Amalan Kok Dihitung-Hitung

Amalan Kok Dihitung-Hitung

Oleh: Saparullah*

Menghitung-hitung amalan mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang tak perlu dilakukan namun bagi sebagian yang lain hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan. Dan itu nyata, ada disekitar kita. Entah sadar ataupun tidak.

Tak jarang terbesit dari dalam hati kita “hari ini saya telah melakukan banyak ibadah, pasti pahala saya banyak” atau “setiap hari saya beribadah, tidak mungkinlah aku memiliki dosa” atau mungkin sering juga kita membanding-bandingkan pahala kita dengan orang lain “pahalaku pastilah lebih banyak dari si Fulan”. Jika ini ada pada diri kita, beristighfarlah, kita perlu bermuhasabah!.

Menghitung-hitung amalan dapat melalaikan seseorang dari mengingat dosa. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan “meremehkan dosa dan terlalu percaya diri dengan amal perbuatan adalah sangat berbahaya, orang yang sibuk menghitung-hitung amalan akan lupa pada banyaknya dosa”. Jika seseorang telah melupakan dosanya maka akan sedikit sekali kalimat istighfar keluar dari ucapan orang tersebut

Kebiasaan menghitung amalan juga akan menimbulkan rasa berbangga diri yang kemudian akan bermuara pada sikap riya’ dan sum’ah. Tentu sikap ini sangat merugikan karena berakibat pada dihapuskannya pahala amalan yang telah kita lakukan. Disebutkan dalam Al-Qur’an “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan mencegah (menolong dengan) barang berguna” (QS: Al-Maun).

Perlu digaris bawahi bahwa ganjaran dari amalan yang kita lakukan merupakan hak perogeratif dari Allah SWT. Pernah suatu ketika dua orang sahabat berselisih pendapat saat berada dalam sebuah perjalanan. Apakah shalat harus didirikan ulang jika sebelumnya tak didapati air untuk berwudhu lalu digantikan dengan tayammum, akan tetapi setelah beberapa saat melanjutkan perjalanan setelah shalat, didapati sumber air yang cukup untuk berwudhu. Salah seorang diantara mereka berpendapat harus didirikan ulang, dan seorang yang lain berpendapat tidak perlu.

Permasalahan yang dihadapi oleh sahabat diatas kemudian diajukan kepada Rasulullah SAW, beliau kemudian bersabda kepada sahabat yang setuju mendirikan ulang shalat dengan jawaban laka ajrani (bagimu dua pahala) dan ashobtassunnah (kamu telah memenuhi sunnah) kepada sahabat yang tak mengulang shalatnya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang tahu pasti sebesar apa wujud pahala yang Allah ganjarkan kepada kita. Tak ada yang menjamin dua pahala lebih banyak dari pahala ashobtassunnah tadi.

Adapun Allah SWT memerintahkan manusia untuk melakukan ahsanu amala (amal yang terbaik) bukan aktsaru amala (amal yang terbanyak). Sebagaimana Allah berfirman “yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun” (QS: Al-Mulk:2).

Ayat diatas dengan sangat jelas dan tersurat menyebutkan bahwa yang diinginkan oleh Allah adalah amalan yang terbaik bukanlah amalan yang terbanyak. Namun untuk mencapai amalan yang terbaik, maka kita harus senantiasa beramal baik karena kita tak pernah tau dimana dan kapan amalan kita terhitung sebagai amalan terbaik disisiNya. Sebagaimana dalam teori peluang, semakin banyak perlungan maka semakin besar juga peluang yang ada. Begitu pun dengan konsep ahsanu amala.

Lantas apakah kita akan tetap menghitung-hitung amalan yang telah kita lakukan?

Dalam bulan ramadhan ini marilah kita senantiasa melakukan amal shaleh dimana ganjaran yang diberikan Allah pada bulan ini adalah berlipat-lipat. Tentu dengan tidak menghitung-hitung amalan karena sebagaimana teori dalam matematika-nol dikalikan dengan berapapun akan sama dengan nol, sebesar apapun kelipatan ganjaran yang Allah berikan akan sama dengan nol jika yang akan dilipat gandakan (pahala yang dihapus karena riya’ dan sum’ah) adalah nol.


Saparullah Ketua PC IMM Bulaksumur dan Karangmalang

Exit mobile version