Menilik Kembali Tujuan Bersedekah

Menilik Kembali Tujuan Bersedekah

Oleh: Ayu Chandra S*

Marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan suci, selamat melalui bulan ini dengan menempa diri untuk menjadi insan yang lebih bertaqwa. Ketika bulan suci datang saya selalu teringat masa kanak-kanak saya. Saya dan teman-teman sepermainan saya selalu semangat dan antusias mengikuti acara buka bersama di masjid kampung dengan menu yang sangat spesial yaitu segelas teh hangat dan gulai ayam, yang sampai sekarang menu tersebut masih dipertahankan. Kami juga sangat bergembira saat bisa ikut tarawih berjamaah karena ketika berangkat tarawih, orang tua kami selalu memberikan sejumlah uang untuk dimasukkan kotak berjalan saat ceramah berlangsung. Yang unik dari kebiasaan kami adalah kami selalu merahasiakan berapa nominal “sangu” kami, dan ketika memasukkannya dalam kotak berjalan, kami tutupi tangan kami dengan mukena yang kami kenakan. Ya, pada waktu itu pepatah dari seorang guru TPA “jika tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu” sangat membekas dalam hati dan benak kami.

Selain kenangan tentang  buka bersama dan tarawih, ada kenangan lain ketika saya masih kecil yang membuat saya sangat bergembira melakukannya, yakni memberi uang koin pada pengamen dan ikut ibu saya nyumbang. Setiap kali ibu saya mengajak saya naik bus kota kemudian dan ada pengamen di bus itu, ibu saya selalu meminta saya memberi uang koin pada pengamen tersebut, lalu saya ikut bernyanyi satu lagu kanak-kanak satu dengan Abang Pengamen. Heran saya waktu itu, ibu saya melarang saya memberi uang koin pada pengemis. Kata ibu saya, “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Kalau kita memberi uang pada pengemis sama saja kita membiarkannya menjadi orang yang tangannya di bawah, sama sekali tidak mengangkat derajat kita maupun pengemis itu.

Selain selalu mengajak saya naik bus kota, ibu saya juga sering mengajak saya nyumbang, kondangan. Nyumbang adalah memberikan sejumlah uang sumbangan untuk tetangga yang sedang punya hajat (aqiqoh, pernikahan, peringatan 1000 hari meninggalnya seseorang, dsj). Ketika habis nyumbang, biasanya keesokan harinya keluarga penyumbang akan menerima balasan berupa nasi ulam. Saya sangat bahagia sekali, bukan karena saya bisa makan enak hari itu, tapi karena saya akan diajak ibu saya mengantarkan nasi ulam itu kepada tetangga kami, seorang nenek yang sudah menjanda selama 15 tahun. Setiap kali ke sana, beliau selalu mendongeng untuk saya, dan saya sangat senang duduk dipangkuannya. Ibu saya selalu bilang kepada saya “nyumbang berarti meringankan yang punya hajat, bukan untuk menerima balasan” sederhananya memberi bukan untuk menerima balasan. Jadi setiap menerima balasan dari nyumbang, ibu selalu menyedekahkannya pada orang yang lebih membutuhkan atas nama si pemberi ulam.

Banyak pelajaran tentang sedekah selama masa kanak-kanak saya yang sampai saat ini memberkas dalam ingatan saya. Sedekah merupakan adaptasi dari kata sodaqoh yang berarti pemberian sesuatu kepada fakir-miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat fitrah, sesuai dengan kemempuan pemberi. Bersedekah adalah salah satu amal baik sangat dianjurkan bagi setiap muslim, karena Allah telah menjanjikan pahala dan pertolongan. Sesuatu yang disedekahkan, tidak harus berupa materi, sedekah bisa berupa senyum, menghibur orang yang sedang berduka, bahkan menyediakan waktu untuk berbuat baik seperti mengajar TPA juga bisa disebut sedekah. Karena sedekah itu bisa berupa materi, waktu, dan perbuatan. Point penting dalam bersedekah adalah ikhlas karena Allah Swt dan sesuai dengan kemampuan kita. Lalu bagaimana bersedekah yang baik itu?

Pertama, sedekah sirriyah, yaitu sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sedekah ini ini sangat utama karena lebih mendekati ikhlas dan selamat dari sifat riya’ sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-quran Surat Al-Baqarah ayat 271 yang artinya “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali, dan jika kamu menyembunyikan dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.

Kedua, bersedekahlah saat sehat dan setelah kebutuhan wajib terpenuhi. Jangan sampai kita menunggu sakit untuk bersedekah dan jangan pula terlalu “ngoyo” untuk bersedekah sedangkan kebutuhan wajib belum terpenuhi, seperti yang dijelaskan dalam firman Allah Swt “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluannya. Demikian Allah menerangkan supaya kami berpikir” (QS. Al-Baqarah ayat 219)

Ketiga, bersedekahlah kepada anak-istri (nafkah), kerabat (anak yatim yang masih berkerabat dan kerabat yang memendam permusuhan), tetangga, sedekah untuk jihad fii sabilillah, dan kepada kawan yang berada di jalan Allah. Kita dianjurkan untuk bersedekah secara maksimal dan ditujukan kepada orang-orang yang terdekat dengan kita, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist “Sedekah yang paling utama adalah sedekah maksimal orang yang tidak punya, dan mulailah dari orang yang kamu tanggung”(HR. Abu Dawud dan Hakim, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.1112).

Dari kenangan kanak-kanak dan uraian tentang sedekah di atas, marilah kita refleksi lagi apakah tujuan kita bersedekah? Sekedar untuk riya’, untuk kesembuhan, agar usahanya lancar, untuk menerima balasan yang lebih, ataukah tulus karena mengharap ridha Allah Swt? Saat ini banyak dari kita yang belum menyadari banyak amal baik yang tidak diterima karena Allah tidak ridha. Fenomena-fenomena disekitar kita juga semakin memprihatinkan. Ragu bersedekah karena takut kebutuhan esok tidak terpenuhi, bukan ini semacam atheis kecil karena meragukan bahwa Allah selalu memelihara hamba-hambanya dengan Maha PengasihaNya? Banyak yang mengaku miskin agar mendapat bantuan, sangat bertolak belakang dengan prinsip tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Juga masih banyak yang bersedekah karena mengharap balasan yang lebih (baik dari Allah maupun manusia). Marilah kita hapus mindset-mindset bersedekah untuk “mendapat sesuatu”, mulailah bersedekah karena keikhlasan dan kesadaran bahwa Allah Swt telah memberi kita “lebih” sehingga sudah kewajiban kita untuk bersedekah. Bukankah dengan demikian lebih menambah rasa syukur kita bahwa Allah telah memberikan nikmat yang banyak. Saya sendiri selalu ingin bisa bersedekah dengan cara seperti dalam masa kanak-kanak saya.


*Ayu Chandra S Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY

Exit mobile version