Suara Muhammadiyah-Pada tahun 1990-an, kehadiran konsep ekonomi syariah sempat menjadi harapan baru bagi umat Islam. Khususnya ketika umat Islam harus berhadapan dengan sistem perbankan konvensional yang berlumuran riba. Dari perbankan konvensional sistem perekonomian nasional dibangun di Indonesia. Padahal, mayoritas penduduk di negeri ini memeluk agama Islam. Kehadiran sistem ekonomi syariah dianggap mampu menghadirkan sistem perbankan baru yang berlandaskan kaidah-kaidah ekonomi berdasakan ajaran Islam. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, sistem perbankan syariah dipandang sebagai jawaban ajaran Islam atas kemungkaran yang terjadi dalam sistem perbankan konvensional.
Seiring perjalanan waktu, kehadiran perbankan syariah ternyata belum mampu menghadirkan sistem baru yang benar-benar bersih dari praktik riba. Praktik dalam sistem perbankan syariah belum sempurna berlandaskan ajaran Islam. Sempat muncul sentimen di kalangan masyarakat bahwa perbankan syariah hanya persoalan label saja. Praktiknya berdasarkan sistem perbankan konvensional, tetapi menggunakan label “syariah” atau “Islami.”
Inilah kenyataan yang harus diterima oleh umat Islam. Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan syariah masih tergolong rendah. Di Indonesia yang jumlah penduduknya mayoritas muslim, angka partisipasi dan apresiasi masyarakat dalam mengembangkan sistem perbankan syariah baru 5%. Kenyataan ini menjadi persoalan serius karena akhir-akhir ini muncul pertanyaan bernada menggungat, “Apakah sudah Islami sistem perbankan syariah?”
Secara konseptual, sistem ekonomi syariah masih sangat parsial, belum menyentuh sektor-sektor riil perekonomian masyarakat. Selama ini persepsi masyarakat terhadap sistem ekonomi syariah masih identik dengan perbankan syariah. Padahal, perbankan syariah baru satu sektor dari sekian banyak sektor yang menggerakkan perekonomian masyarakat. Industri mikro yang dikelola oleh masyarakat kecil dan menengah nyaris belum banyak tersentuh oleh sistem ekonomi syariah. Kehadiran BPRS, BMT, dan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya juga masih sangat terbatas.
Sepintas, konsep ekonomi syariah memang lebih mengarah pada praktik Sosialisme. Itu karena dalam ajaran Islam melarang upaya memperkaya diri sendiri, lebih mengutamakan kemaslahatan bersama. Tetapi ketika hendak membangun perekonomian skala makro dengan penyertaan modal yang besar, maka nilai-nilai Sosialisme semakin kabur karena lebih menjurus pada praktik kapitalis. Lalu muncul pertanyaan yang lebih kritis, “Ke manakah kiblat ekonomi syariah?” Inilah persoalan yang harus segera dijawab oleh para pakar dan praktisi ekonomi umat Islam dewasa ini. (Abu Rafif)
Dapatkan ulasan lengkap tentang Ekonomi Syariah di Majalah Suara Muhammadiyah edisi cetak, No. 09, 1-15 Mei tahun 2017