dan Israel.
Sungguh memang tidak mudah menjalani dialog ini. Apalagi sensitifitas hubungan kedua komunitas ini kerap kali terbangun oleh hiruk pikuk dan tensi konflik Timur Tengah. Sehingga terus terang saja, saya menghadapi tantangan dari dua arah.
Di satu sisi harus diakui teman-teman Yahudi tidak begitu mudah percaya dengan i’tikad baik saya. Karena bagaimanapun juga memang ada interpretasi teks-teks agama yang cenderung melihat jika komunitas yahudi adalah musuh abadi umat Islam. Tentu juga karena faktor media yang lebih sering menyesatkan.
Di sisi lain, betapa seringkali saya mendengarkan jika di luar sana, masih ada saudara-saudara seiman saya yang curiga jika saya ini tidak peduli dengan ajaran Islam. Saya dianggap terlalu kompromise, bahkan liberal dalam memahami teks-teks agama khususnya yang berkenaan dengan komunita Yahudi. Barangkali salah satu contoh terdepan adalah ketika saya harus meninggalkan Islamic Cultural Center of New York. Saya melakukan itu karena Ketua Dewan Pengurusnya, Dubes Kuwait untuk PBB, menyatajan bahwa membangun hubungan dengan Yahudi adalah pengkhianatan.
Perlu saya jelaskan bahwa hanya ada satu di benak saya sehingga saya memiliki keberanian dan motivasi dalam menghadapi dan merintangi berbagai aral dan rintangan itu: rekonsiliasi dan perdamaian lewat dialog dan kerjasama.
Dan itu telah kita buktikan pada tingkatan-tingkatan tertentu. Mungkin salah satu kerja fenomenal yang kami lakukan di jalan dialog ini adalah menulis buku bersama teman dan partner saya dalam dialog, Rabbi Marc Schneier, dengan judul: Anak-Anak Ibrahim.
Rasanya saya tidak perlu menceritakan segala hal yang telah kita lakukan, dan apa saja hasil positif yang telah kedua komunitas ini dapatkan. Hanya saja dengan sikap dan respon dari AJC melalui direktur hubungan Muslim-Yahudinya itu sangat saya sayangkan.
Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa ini tidak akan mengurangi komitmen saya untuk terus membangun komunikasi dan dialog dengan komunitas Yahudi, demi terwujudnya dunia yang lebih aman dan damai.
Terus terang, saya diminta untuk duduk di council itu hanya lewat percakapan antara saya dan Mr. Silverman ketika saya menjadi pembicara di sebuah acara di salah satu synagogue di kota New York. Saya pun menerima permintaan itu karena saya merasa memang penting kedua komunitas ini membangun komunikasi untuk mengurangi kesalah pahaman yang luar biasa itu.
Artinya duduk di council ini sama sekali tidak disengaja dan bukan prioritas. Sehingga selama council berdiri saya baru ikut dua kali pertemuan. Sekali di Washington DC dan sekali lagi di kota New York. Itupun pertemuan yang membosankan, dan saya tidak pernah sama sekali menyampaikan pendapat apapun dalam pertemuan itu. Karena merasa pertemuan itu hanya seremonial dan basa basi.
Oleh karenanya saya menyampaikan terima kasih atas kehormatan dan kesempatan yang telah diberikan kepada saya sebagai anggota Muslim-Jewish Council di AJC. Tapi di sisi lain saya sangat terusik dengan sikap Mr. Silverman yang tidak fair dalam menyikapi berbagai opini yang telah saya sampaikan melalui tulisan-tulisan saya terdahulu.
Akhirnya saya kembali tersadarkan betapa dahsyatnya efek pilkada Jakarta ini. Sampai-sampai sebuah organisasi tua dan besar di Amerika ikut terusik karena pilihan sikap yang saya ambil dalam pilkada lalu. Saya hanya kembali curiga, jangan-jangan kata toleransi itu sudah dipasok dari sananya sebagai dukungan kepada pihak “tertentu” saja. Dan bukan untuk yang lain. Untuk dianggap toleran anda harus mendukung kelompok tertentu. Jika tidak, maka bersiap-siaplah dituduh intoleran.
New York, 10 Mei 2017
—————————————————–
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation