Oleh: David Efendi*
Islam yang tidak mampu terlibat dalam penyelesaian urusan-urusan kemanusiaan dan lingkungan adalah bukan islam yang sebenar-benarnya. Analogi ini saya kutipkan dengan versi sedikit berbeda dari Prof Syafii Maarif dalam pengantar buku Syarifuddin Zuhri, Dinamika Poltik Muhammadiyah. Kalimat ini menjadi mendesak didiskusikan untuk meyakinkan pada mayoritas pemeluk Islam agar tidak tercerabut dari isu-isu ekologi dan lingkungan hidup manusiai. Sebaliknya, keterlibatan dan kesungguhan untuk masuk dan berjibagu dalam mengawal kedaulatan ekologi merupakan kekuatan teologi yang paling praksis untuk menjaga nalar tauhid sosial-ekologi. Karenanya, kita mencoba mendiskusikan beragam terma progresif dalam pergerakan Muhammadiyah seperti, gerakan sosial islam (Qodir, ), Islam ekologis (Sandiah, 2016), islam hijau (Efendi, 2015) atau agama hijau (Matin, 2009), kanan-hijau, teokologi, kanan ekologis, konstitusi hijau, dan lain sebagainya. Tidak dimaksudkan untuk ‘festival’ intelektualisme namun untuk memperkuat praksis gerakan ekologi-sosial di tangan kaum beriman.
Salah satu bentuk wajah islam progresif di Muhammadiyah abad kedua adalah keterlibatan Muhammadiyah dalam berbagai isu krisis ekologi baik di level daerah, nasional, maupun global. Jika di abad pembaharuan pada level penolakan terhadap kejumudan cara berislam, di abad kedua ini gerakan Muhammadiyah menyasar pada praksis advokasi terhadap alam yang tak terpisahkan dari kebaradaan manusia itu sendiri. Hal ini pertama dimulai dari langkah jihad konstitusi dan kedua gerakan praksis oleh Pemuda Muhammadiyah. Untuk yang pertama, saya memahami jihad konstitusi sebagai terobosan baru yang [seharusnya] tidak terjebak dalam dikotomis antara kelompok antroposentrisme dan etika lingkungan. Gerakan ini telah memberikan warna bahwa islam hijau bukanlah imajinasi yang tak pernah ada di muka bumi. Tulisan ini akan memberikan jredit pada praktik dan idealitas kelompok islam yang berada dalam posisi keberpihakannya kepada ekologi dan segala sesuatu yang berada di dalamnya, bergantung pada keberlanjutannya.
Kedua, untuk melihat sepak terjang dan keberanian Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah memasuki ranah-ranah ‘gelap’ dunia advokasi politik dan juga melalui tekanan-tekanan politik terkait kasus sengketa ekologi yang melibatkan aktor-aktor politik sangat luas mulai dari elite pusat, lokal, organisasi keagamaan, NGO/LSM dan kelompok petani. Gerakan sosial ekologi oleh pemuda Muhammadiyah telah mengisi ruang gerakan di tubuh Muhammadiyah yangs elama ini kosong dan berhenti pada diskusi fikih air atau pada ranah judicial review oleh PP Muhammadiyah dibantu oleh think tank dari Majelis Hukum Ham dan para ahli di Perguruan tinggi Muhammadiyah. Advokasi politik Petani Kerawang dan Petani Kendeng merupakan dua site gerakan yang Pemuda Muhammadiyah cukup Nampak warna dan kejelasan posisinya. Hal ini sisi lain menjadikan Muhamamdiyah pusat maupun jawa tengah harus berhitung ulang untuk ‘simpati’ pada gubernur Jawa tengah. Atas dorongan PP pemuda Muhammadiyah juga, kelompok solidaritas Kendeng di Jogjakarta yang kecewa dengan kegiatan UMY yang mengundang Ganjar Pranowo dapat diterima oleh PP Muhammadiyah untuk menyampaikan aduannya.
