Oleh: Imam Shamsi Ali*
Sejujurnya semakin kita melibatkan diri dalam banyak hiruk pikuk dunia kita saat ini semakin pula membingunkan. Kalau bukan karena sebuah tujuan mulia, yaitu demi terwujudnya hubungan yang harmonis dan perdamaian di antara manusia boleh jadi sebagian di antara kita akan berpikir: “who cares and why care?”
Bagi saya melibatkan diri dengan berbagai upaya membangun dialog, demi terwujudnya saling memahami, mwnghormati bahkan kerjasama, tidak saja karena tuntutan sosial. Bukan hanya karena posisi saya sebagai minoritas yang hidup dalam tatanan masyarakat mayoritas non Muslim. Terlebih lagi di negara super power yang memang masih relatif belum paham tentang Islam.
Ada dua hal minimal yang menjadi pijakan saya dalam membangun dialog ini. Pertama, karena memang saya meyakini jika agama yang saya anut ini adalah agama yang mengedepankan dialog dan kerjasama di atas konflik dan permusuhan. Agama yang mengedepankan toleransi, saling memahami dan menghormati di atas pandangan sempit, saling mencurigai dan mengecilkan bahkan mengucilkan.
Berbagai ayat dalam Al-Quran, terutama tentang ayat “ta’aruf” (saling mengenal) dan “tanawwu'” (pluralitas) serta ayat yang mengakui esksitensi keyakinan orang lain kendatipun tidak menyetujuinya (lakum dinukum wa liya diin) serta ketauladanan kepada Rasulullah SAW menjadi acuan saya dalam membangun dialog itu.
Kedua, karena saya memahami betul bahwa dunia kita saat ini adalah dunia global. Dunia yang ditandai salah satunya oleh “interconnectedness” (saling tergantung antara satu dan lainnya). Dunia yang semakin kecil sehingga semua manusia sesungguhnya hidup di bawah atap yang sama. Bahwa dengan kemajuan sains dan tekonologi, khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi, hampir saja menjadikan pembatas di antara manusia tumbang. Dan karenanya manusia hanya punya satu pilihan, berdialog dan kerjasama. Atau saling menjauh, mencurigai dan membenci, lalu bermusuhan dan berperang.
Dalam dialog dan kerjasama sesungguhnya diperlukan “mutualitas” (mutuality). Artinya jika anda ingin dikenal maka belajarlah mengenal orang. Jika anda ingin dipahami maka belajarlah memahami orang lain. Jika anda ingin dihormati maka anda harus belajar menghormati orang-orang di sekitar anda. Intinya tepuk tidak akan terjadi hanya dengan sebelah telapak.
Kata mutualitas di atas itulah sesungguhnya yang tercermin dari ayat “saling mengenal” (ta’aruf) yang disebutkan di atas. Bahwa proses membangun toleransi dan kerukunan itu adalah bagian dari dinamika komunal. Dan karenanya mengharuskan setiap anggota komunitas itu untuk mengambil bahagian. Ada hukum timbal balik dalam proses membangun toleransi itu.
Artinya toleransi seharusnya tidak dipahami sebagai tanggung jawab sepihak. Dan tidak ditujukan untuk kepentingan sepihak semata. Menuntut sikap toleran dari orang lain dengan sendirinya menuntut anda untuk membangun sikap toleransi itu. Tidak sekedar mengenal hak dalam toleransi. Tapi juga sadar tanggung jawab dalam toleransi.
Pemahaman toleransi seperti inilah sesungguhnya yang diajarkan oleh Islam. Toleransi yang terbangun di atas asas keadilan. Bahwa toleransi harus ditegakkan kepada semua tanpa pandang bulu, tanpa ikatan kepentingan pribadi atau golongan.
