Mendadak Alim; Tipuan Klasik Setiap Ramadhan

Mendadak Alim; Tipuan Klasik Setiap Ramadhan

Oleh: Muhammad Zulfi Ifani*

“Seperti biasa, stasiun televisi swasta berbusa-busa menyambut bulan ramadhan. Memang televisi cuma mau cari duit saja”. (Arswendo Atmowiloto)

Para pencinta film tentu pernah mengingat satu film Indonesia di tahun 2006, berjudul Mendadak Dangdut yang dibintangi oleh Titi Kamal dan Kinaryosih. Judul ini berhubungan dengan plot ceritanya. Di film tersebut Titi Kamal berperan sebagai seorang penyanyi pop terkenal yang melarikan diri karena difitnah menjadi pengguna narkoba. Dalam pelarian tersebut, dia mendadak harus menjadi penyanyi dangdut dari kampung ke kampung untuk menyembunyikan identitasnya sembari bertahan hidup.

Ada dua kata kunci yang membuat Titi Kamal harus mendadak dangdut, yaitu kebetulan dan keterpaksaan. Dua argumen inilah yang saya ingin gunakan untuk menjelaskan realita dunia pertelevisian Indonesia selama bulan Ramadhan. Jika dalam film Mendadak Dangdut, Titi Kamal harus menyelamatkan diri dengan menjadi pedangdut, maka di bulan Ramadhan stasiun-stasiun televisi harus menyelamatkan diri juga dengan mendadak alim, mengikuti keinginan pasar.

Rating Sebagai Tuhan

Disadari atau tidak, televisi saat ini memang menjelma menjadi sebuah kotak hiburan yang ajaib. Televisi menawarkan impresi yang lebih baik dari media apapun. Fungsi hiburannya bahkan jauh begitu kental, melebihi fungsi dasar lainnya seperti pendidikan dan informasi. Kondisi ini membuat Neil Postman dengan satir mendamprat televisi sebagai “alat menghibur diri sampai mati”.

Televisi menghibur penontonnya sampai mati, yang mengerikan adalah penonton (audiens) televisi adalah yang paling besar di antara media-media lainnya. Di Indonesia sendiri televisi adalah medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%).

Sungguh benar firman Allah dalam Surat al-An’am ayat 32:

“Kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”

Fungsi hiburan ini sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan juga bergantung pada parameter minat masyarakat. Di sinilah rating, rating kuantitatif tepatnya, menempati posisi penting dalam industri hiburan televisi. Ia menjadi tuhan kecil, petunjuk wajib yang menjadi kiblat kemana industri televisi harus melangkah.

Premis awal inilah yang harus kita pahami, bahwa stasiun televisi menempatkan rating sebagai tuhan. Apapun yang dikehendaki pasar, itulah yang akan ditampilkan di layar kaca. Wajar bila stasiun televisi manapun secara konstan akan terus berlomba mencari format program yang diinginkan pemirsa, meskipun itu sampah sekalipun.

Tak mengherankan bila pada bulan Ramadhan, stasiun-stasiun TV pun beramai-ramai melakukan make-over atau komodifikasi program selama Ramadhan. Saat program-program bernafaskan Islam booming di bulan Ramadhan, mau tidak mau stasiun tv pun melakukan berbagai komodifikasi. Ada yang secara halus menyesuaikan programnya agar terlihat Islami. Namun, tak jarang pula berbagai program khusus Ramadhan sengaja disiapkan demi Ramadhan. Pilihan kedua inilah yang lazimnya digunakan oleh stasiun-stasiun televisi Indonesia.

Tidak terhitung lagi kini, ada berapa banyak program islami yang hadir menghiasi layar kaca kita. Mulai dari program sahur dengan lawakan-lawakan absurd dan sarkastis, sinetron-sinetron ramadhan yang “ternyata” hanya berjudul Islami, kuis-kuis Ramadhan, bahkan infotainment pun ikut-ikutan islami.

Perubahan drastis seperti ini tentu mengundang perdebatan. Salah satu humas stasiun televisi swasta menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi dakwah dan syiar Islam juga, agar dakwah dan syiar selama Ramadhan semakin semarak. Niat yang mulia, meski kemudian muncul pertanyaan kenapa program-program sebagus itu langsung menghilang pasca Ramadhan? Agaknya inilah realita yang menegaskan betapa rating memang tuhan bagai industri televisi. Ramadhan hanyalah momentum untuk menarik pemirsa sebanyak mungkin lewat komodifikasi program.

Mereka Juga ikut-ikutan?

Tidak hanya stasiun televisi. Elemen-elemen yang sering menghiasi layar kaca pun turut serta mendadak alim. Artis misalnya, sebagai publik figur tentu mereka tak ingin tampil “biasa” di depan pemirsa. Harus ada sesuatu yang bisa mereka tonjolkan. Momentum Ramadhan ini lah yang mereka gunakan untuk menonjolkan diri. Penggunaan busana Islami, lafadz-lafadz Islami dan bakti sosial jadi penegas indikasi tersebut. Kesemua hal tersebut tentu berpengaruh untuk mengatrol popularitas mereka.

Selain, kalangan artis. Para penyanyi dan grup band juga mengalami fenomena ini. Bukti paling konkret dapat dilihat lewat belasan bahkan puluhan album religi (baca: Islami) yang dirilis setiap bulan Ramadhan. Pada kasus ini, memang ada beberapa musikus yang memiliki spesialisasi album Ramadhan, namun tidak sedikit pula yang latah karena melihat potensi pasar album religi yang ternyata sangat besar. Bahkan, musikus tipikal kedua ini jauh lebih banyak dari tipikal yang pertama.

Dilematis. Di satu sisi, syiar Islam menjadi makin semarak. Sedangkan di sisi lain, disayangkan pula bila melihat subyek dakwah di layar kaca yang belum bisa dijadikan teladan. Mengingat sebagian besar dari mereka hanya menggunakan momentum Ramadhan untuk “alim” sejenak, lalu liar kembali di lain waktu.

Tidak ada yang saya inginkan selain menyentil kesadaran kita akan realita televisi, khususnya dalam tataran dakwah. Dakwah di layar kaca, tidak boleh sekedar menghibur pemirsa dengan hiburan. Namun harus lebih mendalam, untuk mendidik secara konsisten. Dakwah adalah tuntunan, bukan tontonan.


*Muhammad Zulfi Ifani Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM

Exit mobile version