Secara umum, gerakan sosial berpijak pada kumpulan individu yang bertindak secara sukarela untuk membuat perubahan. Selama ini, gerakan sosial lebih dilihat sebagai ‘power-oriented groups’ dari pada ‘participation-oriented movements’. Secara praktis, perubahan yang dikehendaki gerakan sosial adalah perubahan besar pada soal sosial politik. Namun demikian, struktur dan kultur demokratik mempengaruhi derajat sukses tidaknya gerakan sosial Social karena di sanalah perubahan sosial diterima atau ditolak. Gerakan sosial berbasis norma lebih sering ditemukan ketimbang berbasis nilai dalam mengupayakan perubahan sosial di dalam sistem (Morrison, 1971).
Melihat sepak terjang gerakan ‘pro-mustadafin’ dan keadilan sosial yang dimanifestasikan dalam jihad konstitusi juga jihad anti-korupsi dapat ditilik dari beragam basis teoritis yang menghampar mulai dari teori-teori gerakan sosial klasik maupun gerakan sosial modern. Teori klasik meliputi seperti teori tindakan kolektif (Sidney Tarrow, 1998) sebagai respon atau stimulus atas situasi tidak stabil, teori tindakan rasional seperti (Mancur Olson yang memetakan antara rasionalitas individu vs kelompok dengan mengkaji aspek benefit gerakan serta potensi kehadiran ‘free riders’ dalam perjuangan kepentingan. Selain itu, adalah teori perjuangan kelas (Marx dan angels) dimana gerakan-gerakan sosial itu adalah kelanjutan dan konsekuensi dari perjuangan kelas proletar menghadapi kelas borjuis. Soal ini, banyak dikritik dalam konteks munculnya kategorisasi-kategori atau model gerakan sosial baru yang kreatif, sederhana, dan bukan lagi persoalan gerakan kelas tertentu melawan kelas lainnya
Terdapat juga beberapa teori modern gerakan sosial cukup berkembang pesar dua dasawarsa terakhir ini seperti teori keluhan (Donatella Della Porta & Mario Diani), teori struktur kesempatan politik (McADam), teori struktur mobilisasi sumberdaya (Mccarthy) protes kelompok melebur dengan taktik dan bentuk organisasi gerakan, dan teori framing processs (Snow & Banford) yang menklaim bahwa gerakan sosial berhasil ketika memenangkan pertempuran arti (framing). Menurut Zald, pertempuran arti pada umumnya melalui opini publik berbagai media. Rasanya, teori-teori ini secara akademik cukup dapat bekerja menilai dinamika gerakan Muhammadiyah terkait isu-isu lingkungan akhir-akhir ini yang mulai dari gerakan jihad konstitusi sampai dengan keberpihakan Muhammadiyah atas korban-korban keserakahan pembangunan.
Ketersediaan amunisi teoritis ini di sisi lain akan mendorong berbagai kajian mengenai dimensi akademik gerakan sosial-ekologi ala Muhammadiyah atau kelompok kanan-moderat. Namun disisi lain, keterjebakan dan keterpakauan pada teori dapat menghampat praksis gerakan karena akan banyak waktu dan energy digunakan hanya eksplorasi kemungkinan-kemungkinan, peluang dan ancaman. Untuk mendiskusikan jihad konstitusi, tulisan ini akan lebih banyak mendiskusikan teori gerakan sosial yang meliputi mobilisasi sumber daya, kesempatan politik, dan framing. Ketiga teori ini dianggap cukup representative untuk mengambarkan dinamika gerakan sosial Muhammadiyah menghadapi beragam regulasi atau Undang-Undang yang tidak memiliki orientasi keadilan sosial dan ekologi serta bertabrakan dengan konstitusi yang lebih tinggi.
Mobilisasi Sumber Daya: Ideologi Keadilan dan Mesin Organisasi
Pendiri Muhammadiyah, KH Dahlan, sebagai Pembaharu yang ingin mendekatkan agama islam dengan kehidupan sosial keseharian. Agama adalah praksis sosial (Theologi Al-Maun) dan dimaknai sebagai islam Transformatif oleh Muslim Abdurrahman. Jika melihat Kekuatan Muhammadiyah dari sumber daya di dalamnya dan disekelilingnya dapat kita petakan bahwa sebagai gerakan sosial Muhammadiyah adalah raksasa (tidur?) karena di sini kita melihat beberapa potensi besarnya yaitu antara lain, dimensi Lokal-Nasional-Global, Islam-kebangsaan-Kemuhammadiyah, Organisasi yang relatif autonom (Kim Jun, 2010), Organisasi multi-wajah (Nakamura, 1983).