Toleransi dan Kepentingan
Kenyataannya membangun toleransi ternyata tidak seindah harapan dan idealisme banyak orang. Dalam prakteknya toleransi seringkali identik dengan kepentingan tertentu. Kentalnya kepentingan dalam proses toleransi ini seringkali membingunkan. Tidak saja di luar dari satu kelompok sosial atau komunitas. Bahkan dalam satu komunitas sekalipun sangat membingunkan.
Di atas saya menyebutkan bahwa toleransi seyogyanya tidak memihak kepada golongan, tapi menganut asas keadilan yang tidak memiliki batas apapun. Tapi ketika bersentuhan dengan kepentingan, dalam satu golongan pun terkadang menjadi korban toleransi atau juga intoleransi. Ada pihak-pihak yang rela mengorbankan kelompoknya demi memburu kepentingan yang dimaksud.
Saya barangkali ingin blak-blakan dan terbuka apa adanya dengan pengalaman saya sendiri. Sejak awal saya terlibat dalam membangun dialog dan kerjasama lintas agama, saya banyak mendapat pujian. Dikarenakan saya banyak menyuarakan pembelaan terhadap ketidak adilan terhadap minoritas non Muslim di dunia Islam. Apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang masih terjadi di berbagai negara-negara Muslim mayoritas, khususnya di Timur Tengah.
Saya tidak merasa tersanjung dengan pujian itu. Karena saya merasa membela hak-hak minoritas non Muslim di tengah-tengah mayoritas masyarakat Muslim adalah “amanah risalah”. Bukankah Rasul SAW menyebutkan: “Barangsiapa yang menyakiti minoritas non Muslim maka saya adalah musuhnya di hari Kiamat kelak” (hadits).
Akan tetapi pujian itu berbalik ketika pembelaan saya lakukan kepada sesama Muslim. Saya melakukan pembelaan di saat ketidak adilan dilakukan kepada komunitas Muslim, baik di barat maupun di negara-negara mayoritas Muslim itu sendiri. Kenyataan yang terkadang sebagian mereka yang mengaku pahlawan toleransi telah buta mata, bahkan buta mata hati untuk melihat dan mengakuinya.
Dalam beberapa tulisan terdahulu saya banyak menyinggung ketidak adilan terhadap umat ini dalam banyak hal. Ketidak adilan politik, sosial ekonomi, bahkan hampir saja dalam segala aspek kehidupan manusia.
Tapi yang paling tidak adil adalah pemaksaan persepsi jika umat ini tidak lagi toleran, bahkan radikal di saat umat Islam terlibat dalam kompetisi apa saja dan berada di atas angin. Mungkin pilkada DKI adalah contoh terdekat dari kenyataan ini. Terlepas dari aksi 411, 212, maupun 515 dan lain-lain, kemenangan Anies Sandi di Jakarta secara drastis dan dramatis dirubah dari pertarungan demokrasi ke pertarungan radikal – moderate. Pertarungan antara mereka yang toleran melawan mereka yang intoleran. Ada upaya sistimatis yang ingin membangun persepsi bahwa kemenangan Anies Sandi adalah kemenangan kaum radikal dan intoleran. Bukan kemenangan kandidat melalui proses demokrasi.
Dan oleh karenanya dengan sendirinya mereka yang mendukung Anies Sandi adalah kelompok radikal dan intoleran. Mereka yang mendukung Anies Sandi adalah kelompok yang anti Pancasila dan kebhinnekaan dab NKRI. Kampanye ini kemudian diperluas menjadi seolah-olah Indonesia kini berada di ambang bahaya radikalisme. Diperburuk kemudian dengan ancaman bahwa NKRI kini seolah memasuki keadaan genting seperti Irak dan Suriah.
Bayangkan dalam beberapa hari terakhir saja berbagai media di Barat telah menuliskan kemenangan Anies Sandi sebagai kemenangan kelompok Islamis (radikal). Dari Wall Street, New York Times hingga ke Democracy Now semuanya seolah menyimpulkan bahwa Indonesia kini berada diambang bahaya radikalisme.
