BANTUL, Suara Muhammadiyah-Reformasi 1998 merupakan sebuah momentum penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Ketika itu, gerakan reformasi bertujuan untuk memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Sehingga sesuai dengan amanat nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Setelah 19 tahun berjalan, ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, menilai bahwa agenda reformasi sekarang sudah bias, dan bahkan dianggap sebagai momok oleh sebagian orang. “Karena apa? Karena kesalahan para reformis sendiri. Para pejuang reformasi mulai masuk dalam arena kekuasaan dan lupa pada spirit dasar reformasi. Yakni demokratisasi, penegakan hukum, keadaban publik, penyelamatan sumber daya alam, membebaskan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme),” kata Haedar seusai membuka gelaran wayang kulit dengan lakon Wahyu Makutha Rama, Sabtu (20/5) di komplek Masjid Husnul Khatimah Peleman, Tamantirto, Kasihan, Bantul.
Menurutnya, dalam dinamika kehidupan kebangsaan belakangan ini, para elit negeri yang sebagiannya merupakan aktivis reformasi, justru tidak membawa dampak signifikan. “Dulu orang tidak suka pada KKN, sekarang mempraktekkan politik dinasti. Sama saja. Karena itu, perlu bukan hanya perenungan makna reformai, tetapi juga konsolidasi reformasi,” tuturnya.
Dalam konteks lain, Haedar mengingatkan supaya agenda reformasi jangan dibawa ke proses liberalisasi. “Saya pikir ini saatnya para elit bangsa merenungkan kembali makna reformasi itu. Termasuk demokratisasi tidak boleh dijadikan suatu instrumen yang liberal. Sekarang ini dalam semua proses politik dan ekonomi kita itu sangat liberal. Pasar bebas murni kapitalisme. Rakyat kecil menjadi korban dari proses politik dan ekonomi yang sangat liberal ini. Mereka pemilik modal dan kekuatan oligarkhi saja yang akan berkuasa di republik ini,” ungkapnya.
Haedar mengaku prihatin dengan kondisi yang berkembang belakangan ini. “Sekarang ini kan banyak nalar keblinger. Banyak logika-logika yang berkembang yang perlu diluruskan. Tentang kehbinekaan, NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Sekarang dalam era kebangkitan nasional harus dimaknai secara fundamental, bukan dalam arti yang simbolik dan artifisial,” kata Haedar.
Di tengah situasi yang rentan, Haedar berharap semua pihak tidak mengorbankan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara yang besar. “Harus ada kesediaan berkorban dari seluruh anak bangsa, bahwa keutuhan bangsa dan negara ini sangat tergantung pada jiwa berkorban untuk saling berbagi,” paparnya.
Haedar mengajak para pemimpin bangsa untuk menyerap dan mensosialisasikan hal-hal mendasar dalam kehidupan kebangsaan. “Para pemimpin bangsa harus memberi values untuk apa kita berbangsa dan bernegara. Yakni untuk Indonesia ini menjadi negara yang merdeka, adil, makmur, bersatu, dan berdaulat. Kita punya dasar ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial,” ulas Haedar.
Jika nilai-nilai tersebut tidak dihayati oleh para pejabat negeri, pemimpin bangsa, dan para tokoh, maka dikhawatirkan akan terjadi perebutan kepentingan politik terus-menerus. “Kalau sudah perebutan kepentingan politik, biasanya mengorbankan hal yang besar itu,” tutur Haedar Nashir. (Ribas/Foto:Th)