Dalam perspektif Islam, jihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan segala sesuatu. Jihad memiliki akar kata yang sama dengan ijtihad, yakni jahd. Hanya, istilah ijtihad berasal dari hadis, sedangkan jihad dari Alquran. Meski demikian, substansi jihad dan ijtihad adalah mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran (total endeavor) sehingga terwujud nilai-nilai ilahiah. Dari berbagai referensi dapat dipahami, jihad tidak harus dimaknai perjuangan fisik. Sebagai contoh, A.R. Sutan Mansur (Ketua Muhammadiyah periode 1952–1957)memaknai jihad dengan pengertian bekerja sepenuh hati. Makna itu sangat menarik karena jihad tidak dijelaskan dengan kata berperang, melainkan bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas (Biyanto, 2015). Perspektif Sutan Mansur ternyata begitu menginspirasi Muhammadiyah. Ajaran jihad diejawantahkan dalam bentuk gerakan sosial-ekologi untuk memperbaiki kondisi bangsa. Ibarat jarum jam, Muhammadiyah terus bergerak guna melahirkan amal-amal sosial yang bermanfaat bagi umat. Hal ini dapat dengan mudah dimengerti lantaran respon Muhammadiyah selama ini sudah terlihat dalam praksis sosial (a faith with action), Muhammadiyah telah berkarya dengan mendirikan berbagai infrastruktur pembangunana manusia seperti lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, serta lembaga perekonomian ummat.
Ilustrasi diatas penting untuk memperlihatkan bahwa teologi dan ideologi merupakan sumberdaya gerakan sosial yang sangat penting khususnya dalam gerakan Muhammadiyah yang selama ini berhasil disemai dan telah terbukti memiliki daya tahan yang sangat prima. Tentu saja, hal itu juga didukung oleh kekuatan pengetahuan kelompok, dukungan finansial, dan juga militansi individual.
Sedikit berbeda dengan mobilisasi sumberdaya ala jihad konstitusi, Pemuda Muhammadiyah juga sangat berhasil melakukan pemberdayaan kemampuan/kemandirian dan resources yang tersedia seperti kebaradaan PP Muhammadiyah dan segala fasilitasnya, media massa, organisasi pemuda lainnya, dan membangun kemitraan dengan NGO nasional maupun lokal. Misalnya, dalam isu reklamasi teluk Jakarta pemuda Muhammadiyah sangat piawai menggandeng banyak kalangan termasuk menyasar isu-isu korupsi dalam sengketa ekologi. Keberanian ini menjadi sangat relevan untuk mendorong gerakan sosial ekologi yang keberlanjutan. Beberapa daerah, pemuda Muhammadiyah juga mulai cukup concern masuk dalam dunia advokasi lingkungan seperti Pemuda Muhammadiyah DIY.
Kesempatan Politik: Politik Harapan dan Creative Diplomacy
Teori ini penting untuk memperlihatkan dua sisi, pertama keadaan yang kacau di era demokrasi, dan juga ada harapan yang dapat dikejar untuk mewujudkan keadaan lebih baik. Konsekuensi demokrasi, adalah terbukannya ruang dialogis antara penguasa dan kelompok masyarakat sipil. Muhammadiyah tidak alergi dalam diplomasi bahkan banyak sekali kesempatan Muhamamdiyah bicara dengan elit penguasa. Pemuda Muhammadiyah juga tidak segan untuk menyampaikan masukkan kepada presiden terkait penyelesaian sengketa ekonomi politik yang dikhawatirkan akan berujung pada petani sebagai korban paling parah—menerima konsekuensi pembangunanisme (meminjam Bahasa Tania Li, will to improve) oleh negara + korporasi yang paling berat dan mematikan.
