Suara Muhammadiyah-Dari sekian banyak organisasi perempuan yang lahir di masa pergerakan nasional, Aisyiyah merupakan salah satu yang paling eksis hingga hari ini. Organisasi yang didirikan oleh Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) pada 19 Mei 1917 itu telah genap berusia 100 tahun. Hitungan seabad merupakan sebuah capaian yang tidak mudah dengan segala dinamika dan pasang surut yang telah dilaluinya.
Tersebutlan beberapa organisasi perempuan di masa pergerakan yang kini surut bahkan ikut terkubur seiring zaman. Di antaranya Putri Mardika (1912), Kautamaan Istri (1913) di Tasikmalaya, Kerajinan Amal Setia di Sumatera Barat (1914), Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Sarekat Siti Fatimah di Garut (1918), Wanita Utama (1921) dan Wanita Khatolik (1924) INA TUNI di Ambon (1927), Wanita Taman Siswa (1922), Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (1925), dan Putri Indonesia (1927), ada pula Puteri Setia di Manado (1928), Wanita Perti bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Mameskransje Help Elkander (Sahati) di Jakarta.
Dengan banyak organisasi tersebut, Aisyiyah berbeda. Dedikasinya ditujukan untuk memuliakan fitah manusia. Sesuai dengan laku pendirinya, Aisyiyah menampilkan wajah organisasi perempuan muslim berkemajuan. Pokok pikiran yang disertai tindakan nyata terus dipelopori dan diwariskan Nyai Ahmad Dahlan kepada para pelanjut Aisyiyah setelahnya.
Sehingga sangat wajar ketika kemudian negara memberikan gelar pahlawan nasional kepada Nyai Walidah. Dirinya berhak mendapatkan keistimewaan di antara sedikit perempuan Indonesia yang memperolehnya. Gelar itu disematkan kepada puteri Kiai Haji Muhammad Fadli, Penghulu Keraton Nyayogyokarto Hadiningrat itu pada Hari Pahlawan, 10 Nopember 1971, di Istana Presiden Negara, Jakarta.
Melihat konteks sosio-historis zaman itu, perjuangan Nyai Ahmad Dahlan bersama Aisyiyah tidaklah mudah. Harus berjibaku menghadapi kebudayaan patriarkhi, kolonialisme, dan feodalisme sekaligus. Dalam teks-teks kuno, perempuan sering dipersepsikan sebagai makhluk kelas kedua di bawah laki-laki, yang harus tunduk di bawah ayahnya, kakak atau adik laki-lakinya, pamannya, atau suaminya. Perempuan tidak berhak memiliki cita-cita dan masa depan di luar wilayah domestik. Cita-cita terbesarnya adalah ketika ia dinikahi. Dinikahi oleh laki-laki asing yang tidak pernah dikenal sebelumnya, tersebab dijodohkan dan bukan atas pilihannya. Tak jarang, menikah dengan laki-laki yang telah memiliki istri.
Ketidakberdayaan perempuan ketika itu diperparah karena mereka tidak memperoleh hak pendidikan. Alam pikir yang terbangun bahwa akal perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dalam Serat Paniti Sastra, misalnya, perempuan dinarasikan; “Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan myang kuwate/ tuwin wiwekanipun”. Artinya, “Katanya yang telah selesai menuntut ilmu, wanita hanya seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaanya.”
Banyak yang menyebutkan, Nyai Dahlan dan pengurus Aisyiyah melanggar kesusilaan wanita demi melawan kemapanan tradisi patriarkhi. Siti Walidah menanamkan pikiran bahwa wanita bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki. Dalam wilayah tertentu, laki-laki dan perempuan saling mengisi dan saling membutuhkan. Nyai Dahlan memilih untuk melakukan penyadaran dan mengajari masyarakat dengan karya nyata. Bersama teman-temannya, ia membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan.
“Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita. Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan,” tulis Harian Republika, 29 September 2008.
Pandangan dan wawasan Nyai Dahlan luas dan melampaui zamannya. Hal itu karena pergaulannya dengan banyak tokoh bangsa. Antara lain adalah Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Kiai Mas Mansur, dan lainnya. Jiwanya mengalami pencerahan. Peran suaminya, Kiai Ahmad Dahlan juga cukup besar dalam mendukung, memberi ruang, dan membuka wawasannya.