Lalu bagaimana dengan isu agama dalam kampanye?
Sesungguhnya di mana saja dalam dunia ini isu agama dalam politik selalu saja terjadi. Sejujurnya calon Gubernur Ahok dalam pilkada tempo hari juga hampir seratus persen didukung oleh kelompok di mana sang calon menjadi bagian darinya. Dalam poling-poling semua menunjukkan bahwa dukungan itu nyata.
Bahkan jauh-jauh penginjil terkenal Amerika, Franklin Graham, memberikan dukungan dan doa khusus kemenangan Ahok dalam pilkada Jakarta. Di mana-mana saja, saudara-saudara saya sebangsa dan setanah air yang kebetulan beragama Nasrani pada umumnya mendukung Ahok.
Lalu di mana salahnya jika Anies Sandi memang didukung oleh umat Islam?
Salahnya barangkali adalah bahwa pendukung Anies Sandi memang jujur apa adanya dan menyerukan umat Islam untuk memilih calon Muslim. Atau mungkin dalam bahasa negatifnya terlalu vulgar dalam mengekspresikan apa yang selama ini saya sebut dengan istilah “solidaritad sosial” itu.
Maka sejatinya tidaklah salah jika masing-masing pihak memakai sentimen agama dalam menentukan pilihan. Bahkan Bung Karno sendiri pernah menyerukan hal itu asal saja dilakukan dalam kerangka NKRI dan melalui proses demokrasi.
Pada akhirnya kejujuran toleransi, sekaligus komitmen Pancasila dan NKRI itu akan terlihat ketika kita teruji. Di saat dalam proses pemilu atau pilkada jagoan kita kalah. Di saat berlomba dalam memperjuangkan apa yang kita anggap benar tapi kalah. Akankah kita kita legowo dan menerima kekelahan itu seraya tetap memuji proses demokrasi? Dan yang lebih penting adalah tetap mengedepankan kepentingan “kita” di atas kepentingan “kami”.
Perhatikanlah setelah proses pengadilan Ahok di Jakarta berkhir dengan ketukan palu. Semua dalam proses itu mengatakan mari kita hormati proses hukum, seraya melakukan pressure publik sebagai bagian proses yang masih dijamin oleh konstitusi. Kedua pihak pun siap menerima hasil proses hukum itu.
Kenyataannya ketika palu telah dijatuhkan semua menghakimi keputusan hukum. Bahwa keputusan itu tidak adil. Dan tidak lagi canggung menuduh pemerintah yang didukungnya seolah pemerintah yang zalim. Saking kecewanya, sempat menyebutkan jika pemerintahan Jokowi itu lebih buruk dari pemerintahan SBY. Bahkan lebih runyam lagi, mengkampanyekan jika negara Indonesia telah berbalik menjadi negara zalim ke pihak tertentu.
Lebih menyedihkan lagi, ada saja pihak-pihak tidak lagi malu-malu bekerjasama dengan pihak NGO-NGO asing, bahkan mungkin saja dengan pemerintah luar, memburuk-burukkan negaranya sendiri. Hal ini bertambah runyam karena pihak luar tidak tanggung-tanggung ikut menyibukkan diri dengan urusan rumah tangga Indonesia.
Dengan sikap seperti itu, sesungguhnya siapa yang toleran dan siapa yang intoleran? Siapa yang cinta NKRI dan siapa yang anti NKRI? Siapa yang sejatinya pancasilais dan siapa yang merusak Pancasila atas namanya?
Ah, saya diingatkan oleh kelompok-kelompok radikal Muslim yang mengatasnamakan Islam. Tapi perilakunya justeru mencoreng wajah Islam itu sendiri. Jangan-jangan sama saja dengan mereka yang mengaku toleran, pancasilais dan cinta NKRI itu. Tapi kenyataannya?
New York, 16 Mei 2017
____________________________________
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation