Oleh: Faisal Isnan*
Terhitung mulai hari ini, selama satu bulan penuh, kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadan. Berpuasa artinya menahan dari rasa lapar dan haus serta tidak melakukan hubungan badan (baca: suami-istri) dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Perbuatan baik yang kita lakukan selama bulan yang agung ini akan dilipatgandakan pahalanya. Bahkan ada sebagian dari kita yang sudah memprogram amal kebaikan selama Ramadan, seperti mengkhatamkan al Quran beberapa kali, menghadiri berbagai majelis ilmu, bersedekah melebihi bulan-bulan sebelumnya, dan sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya, puasa juga dapat dimaknai sebagai sarana menahan diri dari segala perbuatan tercela yang mungkin menjadi hal biasa pada saat hari-hari sebelumnya, salah satunya adalah berkata kotor atau berkata hal-hal yang tidak baik.
Ada ungkapan mulutmu adalah harimaumu. Ungkapan ini dapat mengingatkan kita bahwa lisan ini bisa lebih tajam daripada pedang. Karena lisan, seseorang dapat memancing emosi dan amarah orang lain. Dengan lisan, seseorang bisa menjadi provokator ulung, sekaligus menebar kegaduhan di mana-mana. Bahkan, seseorang harus rela mendekam di dalam sel penjara karena telah melakukan ujaran kebencian (hate speech), seperti memaki, menghujat, dan memfitnah orang lain. Rasulullah Muhammad Saw. pernah bertanya kepada para sahabat, “Amal apakah yang paling dicintai Allah?” Maka para sahabat diam, tidak ada seorang pun yang menjawab. Beliau bersabda, “Yaitu menjaga lisan.” (HR. Baihaqi).
Pada bulan-bulan lalu kita sering menjumpai ucapan-ucapan yang sarat dengan kebencian dan permusuhan, baik yang kita dengarkan secara langsung maupun melalui media sosial. Perbuatan ini tidak hanya meresahkan, melainkan juga dapat menimbulkan perasaan saling memfitnah dan mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar. Dalam konteks Pilkada DKI 2017 yang lalu misalnya, seolah kita hanya dipaksa untuk memilih menjadi kubu A atau B. Memilih A akan dituduh sebagai kubu antitoleransi dan kerap dituduh sebagai golongan radikalis, sedangkan memilih B akan dituduh sebagai golongan orang munafik, kafir, prokomunis, dan berbagai sebutan lainnya. Apalagi kubu A dan B juga sama-sama orang Islam, dan mereka juga sama-sama merasa paling pancasilais dan nasionalis. Masing-masing kubu “menghitamkan” yang lain, menuduh yang lain sebagai kelompok yang tidak berhak hidup di bumi Indonesia dengan disertai umpatan-umpatan yang tidak mencirikan sebagai orang yang beragama. Singkatnya, kita belum dewasa dalam menyikapi perbedaan.
Yang dilarang oleh Islam adalah permusuhan dan perpecahan, bukan perbedaan. Perbedaan adalah anugerah dari Allah Swt. Dalam masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia, harus diciptakan suatu kondisi yang mendorong terciptanya kedamaian agar semua bentuk perbedaan menjadi energi dalam membangun negeri ini. Dalam sebuah masyarakat yang belum dewasa secara psikoemosional, perbedaan terlalu sering dianggap sebagai permusuhan, padahal kekuatan yang pernah melahirkan peradaban-peradaban besar justru didorong oleh perbedaan pandangan dalam melihat sesuatu. Atas dasar inilah para founding father kita yang juga para ulama telah memilih semboyan “bhineka tunggal ika” sebagai semboyan untuk mengikat persaudaraan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sebagai orang yang hidup di era internet seperti sekarang ini, kita sebagai muslim seharusnya mampu menjadikan media sosial sebagai sarana penebar kedamaian, bukannya malah ikut-ikutan memperkeruh suasana. Sebagai muslim yang baik, berdakwah bukan hanya persoalan penyampaian kebenaran semata, melainkan juga harus diikuti dengan perilaku dan cara yang santun. Jangan biarkan kebencian merusak fitrah mulia kita. Janganlah menjadi pembenci yang menebarkan kebencian kepada orang lain maupun kelompok. Ada satu hadis yang perlu kita renungkan bersama:
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang-orang yang selalu menjaga hubungan sosialnya, mereka mengasihi dan dikasihi dan tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak pengasih dan tidak dikasihi (H.R. Thabrani, dari Abi Said).
Sudah saatnya kita mengakhiri ini semua, dimulai dari bulan Ramadan dan untuk seterusnya. Sebuah konsekuensi logis bahwa apa yang kita sampaikan melalui lisan dan media sosial, kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. Berpuasa dari kata-kata kotor dan tidak terpuji adalah upaya merawat persatuan bangsa sekaligus mengamalkan sunah nabi. Di tengah umat Islam yang sedang mengalami disorientasi, upaya ini diharapkan menjadi solusi atas kehidupan beragama kita yang semakin hari menunjukkan sikap kebencian, permusuhan, dan kerusuhan di antara sesama muslim dan sesama umat manusia. Sebagai penutup, Rasulullah Muhammad Saw. pernah berpesan, “Ufsus salam!” tebarkan salam! Maka dari itu, mari kita sebagai muslim harus siap menjadi penebar kedamaian di muka bumi ini! Wallahu‘alam bishowab.
Fastabiqul Khairat!
*Faisal Isnan Anggota Bidang DakwahPimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DIY