Beberapa regulasi yang digugat Muhammadiyah antara lain: UU Minyak dan Gas Bumi (UU No.22 tahun 2001): BP Migas dinilai sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan; UU kesehatan (UU No 4 Tahun 2009): pasal legalitas RS Swasta; UU Ormas (UU No.17 Tahun 2013): pasal2 birokratisasi organisasi; diskriminatif; UU Sumber Daya Air (UU No 6 Tahun 2004), berlaku UU 11 Tahun 1974 yang dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta dengan hasil batal total atau sebagian?. Masih ada delapan UU lagi yang akan menjadi sasaran gugatan Muhammadiyah yaitu UU No. 24 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar, UU No. 25 Tahun 2007 tentang dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Keberadaan gugatan ini dalam konteks kesempatan politik dan motif rasionalitas nilai adalah dapat dilihat dalam beberapa situasi yaitu sebagai konsekeunsi atas manifesto tafsir pembaharuan Muhammadiyah, karena situasi timpang (rakyat vs penguasa, relasi yang timpang) Mis: keadilan dan kesejahteraan (33 UUD 1945), dan model High politik/politik kebangsaan untuk meluruskan kiblat bangsa.
Framing dan Pertempuran Kreatif
Disadari atau tidak, Muhammadiyah dalam jihad konstitusi sangat bergantung pada kebijakan redaksional media meanstream dalam pembangunan opini di media sehingga framing gerakan jihad konstitusi sebagai gerakan yang mendesak kurang membumi bahkan di kalangan kader Muhammadiyah sendiri. Hadirnya infrastruktur media sosial dan media online belum banyak didayagunakan untuk memenangkan opini publik sementara perang makna banyak terjadi di arena media ketimbang arena ‘kenyataan’. Hal ini sekaligus memberikan penekanan bahwa sebuah gerakan sosial mutlak membutuhkan media yang gesit dan kreatif.
Selain itu, banyak orang menilai bahwa menguatnya isu jihad konstitusi di Muhammadiyah lebih disebabkan oleh faktor kepemimpinan/personal Dien Syamsuddin yang memang cukup menarik bagi media dan secara ‘genealogi politik’ atau posisi politik sangat kritis terhadap kebijakan pemerintahan SBY selama dua periode kekausaaan.
Dibandingkan dengan framing dalam jihad konstitusi yang terkesan elitis dan kaku, gerakan pro-keadilan ekologi oleh PP Pemuda Muhammadiyah relatif lebih gesit dan kreatif di dalam mendayagunakan beragam sumber daya mulai TV nasional, lokal, media cetak meanstream dan berbagai opini yang menjalar dari sosial media seperti twitter, Whastapp, facebook, dan sebagainya. Kreatifitas framing oleh pusat media PP Pemuda Muhammadiyah ini nampaknya perlu sekali mendapatkan apresiasi karena telah memperkuat dinamika gerakan lingkungan secara nasional. Pertempuran memang harus kreatif karena untuk mematakan mitos-mitos kesejahteraan yang diklaim oleh rezim negara-korporasi perlu tindakan tindakan yang terus menerus diperbaharui, dan nampaknya Muhammadiyah melalui pemuda Muhammadiyah telah menunjukkan dengan baik model-model gerakan ekologi yang kreatif untuk menghadang gejala menguatnya apa yang disebut oleh Joseph Schumpeter (1942) sebagai creative destruction.
Beberapa Catatan Akhir
Memilih jalur advokasi hukum dan politik populer adalah bentuk rasionalitas instrumental sekaligus nilai. Di Muhammadiyah kedua jalur dapat ditempuh karena sumberdayanya tercukupi untuk melakukannya—selain itu, ada bargaining position, kesempatan politik, dan struktur media yang dapat dikolaborasikan sedimikian rupa untuk mendorong kerja-kerja advokasi ekologi dan atau kemanusiaan secara lebih umum.
Untuk menjadikan jihad konstitusi dan gerakan ekologi dalam dimensi lebih luas dan keseharian (everyday politics) sebagai model gerakan sosial baru Muhammadiiyah mempersayaratkan beberapa hal antara lain. Pertama, gerakan jihad konstitusi ini harus keluar dari jebakan politik aliran dan ideologi sempit. Kedua, sebagai bagian dari kelompok kepentingan harus tidak bertumpuh pada will to power tetapi will to justice. Ketiga, tidak sebagai gerakan personal yang elitis tapi kolektif—membumi dan populer. Terakhir, tidak mengandalkan struktur lama, tetapi kreatif dalam pikiran dan tindakan.
__________________________________
*Penulis adalah Wakil ketua LHKP PW Muhammadiyah DIY