Kenalkan Puasa Pada Anak

Anak Berpuasa

Ilustrasi

Oleh : Ardita MS*

Bicara anak akan terkait juga dengan orang dewasa khususnya orang tua, begitu pula sebaliknya. Setiap orang tua pasti telah mengalami fase 0-12 tahun ini. Jadi setidaknya sedikit banyak mengenal bagaimana karakteristik anak baik dari segi perkembangan fisiologis maupun psikologisnya. Secara fisiologis, anak usia 0-12 tahun mengalami pertumbuhan anggota badan yang penting dan utama untuk menyokong pertumbuhan pada masa selanjutnya. Salah satu hal yang berpengaruh adalah  jumlah asupan makanan tertentu sesuai usianya misalnya, bayi membutuhkan ASI sekurang-kurangnya 2-3 jam sekali, anak laki-laki membutuhkan asupan makanan lebih besar dibandingkan perempuan, dan sebagainya. Aspek psikologis perkembangan anak mencakup di antaranya aspek intelektual, sosial-emosional, dan bahasa. Kemampuan anak untuk memperoleh informasi dan memahaminya masih bergantung pada indera sensori-motor, sehingga pengetahuan mengenai hal-hal baru membutuhkan perantara benda yang nyata atau mengaitkan segala sesuatu dengan  membutuhkan ilustrasi. Anak pun memiliki perkembangan bahasa sendiri yang berada pada tataran bahasa sederhana, belum banyak mengenal konsep.

Jika dikaitkan dengan bagaimana orang tua memperkenalkan puasa kepada anak, beberapa hal berikut dapat dilakukan oleh orang tua: pertama, sedini mungkin mengulang-ulang  kata dan makna “puasa” kepada anak, bahkan ketika ibu mengandung maupun menyusui. Kedua, memberikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana, dengan ditambahkan ilustrasi jika diperlukan. Misalnya, “Kakak, bangun yuk kita sarapan lebih awal hari ini”, “Kakak, hari ini makan siang kita tunda ya”, “Kakak, ayah dan bunda tidak makan dan minum sampai maghrib nanti karena sedang berpuasa”. Ketiga, memberikan teladan dan apresiasi untuk setiap pencapaian dalam proses berpuasa anak. Apresiasi dapat diberikan dengan menu berbuka pilihan anak, memberikan pujian atau hadiah yang mendidik dan sebagainya. Keempat, tidak memaksakan anak untuk segera mampu berpuasa penuh, namun melatih untuk menahan lapar sesuai kebutuhan asupan makanan anak. Kelima, meskipun berat hati, tetapi orang tua harus bisa “tega” dalam setiap proses menempa kemampuan anak, khususnya dalam memperkenalkan dan melatih berpuasa.

Terdapat hal menarik terkait dengan ekspresi keberagamaan yang tumbuh dalam keluarga. Sri Yatun (2015) menemukan adanya beberapa aspek psikologis khusus yang muncul dan dapat mempengaruhi religiusitas dalam keluarga Jawa, yaitu unggah-ungguh (sopan santun), tepa selira (simpati), andhap ashar (rendah hati), serta bancakan dan tahlilan. Beberapa aspek yang muncul ini tidak terlepas dari budaya, kebiasaan, dan pembiasaan yang dibangun oleh generasi tua kepada generasi mudanya. Terdapat nilai keteladanan, apresiasi dan empati terhadap orang lain, serta perwujudan rasa syukur terhadap Allah.

Syaikh Jamal Abdurrahman dalam bukunya Islamic Parenting memformulasikan pandangan Islam terhadap pendidikan anak dalam dua tahapan usia, yaitu usia 0-3 tahun dan 4-10 tahun. Pada fase 0-3 tahun, pendidikan anak dilakukan dengan, pertama, berdoa untuk anak ketika masih dalam sulbi ayahnya atau masa-masa seorang calon ayah mempersiapkan diri dan generasinya. Hal ini diterangkan dalam  Al-Qur’an Surat Ibrahim:40.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku”.

Kedua, mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga bayi. Meskipun terdapat beberapa perbedaan, namun Ibnul Qayyim memaknai kumandang adzan dan iqamah saat anak lahir sebagai pengenalan tauhid di awal kehadirannya di dunia. Ketiga, tahnik yaitu memberikan atau mengoleskan kurma yang sudah dikunyah halus ke dinding mulut bayi. Keempat, qiqah yaitu menyembelih seekor kambing untuk kelahiran anak perempuan dan dua ekor kambing untuk kelahiran anak laki-laki sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah. Kelima, m,emberi nama yang baik. Keenam, menanamkan kejujuran dan tidak suka berbohong dan terakhir tidak mengajarkan kemungkaran pada anak

Selanjutnya, fase pendidikan anak usia 4-10 tahun dapat dilakukan dengan mengajarkan kewajiban dalam agama Islam khususnya ibadah mahdhah seperti shalat. Kewajiban memerintahkan anak untuk shalat sebagaimana dalam hadits Rasulullah sudah dilakukan orang tua saat anak berusia 7 tahun, dan diperbolehkan untuk memukul ketika anak telah berusia 10 tahun namun tidak mematuhi perintah shalat. Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka”(HR. Abu Daud dan Ahmad).

Selain itu juga dapat dilakukan dengan melatih anak untuk berlemah lembut, sayang dan berbuat baik kepada anak sebagaimana hadits yang berbunyi, man laa yarham laa yurham (Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi. HR. Muslim), mengajarkan akhlaq mulia dan etika dalam berkehidupan. Jika dikaitkan dengan upaya memperkenalkan puasa kepada anak, orang tua dapat menghubungkan ibadah puasa dengan dampak sosial dan mencontohkan anak untuk saling berbagi makanan, memperhatikan teman-teman mereka. Rasulullah bersabda,”Al-mar u alaa diini khaliilihi fal yandhur ahadukum man yukhaalil” (Seseorang  bergantung pada agama sahabatnya, maka hendaklah engkau perhatikan dengan siapa ia berteman. HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Membangun lingkungan yang kondusif selain dari lingkungan keluarga juga diperlukan termasuk mengondisikan dengan siapa anak berteman, ataupun mengajarkan kepada anak untuk mengajak teman sebaya berlatih berpuasa.

Hal yang paling utama yang dibutuhkan dalam pendidikan anak adalah teladan atau figur yang tampak untuk diimitasi. Oleh karena itu, orang tua hendaknya memberikan contoh bagaimana berpuasa dan hal-hal yang menyertainya serta mendorong anak untuk melakukan hal serupa. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:44 dijelaskan,

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”

Meskipun tidak ada patokan di usia berapa anak harus sadar dan mampu melaksanakan puasa namun tujuan terpenting adalah memperkenalkan adanya kewajiban dan tata cara puasa sebagai salah satu wujud menanamkan keaqwaan kepada Allah sejak dini. Wallahu a’lam bish shawab.


*Ardita MS Alumni Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version