Di tengah situasi yang merendahkan perempuan, Nyai Dahlan bergerak melalui pendidikan. Menurutnya, pendidikan bisa menjadi awal penyadaran individu dan kolektif. Hasil dari pendidikan adalah membentuk manusia yang mandiri. Terutama mandiri dalam berpikir. Kemandirian pada akhirnya akan membuahkan keberdayaan. Itulah cita-cita besar Nyai Dahlan dan Aisyiyah di masa itu.
Nyai Dahlan sangat menentang budaya kawin paksa yang marak di tengah ketidakberdayaan perempuan. Perempuan yang kerap didudukkan sebagai sosok yang berada di rumah dalam pengawasan laki-laki, diubah oleh Nyai Dahlan dengan tindakan sebaliknya. Seorang diri, Nyai Dahlan mengunjungi cabang-cabang Aisyiyah di seluruh Jawa. Seperti Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya. Baginya, konsep perempuan ditemani mahram dalam perjalanan diartikan secara progresif. Bahwa mahram adalah faktor keamanan. Artinya, perempuan bisa melakukan perjalanan kemana pun asal disertai dengan rasa aman.
Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra bagi suami. Perempuan dan laki-laki memiliki derajat dan tugas yang sama sebagai pemakmur bumi. Kemuliaan laki-laki dan perempuan dilihat dari ketakwaannya di hadapan Tuhan. Bukan dari jenis kelamin dan status sosial. Nyai Dahlan membuktikan bahwa perbedaan nasib laki-laki dan perempuan di masa itu bukan karena kodrati, tetapi akibat bentukan kultur dan lingkungan sosial.
Dalam Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya tahun 1926, Nyai Dahlan membuat catatan sejarah. Dialah wanita pertama yang tampil memimpin kongres Muhammadiyah. Saat itu, dalam sidang Aisyiyah yang dipandunya, duduk puluhan pria di samping mimbar. Memimpin sidang tertinggi sebuah organisasi Islam besar ketika itu, mendapat liputan luas dari media dan koran-koran seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po. Liputan itu berhasil menarik banyak perempuan Indonesia untuk bergabung ke dalam Aisyiyah.
Semua kepeloporan Nyai Dahlan itu menjadi ciri utama Aisyiyah di abad pertama. Tak kurang, 25 persen anak-anak negeri didik di sekolah Aisyiyah. Kiprahnya tidak perlu diragukan. Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah. Melalui konsep itu, Aisyiyah mendidik jutaan anak-anak yang akan menjadi pemimpin di masa depan.
Tidak hanya di bidang pendidkan, Aisyiyah juga banyak berkonstribusi dalam bidang kesehatan. Meliputi di antaranya kegiatan pencegahan kanker panyudara dan serviks, pencegahan TBC dan HIV/AIDS, hingga kampanye pelarangan pernikahan anak di bawah umur. Dalam bidang pemberdayaan ekonomi, Aisyiyah telah memberdayaan ekonomi melalui peran individu, keluarga dan masyarakat. Hingga kini, Badan Usaha Ekonomi Keluarga Aisyiyah (BUEKA) telah mengelola 568 koperasi. Selain juga terus menggalakkan Sekolah Wirausaha Aisyiyah (SWA) dan penyadaran kemandirian pangan.
Demikian halnya dengan kesejahteraan sosial, Aisyiyah ikut serta dalam program peduli lansia, peduli yatim-piatu dan difabel, dan pelayanan sosial lainnya. Di bidang kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan, Aisyiyah terus mendorong perempuan terjun aktif dalam upaya pembangunan daerah dan nasional
Memasuki abad kedua, Aisyiyah perlu mempelopori lebih banyak lagi wacana dan pemikiran berkemajuan. Kepeloporan Aisyiyah di abad pertama, kini telah banyak diadopsi dan menjadi masintream masyarakat Indonesia. Sekedar berpuas diri dengan capaian yang ada, tentu akan segera dilindas zaman. Dedikasi dan konstribusi Aisyiyah perlu diperluas dan direproduksi terus-menerus.
Memasuki usia seabad, Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah akan menggelar resepsi Milad pada 19 Mei 2017. Kegiatan yang direncanakan akan digelar di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini, mengusung tema ‘Memuliakan Martabat Umat, Berkiprah Memajukan Bangsa’. “Tema ini sesuai dengan situasi kondisi, dan konteks kita. Sekaligus juga sebagai ikhtiar Aisyiyah untuk memulai abad kedua,” tutur Ketua Umum PP Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini.
———————————–
Penulis: Muhammad Ridha Basri